43. Peraturan Eyang

1.3K 122 29
                                    


Hai hai! Selamat malam minggu!
DamarWulan dateng membawa kebaperan yang tiada tara... 😄

Kuy! Pencet ☆ sebelum baca..

Happy reading!

🍁🍁🍁

"E-eyang?"

Wulan masih bergeming di tempatnya. Sedangkan tatapannya masih terpaku pada sosok Eyang yang kini tengah melangkah kan kaki menuruni tangga perlahan, dengan tatapan yang terus mengintainya seolah hendak memakannya hidup-hidup. Wulan menunduk, lalu menoleh ke arah Bik Ros yang juga sudah tak berkutik.

"Kapan eyang dateng, Bik?" bisik Wulan pelan.

"I-itu ... tadi siang, Non," jawab Bik Ros tak kalah lirihnya.

Wulan menghela napasnya. Ia lalu perlahan mendongak, menatap sang eyang yang kini sudah ada di hadapannya. Wulan sedikit mengulas senyumnya. Mengulurkan tangan hendak menjabat tangan sang eyang.

"E-eyang. Apa kabar, Eyang?" tanya Wulan basa-basi dengan sedikit takut. Wulan segera mencium tangan eyang ketika sang eyang menyambut uluran tangannya. "Tumben!" pikir Wulan. Karena biasanya sang eyang tidak mau menyentuhnya sama sekali.

"Baik. Berapa ekschool yang kamu ikuti sampai kamu harus pulang malam?"

Wulan tahu itu bukan sebuah pertanyaan, tapi sebuah sindiran. Sial bagi Wulan memang, karena biasanya ia dan Damar tidak pernah pulang sampai sesore ini. Tapi, di saat sang eyang datang dirinya malah tidak ada di rumah dan baru pulang petang hari.

"I-itu ... Wulan abis ke suatu tempat dulu, Eyang."

Eyang mendengkus. "Bersama seorang laki-laki? Apa sebebas itu pergaulan kamu selama ini?"

Pertanyaan bernada tajam itu membuat nyali Wulan menciut. Ternyata sang eyang melihatnya pulang bersama Damar. Sudah pasti eyang akan berpikir yang tidak-tidak.

"I-itu—"

"Sudah! enggak perlu dijelaskan. Sekarang kamu masuk, ganti baju, setelah itu makan malam. Dan kamu harus ingat! Selama eyang di sini, jangan harap kamu bisa sebebas ini lagi. Mulai sekarang eyang yang akan awasi kamu. Ngerti?"

Tegas, dan tanpa basa-basi, khas eyang putri yang tidak pernah berubah. Dan ya ... Wulan pun hanya mampu mengiyakan saja. Membantah? Itu sama saja ia bunuh diri.

"Wulan ngerti, Eyang!" gumam Wulan pasrah. Ia pun hanya bisa menatap punggung sang eyang yang kini sudah beranjak dari hadapannya.

Bik Ros yang turut melihat itu pun menghela napasnya yang sejak tadi terasa putus-putus. "Buset dah! Nyonya besar makin tua makin pedes aja mulutnya," gumam bik Ros sambil mengelus dadanya sendiri.

Wulan tak menanggapi. Iya hanya menoleh sekilas ke arah bik Ros, dan lebih memilih melanjutkan langkahnya menuju kamar.

"Non!"

Langkah Wulan terhenti. "Iya?"

"Non enggak apa-apa 'kan?" tanya bik Ros dengan nada khawatirnya. Dengan keberadaan Nyonya besarnya, sudah pasti itu akan membuat non Wulannya semakin nelangsa saja.

"Enggak apa-apa, Bik." Wulan lalu berbalik dan menatap bik Ros. "Kalo eyang di sini, rumah ini pasti bakal rame, enggak sepi lagi. Iya 'kan?" sambungnya dengan senyuman kecil yang menggantung di sana.

Bik Ros semakin merasa trenyuh saja. Ia tahu arti kata rame yang Wulan maksud. Bukan, bukan ramai penuh dengan gelak tawa bahagia atau sejenisnya, tapi justru sebaliknya. Bik Ros lebih memilih membiarkan Wulan berlalu dari sana, membiarkan non Wulan istirahat sebentar saja.

DamarWulan (Completed✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang