Happy reading...
🍁🍁🍁🍁
Wulan menuruni anak tangga rumahnya sambil sesekali menghela nafasnya berulang kali. Tangannya kini tengah menggenggam sebuah amplop pemberian dari Bu Sukma. Wulan ingin mencoba memberanikan diri untuk berbicara pada Papanya yang kini tengah berada di meja makan.
"Tenang Wulan! Papa enggak akan makan lo hidup-hidup kok! Aggap aja lo mau minta tanda tangan sama artis yang super duper dingin tapi ganteng!" gumam Wulan mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Setelah sampai di meja makan, terlihat Papanya yang tengah makan dengan tenangnya, di sana juga sudah sang Mama dan Bik Ros yang tengah menyiapkan makanan. Untuk sesaat Wulan hanya terdiam bingung, dirinya pasti akan mengganggu acara makan mereka.
"Udah, tunggu apa lagi? Kasih aja."
Bulu kuduk Wulan sedikit meremang ketika tiba-tiba saja terdengar bisikan halus tepat di belakang telinganya, dan ternyata Bik Ros lah yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakangnya.
"Bik Ros ih! Bikin kaget tau!" pekiknya dengan suara yang cukup keras, dan itu berhasil menarik perhatian orang tuanya. Sedangkan Bik Ros hanya terkekeh saja tak merasa bersalah.
Tanpa mengatakan apa pun lagi, Wulan pun duduk di kursi yang paling dekat dengan sang Papa. Wulan berdehem sejenak untuk menormalkan suaranya.
"Emm ... Pah! Wulan mau ngomong sama Papa," gumam Wulan dengan suara yang mengecil di ujung kalimat.
Tio Anggara, Pria yang Wulan panggil Papa itu pun menoleh dan menatap putrinya sejenak. "Ada apa?" tanyanya singkat.
Dengan ragu Wulan pun menyodorkan amplop yang sejak tadi ia pegang dan meletakkannya di meja tepat di hadapan Papanya.
"Jadi gini ... emm ... Satu bulan lagi sekolah akan mengikuti kejuaraan cerdas cermat antar provinsi, dan Wulan terpilih sebagai wakil sekolah. Karena itu, Wulan butuh tanda tangan Papa atau Mama sebagai persetujuan," tutur Wulan dengan senyuman canggung yang mengembang di bibirnya.
Wulan begitu lega ketika akhirnya ia bisa mengucapkan itu dengan lancar tanpa ada keraguan lagi di sana. Tapi ia juga harus siap akan respon Papanya nanti. Terlebih ketika ia melihat Papanya yang hanya terdiam sambil menatap amplop itu tanpa mengatakan apa pun. Tatapan Wulan lalu tertuju pada Mama-nya yang masih melanjutkan makan malamnya seolah tidak tertarik dengan permintaannya.
Senyuman Wulan perlahan mulai luntur. Bodoh, harusnya ia sadar sejak awal pasti akan seperti ini, seharusnya ia langsung saja meminta tolong pada Bik Ros seperti biasa, karena setidaknya ia tidak harus merasakan kecewa lagi dan lagi.
"Kalo Papa enggak mau juga enggak apa-apa," ucap Wulan lirih dengan perasaan sesak yang mulai menderanya. Wulan pun mengulurkan tangannya hendak mengambil amplop tersebut.
Namun, belum sempat Wulan melakukannya. Tiba-tiba saja tangan sang Papa sudah meraih amplop tersebut dan membukanya. Wulan yang melihat itu pun terkejut tak menyangka.
"Kamu bawa pulpennya?" tanya Tio Papa Wulan, sedangkan tatapannya tertuju pada lembar kertas dan membaca isinya.
Wulan mengerjapkan matanya mulai tersadar dari rasa terkejutnya mendengar pertanyaan sang Papa.
"Huh? I-iya Wulan bawa pulpen," jawab Wulan sedikit terbata-bata sambil merogoh saku celananya dan mengambil pulpen yang memang sengaja ia bawa kemudian langsung menyerahkan pada Papanya.
Wulan tersenyum lebar ketika ia melihat sang Papa yang mulai menanda tangani kertas persetujuan itu. Sungguh, hanya dengan perlakuan seperti itu dari sang Papa membuat Wulan merasakan bahagia yang luar biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
DamarWulan (Completed✔)
Teen FictionIni bukan kisah seorang kesatria dari Majapahit atau sejenisnya. Ini kisah absurd tentang dua anak manusia yang tidak pernah akur seperti kucing dan tikus, seperti Upin ipin dan Kak Ros yang selalu meributkan hal sepele, memiliki sifat keras kepala...