22 // Penasaran

1.1K 87 0
                                    

Suara hentakan kaki terdengar nyaring di sepanjang koridor kampus. Raga tengah membaca novelnya di aula kampus. Terlihat oleh matanya, sepatu oxford berwarna abu dihadapan kakinya. Raga mengalihkan pandangannya pada sepatu itu. Ia menarik pandangannya ke atas menatap orang yang berdiri tepat dihadapannya. Seorang gadis berwajah datar sedang menatapnya fokus. Raga yang terduduk tenang dengan kedua kaki yang ia lipat, menatap gadis itu bingung. Tangannya masih memegang novel bacaannya.

"Siapa lo sebenarnya?" Dahi Ken mengernyit menatap Raga.

Raga perlahan berdiri. Tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku celana jeans hitam miliknya. Raga mulai membalas tatapan penasarannya.

"Kenapa? Bukannya lo temannya Nellsa ya yang kemarin?"

"What? Teman? Omong kosong macam apa itu," sinis Ken menyeringai setelah ia disebut teman Nellsa oleh Raga. Padahal, Raga sudah tahu kenyataan dan cerita tentang gadis itu juga Nellsa dari Kian.

"Tolong bilang sama gue, siapa lo sebenarnya?" Permintaan Ken sedikit menekan Raga. Karena jujur, Kennia begitu  penasaran karena mereka bilang kalau Raga mirip dengan Dio.

"Gue Raga. Bukannya gue udah sebut nama gue di depan lo waktu itu ya?"

Pernyataan Raga membuat Ken tertegun aneh. Alisnya mengerut bingung menatap Raga yang wajahnya terlihat begitu serius.

"Lo bilang gue Dio?" Pertanyaan tambahan dari Raga membuat Ken menatapnya tajam.

"Jadi gini ya .... gue Raga dan bukan Dio yang lo kenal."

"Hah? Maksud lo gimana? Kalau bukan Dio, lo siapa?"

Karena pertanyaan Ken yang tak percaya malah menekannya, Raga kemudian menunjukkan kartu identitasnya. Ia menyodorkannya pada Ken tepat dihadapan wajahnya.

"Nih!"

Ken mengambilnya paksa dari tangan Raga. Dibacanya secara serius kartu ID itu.

"Raga Alvanio? Kenapa lo bisa mirip sama orang yang gue kenal?" Ken mengerutkan dahinya heran ketika ucapan Raga adalah benar.

Raga mengambil kembali kartu identitasnya dari tangan Kennia. Tak ingin berlama-lama untuk menjelaskan siapa dirinya saat itu, Raga lantas pergi tanpa basi-basi. Sementara Ken menatapnya dengan aneh.

"Aneh, kenapa tuh orang bisa semirip itu sama Dio. Dari logatnya sih dia emang beda sama Dio. Bukannya kak Dio pindah entah ke mana ya? Masa kembali lagi jadi kayak gitu. Gue harus tau tuh cowok," batin Kennia.

____________________________________

"Kak Dio tau, semirip apapun orang asing itu sama kakak, Nellsa bisa bedain perasaan Nellsa sama kakak. Melihatnya, memang serasa kakak ada dihadapan Nellsa. Tapi sebaliknya, Nellsa gak pernah merasa kakak datang dengan nama yang berbeda. Kak Dio, sejauh apapun kakak pergi, please kembalilah. Jangan menunggu suratnya usang, dan bercampur dengan debu."
Diary Nellsa.
___________________________________

Nellsa kembali ke toko bunga Pak Maman. Dengan sumringah wajah cerianya, membuat bunga-bunga menyambutnya dengan mekaran begitu indah. Gadis berwajah imut itu lantas mengambil semprotan air dihadapannya. Disemprotnya bunga mawar putih miliknya.

"Aduh, seneng banget deh liat ini pagi-pagi."

"Nellsa, pagi-pagi begini kamu sudah datang. Kamu gak kuliah?"

"Nggak kok Pak, Nellsa ada kuliah umum aja siang nanti. Liat pak Maman, bunga Nellsa tambah mekar, pertumbuhannya lumayan cepat."

"Wah, kamu pinter rawat bunga mawar nak."

"Keindahan bunga kamu, hampir aja mencuri hati laki-laki yang kemarin terus natap bunga kamu Sa," sambung Lili, salah satu pelayan di toko bunga Mentari.

"Laki-laki?"

"Iya, kayaknya sih dia tertarik gitu. Senyum terus di depan bunganya."

"Emm, aku gak rela ini dijual. Selagi dia masih mekar juga hidup dengan tenang, aku gak mungkin ninggalin dia Li."

Kecintaannya terhadap bunga, membuat Nellsa memang betah berlama-lama di toko bunga Pak Maman. Alasan itu lah yang selalu membuat ia jadikan pelarian ketika sedih atau pun mengingat masalalu yang sulit sekali ia buang. Dan kini, harus muncul semuanya karena kehadiran Raga yang tiba-tiba. Nellsa bahkan berpikir bahwa ia akan menemui Raga cukup di Rotterdam. Namun, perjalanan waktu membuat mereka akhirnya bertemu dalam satu tempat yang sama. Sejenak, Nellsa berpikir tentang hal itu.

"Kenapa ceritanya jadi kayak gini. Cewek dalam penantian lamanya, malah jadi terpuruk sendiri karena masalalunya. Satu sisi gue senang kenal sama dia, tapi satu sisi gue merasa ... gue salah kalau terus-terusan di samping dia. Tuhan, tolong kasih petunjuk atas perasaan aku yang plin plan begini."

Nellsa termenung menatapi bunga mawar putihnya sambil membatin membicarakan seorang pria yang ia temui di Rotterdam. Nellsa tak bisa membayangkan kalau pertemuannya dengan Raga malah membuatnya menjadi teman saat ini.

AFTER 20 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang