16 // About You

1.3K 88 5
                                    

Seorang gadis bernama Nellsa sedang asyiknya melamun dengan diary di tangannya. Raga menghampirinya dengan masih menggunakan kaos juga topi berwarna hitam. Nellsa melotot melihat kedatangan Raga.

"Hay Sa!"

"Lo?"

Raga mulai duduk di samping Nellsa dengan tenang walaupun Nellsa belum menyuruhnya untuk duduk bersamanya di satu kursi.

"Melamun itu indah, melamun itu obat, melamun itu bukan alihan dari tegangan otak yang berlebihan."

"Lo ngomong apa?"

"Cuma kutipan dari buku yang gue baca. Udah sore, harusnya lo pulang bukan ngelamun di sini, itu bahaya!"

"Suka suka gue." Nellsa mulai risih karena Raga terus saja ada dihadapannya secara tiba-tiba. Dan selalu ingin mencampuri urusannya.

Raga menatap Nellsa dari samping. Rambut yang terurai terbawa haluan angin. Mata yang bulat membuat hatinya tersentuh. Nellsa menoleh balik padanya.

"Kenapa lo liat gue kayak gitu?" Nellsa mulai canggung.

"Gue suka mata lo."

"Apa? Ngomong apaan sih lo gak jelas deh." Nellsa menjadi gugup tiba-tiba hanya karena Raga memujinya tanpa ragu.

"Gue bohong." Raga senyum tipis karena berhasil mengejek Nellsa.

"Ih ... ngeselin," batin Nellsa.

"Gue gak ngeselin, gue jujur. Lo punya mata yang indah, gak usah pake lensa kaca lagi." Raga mulai menatap atap-atap langit yang begitu biru terlihat.

"Dia aneh, apa jangan-jangan dia bisa baca pikiran orang?" batin Nellsa.

"Gue gak ahli baca pikiran orang, gue bicara sesuai apa yang gue liat." Ucapan Raga membuat Nellsa melotot kaget. Raga bahkan seperti bisa mendengar apa yang hatinya bicarakan.

"Hah? Lo, ih gue mau pulang aja deh, gue duluan!" ujar Nellsa melangkah pergi. Ia bahkan meninggalkan diarynya di kursi.

Raga melihat diary Nellsa tergeletak di kursi. Niatnya begitu ragu untuk membuka karena itu adalah privasi. Tapi rasa penasaran terus mencuat dalam dirinya. Terlebih lagi pada seorang gadis bernama Nellsa yang akhir-akhir ini membuat Raga bahagia ketika mengenalnya di hari pertama mereka bertemu. Dengan ragu, halaman pertama dibuka oleh Raga.

"Menunggu kamu itu menyenangkan, walaupun rupamu tak ada dihadapanku. Izinkan aku terus mencintaimu."

Itulah perkataan yang mengawali halaman pertama diary Nellsa. Sepuluh meter kira-kira Nellsa sudah berjalan menjauh dari Raga, ia baru mengingat akan diarynya. Matanya melebar kaget karena mengingat itu.

"Diary gue? Aduh, jangan sampe Raga baca itu."

Nellsa berlari kembali ke tempat Raga dengan berlari kencang.

Raga yang kebetulan sedang memegang diary milik Nellsa, lantas diambil paksa oleh pemiliknya. Dengan tatapan datar, Raga terkejut melihat wajah Nellsa yang bahkan seperti induk panda yang kehilangan anaknya. Nellsa menatapi Raga dengan penuh amarah sambil mendekap diarynya di dada.

"Lo baca ini?" tanya Nellsa dengan napas terengah-engah karena berlari. Alisnya terus ia angkat dengan jengkel karena melihat diary itu ada di tangan Raga.

"Gue gak baca apa-apa. Gue baru aja mau balikin ke lo."

"Lo yakin?"

Raga menganggukan kepalanya perlahan. Padahal, ia sudah membaca halaman pertama diary milik Nellsa.

"Ya udah gue pergi."

"Gue akan balikin semua kebahagiaan itu ke lo Nellsa," gumam Raga sambil tersenyum menatapi gadis itu menjauh.

Note Diary :

"Air ombak menyirami beberapa karang tanpa bekas. Begitupun dengan kamu. Kamu siram beberapa bagian dari diriku tanpa bekas yang ku sebut cinta. Aku tidak ahli sajak, tapi saat aku mengenalmu dan terus memikirkanmu, entah kenapa aku membuat sajakku sendiri untukmu. Aku memang melihat rupamu di depan mataku. Tapi rasanya, hatiku mengatakan kamu belum datang menghampiriku dengan hatimu." Diary Nellsa.

-0-0-0-0-0-

"Itukan Raga? Wah, bangga banget yah, punya model setampan Raga kuliah di kampus kita." Beberapa gadis sedang membicarakan Raga yang menjadi bintang iklan di Televisi yang mereka lihat di kantin kampus.

"Itu kan Raga." Kian menunjuk televisi di cafe saat itu.

Nellsa menengok ke arah TV. Matanya menangkap sosok Raga tengah menjadi bintang iklan sebuah ponsel.

"Iklan handphone?" gumamnya aneh.

"Hebat ya, baru beberapa hari dia udah jadi bintang iklan di sini." Kian berdecak kagum melihatnya.

Diko menatap televisi itu dengan memicing, "Kalau kayak gini, dia benar-benar beda dari Dio. Dio kan orangnya gak suka tempat umum, apalagi diliat orang banyak kayak gitu. Gue harus cari Dio. Kira-kira rumahnya masih ada gak ya? Apa udah digusur? Gue gak bisa terus penasaran gini sama orang lain."

Diko mendatangi rumah lama milik Dio yang pernah ia datangi ketika menjemput Dio untuk pergi ke sekolah sewaktu SMA dulu. Setelah Dio pindah dulu, Diko sempat mengunjungi tempat itu, namun rumah terlihat kosong dan bertuliskan di depan pintu bahwa rumah itu telah dijual. Diko datang lagi, berusaha untuk memastikan rumahnya terjual, dan orang itu bisa memberikan informasi dimana Dio dan keluarganya tinggal.

"Permisi ...," teriak Diko dari depan rumah yang sebelumnya pernah di diami oleh sahabatnya itu.

"Kamu siapa ya?" tanya seorang laki-laki yang keluar dari dalam rumah.

"Bapak sekarang yang tempatin rumah ini ya Pak? Sebelumnya, Bapak tahu nggak tentang keluarga yang pernah jual rumah ini? Kira-kira mereka tinggal di mana ya sekarang?"

"Kalau itu saya kurang tau nak. Yang tau semuanya istri saya. Saya cuma menyewa rumah ini. Tapi istri saya lagi ada di luar," ucap laki-laki paruh baya itu.

"Oh iya deh Pak. Siapa tau istri Bapak tau ke mana pindahnya keluarga teman saya yang dulu tinggal di sini. Lain waktu saya balik lagi Pak, saya permisi dulu."

"Iya nak iya."

Diko melihat album kenangan sekolah yang dulu pernah mereka buat. Album itu tersimpan aman di laptop miliknya. Diperhatikannya telinga kiri milik Dio di dalam foto.

"Dia gak punya tindik, lagi pula Dio bukan orang yang suka fashion. Aduh Dio, lo ke mana sih? Gue gak tahan liat Nellsa terus berbayang rupa lo, apa lo pernah amnesia? Atau lo punya saudara kembar? Terus, siapa Raga itu? Waktu main dulu, gue gak pernah liat ibu sama ayah lo. Kalau gue main, mereka selalu di luar. Perasaan gue, hidup lo juga biasa-biasa aja sih, dan yang gue tau, lo itu anak tunggal. Jangan-jangan, lo pura-pura jadi Raga? Ah, pikiran gue kacau gini sih."

Pikirannya dibuat risih karena kecurigaannya pada Raga mulai mencuat. Padahal, pria itu hanya memiliki kemiripan belaka. Namun, pikiran berlebih Diko membuat dirinya sendiri penasaran. Jujur saja, Diko belum percaya kalau Dio sudah pindah dari Bandung. Walau pemikirannya ini sama dengan pemikiran Erick yang selalu ia tepis. Kehadiran Raga, membuat kerinduannya pada sahabatnya itu malah semakin kuat dan berujung dengan rasa penasaran.

AFTER 20 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang