Di kampus, ekspresi wajah Nellsa membuat Kian penasaran. Kian bahkan takut jika temannya itu tiba-tiba pingsan karena menyimpan sakit. Wajah Nellsa hari itu serasa banyak sekali menyimpan sesuatu.
"Kenapa Sa?"
"Gak apa-apa kok Ki. Akhir-akhir ini, gue ngerasa aneh sama perasaan gue sendiri deh."
Kian yang tengah makan sebuah cemilan lantas bergegas mendekati Nellsa untuk bisa mendengarkan curhatannya.
"What? Apa lo bilang? Lo kenapa emangnya?"
"Nggak. Gue ngerasa lebih sensitif aja."
Kantin semakin ramai, Raga dan Aldan terlihat mengantri untuk membeli makanan yang mereka pesan. Mata Raga memencar, dan hanya Nellsa yang ia tatap diujung sana. Setelah mendapatkan satu piring makan siang, Raga melangkah menuju tempat dimana Nellsa dan Kian tengah melakukan proses makan. Aldan mengikutinya aneh. Karena ia tahu, jika Raga ke suatu tempat pasti ada maksud tertentu. Raga bukan lah orang yang pemilih dalam hal apapun. Ia selalu melakukan apa kata hatinya. Walaupun terkadang itu tak baik untuknya.
"Eh Raga," sapa Kian.
Mata Nellsa terus menatap Raga yang tengah menatap datar wajahnya. Nellsa lantas bergegas pergi meninggalkan Raga tiba-tiba.
"Ki ayo kita pergi." Nellsa sangat jelas menghindari Raga di setiap pertemuan kebetulannya itu.
"Lah gue belum makan?"
"Udah nanti aja makannya."
Raga melihatnya heran bercampur bingung. Ia merasa dijauhi juga dihindari oleh Nellsa hari itu. Padahal, ia pikir, dirinya tak pernah melakukan kesalahan apapun pada Nellsa sebelumnya. Hanya waktu kemarin ketika ia menuduh Nellsa cemburu karena pertemuannya dengan Ken. Raga pikir, hal itu bukan lah hal yang begitu serius. Raga sering mengejek Nellsa di setiap pertemuan mereka, tapi Nellsa tak pernah marah dengannya. Awalnya ia hanya bersikap biasa kala Nellsa mengabaikannya, namun yang ia rasa saat ini sungguh menyebalkan dan hatinya tiba-tiba saja merasa tertusuk-tusuk oleh jarum.
"Bro, kenapa tuh cewek? Kok ngeliat lo kayak ketakutan gitu?"
"Gak tau." Matanya masih menatap Nellsa yang menjauh.
Di taman kampus, celah mata Nellsa mulai mengeluarkan sedikit air mata. Diko yang lewat menghampirinya dan menanyakan kabar perihal tangisan tersembunyi yang Nellsa lakukan saat itu.
"Nellsa? Lo ngapain di sini?"
Nellsa berusaha mengusap air mata di celah matanya ketika Diko menghampiri.
"Ada apa sama lo?"
"Eh kak Diko, gak apa-apa kok."
Diko menunjuk kedua mata Nellsa dengan heran. Ia tahu sedari tadi Nellsa menahan tangisnya.
"Oh, Nellsa kelilipan tadi, debu di mana-mana."
"Sa, apa soal Dio lagi?" tanya Diko membuat Nellsa terdiam.
"Hmmm. Sa, gue tau ini sulit bagi lo. Tapi tolong lupain Dio. Dia udah pergi jauh dari sini. Percuma lo nunggu, kita aja gak punya kontak dia, gimana cara hubunginnya coba? Gue udah gak bisa. Lagi pula, ngapain juga tuh anak pergi tiba-tiba tanpa pamit. Aneh banget dah. Sekalinya gue sahabat dia pun, dia rasanya gak peduli sama gue. Gue yakin di luar sana kehidupannya udah baik-baik aja."
"Kenapa kakak ngomongin Dio? Nellsa gak mikirin apapun tentang Dio. Lagi pula, Nellsa gak nyuruh kakak cari kak Dio kok."
"Raga. Lo sedih karena terus liat Raga kan? Ya walaupun hanya beberapa persen wajahnya persis kayak Dio, tapi gue yakinin lo, dia sungguh-sungguh beda dari Dio!" Ucapan Diko begitu menekan memperingati Nellsa.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER 20 DAYS
General FictionPerjalanan Nellsa ke Belanda untuk melakukan observasi, malah membuatnya dejavu akan cinta masa lalunya ketika bertemu dengan Raga. Raga, pria asal Rotterdam itu membuat Nellsa harus merasakan kilas balik perasaan cintanya karena kemiripan wajah Rag...