34 // Jangan Benci

1.1K 81 4
                                    

Diko dan Erick terlihat memberikan seikat bunga mawar putih di pusara milik Dio. Mereka sendu, sangat sendu terlihat. Erick masih tenggelam dalam duka, dengan terus mengusap nisan milik Dio. Setelah itu mereka pergi ke kampus. Sampai di sana, mereka melihat Raga tengah dikerumuni beberapa gadis karena kepopulerannya di majalah. Walaupun Raga hanya bereskpresi datar, tidak terpengaruh pada gadis-gadis genit itu.

Aldan membawakan segelas jus untuk Raga dan mengusir para gadis di sekelilingnya.

"Heh pada ngapain sih? Sana-sana."

"Dih apaan sih, gak asik banget."

Para gadis itu pun lantas pergi.

"Buat lo, kali ini gratis." Aldan menyodorkan segelas jus mangga.

Raga tertunduk diam, matanya menatap kosong dasar lantai, dengan kompas yang ada di tangannya juga dipakainya kembali anting perak miliknya.

"Ga, are u Ok?" Aldan sedikit cemas.

"I'm Ok. Thanks buat jusnya." Raga mulai tersenyum lebar.

"Gitu dong, gue kira lo kesambet apaan diem aja."

"Mungkin gue harus pergi." Ucapan Raga membuat Aldan terkejut.

"Pergi? Lo baru aja sampe udah mau pergi?"

"Gue mau balik ke Rotterdam, mulai semuanya dari awal, kuliah, hidup, beradaptasi."

"Maksud lo apa? Di sini tempat kelahiran lo, masa lo mau balik ke negara orang? Lo tega ninggalin Dio di sini?" Pertanyaan Aldan sontak membuat Raga terkaku menatapnya.

"Lo bilang selama ini Dio sendiri di sini tanpa lo, dan sekarang lo kembali buat dia dan mau pergi lagi?"

"Buat apa gue ada di sini? Tugas gue selesai, semua udah gue ungkap. Dio mungkin tenang di sana sekarang."

"Terus gimana sama Nellsa dan perasaan lo?" tanya Aldan membuat Raga menatapnya tajam.

"Gue tau hati lo kayak gimana sekarang. Cara natap lo ke dia beda dari lo natap cewek lain. Jangan tahan perasaan lo. Di sini Nellsa sendirian. Dia hilang setengah hatinya setelah beberapa tahun dia baru tau kenyataan. Sakit mungkin rasanya. Tapi lo dilahirin untuk jadi obat buat Nellsa Ga. Walaupun itu sulit, jangan pernah bohongin perasaan lo. Gue bakalan ada di samping lo." Aldan menepuk pundak lebar milik Raga.

Diko tertunduk lemah setelah ia menguping pembicaraan Raga dan Aldan. Sungguh, hatinya terasa sakit. Karena pada kenyataannya, dirinya pun menyukai gadis bernama Nellsa. Drama Dio membawanya jatuh pada perasaan lebih dari sekedar iba pada Nellsa. Namun ia mengerti, hal itu tak akan bisa terjadi. Melihat Nellsa terluka, hatinya pun ikut terluka. Itu yang ia rasakan saat ini.

Siang begitu terik menyilaukan beberapa pandangan mata orang-orang. Kennia datang tiba-tiba menghadang Raga.

"Apa lagi?"

"Lo gak usah sedih berlarut-larut kayak gini, gue udah bilang bakalan jadi temen curhat lo."

"Gue lagi gak butuh temen curhat." Raga hendak melangkah pergi, namun Ken memegang erat tangannya. Nellsa yang tadinya hanya lewat, sekarang melirik Raga dan Ken yang sedang berbincang. Raga melihat Nellsa dan mencoba untuk menghampirinya. Nellsa malah melarikan diri membuat Raga mengejarnya dengan langkah begitu cepat.

"Apa salah gue? Kenapa lo ngehindar dari gue?"

Napas Raga terengah karena mengejar Nellsa.

"Kalau liat wajah lo gue semakin sakit. Maka dari itu jangan muncul tiba-tiba kayak gini di depan gue." Nellsa menekan Raga dengan nada bicaranya yang mulai tinggi.

"Gue minta maaf karena wajah gue. Tapi gue gak bisa minta maaf soal perasaan gue ke lo Sa. Bisa gak lo liat gue sebagai Raga kali ini aja?" Pertanyaan Raga membungkam mulut Nellsa lagi.

Ken menghampirinya, "Ternyata lo lagi. Harusnya yang lebih menderita itu gue bukan lo. Seenaknya lo ngambil apa yang milik gue dulu dan sekarang lo mau menghasut Raga hanya karena dia kembaran Dio kan?"

"Ken apa maksud lo!" Raga sedikit ketus pada Ken.

"Tolong jaga ucapan lo. Kalau lo mau, ambil aja dia." Nellsa merasa sendu dan lantas berlari pergi.

Dengan air mata yang membasahi wajah lembutnya, Nellsa menangis di kelas. Kian selalu menghampirinya dikala hatinya merasa sakit karena orang-orang di sekitarnya.

"Sa, gue rasa Raga gak harus kita benci. Dia udah baik mau kasih tau semuanya."

"Tapi semua itu telat Ki. Kenapa dia gak bisa bilang dari awal? Dia itu pembohong besar."

"Dia mungkin nunggu waktu yang tepat. Lo gak harus benci sama Raga. Dia bukan orang yang sama. Dia hidup sebagai dirinya sendiri selama ini."

"Tapi gue menderita kalau terus liat wajah dia Ki."

"Lo menderita cuma karena wajah? Dan gimana perasaan lo selama ini ke dia? Gue tau hal ini gak menyangkut tentang Dio Sa. Perasaan itu bukan perasaan yang pernah lo bagi ke Dio kan? Jawab gue." Ucapan Kian membuat Nellsa terdiam menatapnya.

"Gue tau. Gue tau selama ini perasaan lo ke Raga gimana. Dari cara dia natap lo, dia itu punya perasaan sama lo dan itu sebagai Raga bukan menjadi Dio atau bukan hatinya Dio. Tolong melek Nellsa."

"Gue gak punya perasaan apa-apa sama dia." Nellsa melangkah pergi.

"Lo bohong! Lo lagi bohong saat ini."

"Ki please ..."

Kian meninggalkan Nellsa karena keegoisan hati Nellsa sekarang.

"Pokoknya lo lagi bohong saat ini. Lo harus jujur sama perasaan lo sebelum lo menyesal."

Kian menjauh dari Nellsa. Sementara, Nellsa hanya tertunduk sambil mendekap diarynya. Matanya sembab karena menangis. Nellsa ragu untuk bersikap pada Raga walau niatnya ingin kembali seperti dulu. Kian sebenarnya benar, ia tak harus membenci orang hanya karena wajah. Namun, bayang-bayang menyakitkan cintanya di masalalu membuat Nellsa selalu teringat akan hadirnya Dio. Sebenarnya, hati Nellsa hanya takut. Takut akan hal di masalalu yang kembali di jaman ini. Namun, pikiran itu buruk untuk dituruti. Dan berujung, kebingungan sendiri dalam hati Nellsa.

AFTER 20 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang