Senja menghampiri langit. Cahaya redupnya mulai memancar. Hembusan angin menerpa helaian rambut seorang makhluk hidup tengah berdiri di balkon kamar apartemennya. Memperhatikan senja yang mulai terbenam. Tatapan fokus dari matanya seakan seluruh bumi berpihak padanya.
"Apa gue bisa jalanin ini semua? Rasanya ini terlalu sulit, aneh, juga bikin gue bodoh. Untuk pertama kalinya gue mencintai seseorang dan untuk pertama kalinya juga gue patah hati karena mencintai seseorang," gumam Raga.
Pagi menjelang. Dengan langkah tenang, Raga mulai masuk ke mobilnya, melajukannya dengan tenang sampai berada di ruang kesunyian. Langkah kaki panjangnya membawanya ke tempat saudaranya terbaring damai di bawah sana. Raga menatapi sejenak pusara sang kakak yang lahir sepuluh menit lebih dulu darinya. Sejenak, Raga memendam kesal karena ia tak bisa mengambil Nellsa dari Dio. Namun, Raga pun akhirnya curhat karena dirinya begitu mencintai Nellsa dan tak tahu apa yang harus ia lakukan pada hatinya kini.
"Hai, gue kembali lagi. Mulai dari mana ya? Emm-- apa yang harus gue lakuin? Gue ... gue cinta sama Nellsa, saat pertama kali liat dia di toko waktu di Belanda. Rambutnya terurai indah, matanya bulat kayak bola, juga senyumnya yang semanis tebu. Gue gak pernah tau dia siapa sebelumnya. Semenjak mendengar namanya, gue berpikir apa gue bisa mencintai dia sedangkan dia milik lo? Apa lo benci sama gue? Apa lo marah sama gue? Gue harus apa? Lo bilang dulu, gue harus jaga dia. Buat itu, kayaknya gue gak bisa. Hatinya ke tutup cuma buat lo. Ini emang cinta sejati yang belum pernah gue liat di bumi. Ternyata, lo emang selalu menang dalam hal apapun dari gue Dio. Hhh." Raga terkekeh tipis seraya terus bercerita di depan pusara sang kembarannya. Wajah yang tadinya senyum, kemudian mulai memudar datar. Matanya terfokus pada kekosongan belaka. Sebuah air menggenang di matanya. Sebesar apapun ia ingin menangis, tetap saja Raga tahan sekeras mungkin. Jujur saja hatinya begitu sakit mencintai Nellsa saat ini.
"Bisakah gue izin buat cinta sama dia? Walau ini gak terbalas?" Raga lagi-lagi tersenyum, tapi kemudian ia menunduk merasa sendu. Bahkan berusaha untuk menahan tangisnya. Namun, air mata tetaplah air yang selalu menetes ketika ada celah yang terbuka. Walau Raga memenjamkan matanya, ia tetap tak bisa menahan air matanya.
Bandung akhir-akhir ini memang selalu diguyur hujan dan diterjang angin yang kencang sebelum datangnya hujan. Angin itu membuat beberapa pohon menari ke sana ke mari dan menerbangkan beberapa daun kering yang berjatuhan. Seketika, bunga mawar putih di dekat pusara Dio pun ikut menjatuhkan beberapa kelopaknya, terhembus angin dan sebagiannya mengguguri kepala Raga membuat pupil matanya melebar. Jantungnya bergetar aneh dan matanya mulai menatap beberapa kelopak mawar yang jatuh di atas kepalanya. Raga menatapi atap langit yang di atasnya berjatuhan kelopak mawar karena terbawa angin.
Air matanya mulai mengalir. Ia kemudian menunduk, menatap nisan bertuliskan Ruga Alvadio dengan mata sendunya. Wajahnya kebingungan atas kejadian itu. Namun kini, dirinya serasa dibuat mengerti oleh kehadiran angin yang menerbangkan kelopak mawar di kepalanya.
"Kenapa lo jahat sama gue? Kalau ini jawaban lo, gue akan cintai Nellsa semampu gue. Gue akan jaga dia buat lo. Walau sekeras apapun dia nolak, gue akan berusaha terus cinta sama dia. Gue janji." Air mata Raga mulai menetes. Ia mengusap kembali nisan sang kembaran.
Jam sembilan pagi kampus sudah ramai. Nellsa berusaha mencari lift yang kosong, karena semua lift dipenuhi oleh mahasiswa-mahasiswi. Kalau menaiki anak tangga, dirinya pasti akan terlambat dan ujungnya akan sangat melelahkan.
"Aduh, kenapa penuh semua sih? Gue kan ada ujian." Nellsa menggerutu kesal karena tak bisa sampai cepat ke kelas.
Ya, hari itu adalah hari ujian di kampus Yuniar. Tentu lift adalah jalur alternatif untuk beberapa mahasiswa yang tidak ingin terlambat. Sebagian menaiki tangga karena kelas mereka hanya berada di lantai 2.
Sementara Nellsa, ia pindah kelas dan harus menyusuri setiap lantai untuk bisa ke lantai 5. Dengan tiba-tiba, ada tangan yang menariknya masuk ke lift yang masih renggang terlihat. Kemudian beberapa orang ikut masuk memenuhinya.
"Raga?" Nellsa terpaku kaget. Ya, orang yang menariknya saat itu adalah Raga.
"Lima menit lagi ujian dimulai," ujar Raga dengan datar. Terasa begitu sesak di dalam karena beberapa orang saling berhimpitan.
Raga melindungi Nellsa dari beberapa badan laki-laki yang berdekatan dengannya. Sampai pada lantai lima. Mereka turun bersama.
"Udah cepat ke kelas, Dosen lo lagi otw tuh!"
"Lo? Bukannya lo di lantai 3? Kenapa lo berhenti di sini?" Nellsa heran karena Raga ikut turun bersamanya di lantai 5. Padahal, kelasnya sudah terlewat.
"Gue cabut sekarang. Semangat." Raga lantas masuk lagi ke lift untuk turun lagi ke lantai 3 walau saat itu menunggu lift terbuka benar-benar membuang waktu.
"Jadi, dia cuma nganter gue ke sini?" Nellsa terlihat heran.
Dengan tergesa, Nellsa lantas masuk ke kelas. Benar kata Raga, terlihat Pak Dosen yang sudah berada di ruang kelas tengah menunggu seluruh mahasiswa untuk masuk.
Karena mengantar Nellsa, Raga pun akhirnya telat mendapatkan soal ujian.
"Dari mana aja kamu?"
"Maaf Pak, lift penuh."
"Ya udah, belum sampai 5 menit. Silakan kamu duduk, ini soal ujian kamu."
"Makasih banyak Pak." Raga lantas duduk di samping Aldan sambil membereskan perlengkapannya.
"Dari mana aja lo? Kenapa bisa telat?" bisik Aldan yang matanya terus melirik Dosen killer di depan.
"Ada hal penting."
"Penting? Nellsa kan?" bisik Aldan kembali. Ia tahu karena sempat melihat Raga dan Nellsa yang jalan berjauhan dari tembok kaca kelas mereka.
Raga membuang pandangannya dan terfokus pada arahan Pak Dosen. Pertanyaan Aldan pun tak ia jawab.
"Gak asik ah."
"Iya, habis nganterin Nellsa ke lantai 5. Gue turun dulu di sana. Baru turun lagi ke lantai 3."
"APA?" Aldan refleks membuat volume suara begitu keras sampai membuat Pak Dosen terkejut karena itu.
Aldan meringis bersalah depan Pak Dosen.
"Kamu? Punya masalah? Udah berobat?" Pertanyaan Pak Dosen malah membuat seisi kelas terkekeh. Raga pun akhirnya ikut tertawa.
"Awas lo. Gue bilangin lo sama Nellsa kalau lo telat," bisik Aldan membuat Raga melotot menatapnya.
"Awas aja lo nyontek gue," bisik balik Raga membuat Aldan ketar-ketir khawatir.
"Heh, gak gitu juga maksud gue. Jangan pelit lo, nanti kepala lo gede tau rasa."
"Bahkan kalau kepala gue gede, masih gedean kepala lo tau gak."
"Ekheemmm. Jangan ada keributan." Pak Dosen menegur.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER 20 DAYS
General FictionPerjalanan Nellsa ke Belanda untuk melakukan observasi, malah membuatnya dejavu akan cinta masa lalunya ketika bertemu dengan Raga. Raga, pria asal Rotterdam itu membuat Nellsa harus merasakan kilas balik perasaan cintanya karena kemiripan wajah Rag...