Siang terang datang, matahari menyorot tajam kampus Yuniar. Sebagian mahasiswi tengah berkipas-kipas karena terasa panas. Erick terlihat sedang meminum sebotol air dingin di kantin. Suhu bumi di Indonesia kali itu benar-benar membuat rasa dahaga terus muncul.
"Duh, mantap jiwa gue. Kenapa hari ini panas banget ya?"
Dari belakang, Diko menepuk pundak Erick hingga ia terpingkal kaget.
"Sial, bikin kaget aja!"
"Anjir, king kong sawah!" Erick mulai mengumpat di belakang punggung Diko, melihat Aldan tengah berjalan menuju kantin untuk makan.
"Hehehe, ada Monyet Albino!" Aldan tersenyum sinis melihatnya dari kejauhan.
"Ngapa lo? Kayak liat setan aja!"
"Dia lebih serem dari setan bro."
Langkah kaki laki-laki bernama Aldan akhirnya berhenti tepat di depan mereka. Iya, Diko dan Erick yang memang sangat tidak ingin berurusan dengan Aldan. Seketika, mereka bermusuhan secara dadakan. Aldan terus tersenyum sambil memegang piringnya dan tak segan duduk di depan Diko dan Erick yang keheranan dengan sikap laki-laki bertubuh kekar tersebut.
"Hai bro. Gue ikut makan di sini ya. Sial, lapar banget dah." Setelah membuat kebingungan dua orang itu, Aldan lantas melahap dengan tenang setiap makanan yang ada di piringnya.
"Heh king kong sawah, ngapain lo ke sini? Gak punya temen lo ya? Ha Ha Ha." Erick memulai pertarungan kata.
"Heh monyet Albino, mau gue bogem lagi lo?"
"Monyet Albino? Kingkong sawah? Hahaha kalian cepet banget akrab, jangan-jangan ada something di antara kalian."
"What? Najis!"
Aldan melototi Erick.
"Eh ngomong-ngomong, tumben lo gak sama Raga. Di mana dia?" tanya Diko.
"Dia ada pemotretan sekarang. Siang nanti dia ke sini cuma kuliah umum. Ngomong-ngomong, lo fakultas ekonomi juga kan? Kenapa lo mau diikutin sama nih Monyet sih?" Aldan membuat Erick naik vitam.
"Iya, gue gak tau kenapa dia tiba-tiba milih Teknik. Gue tadinya bareng dia. Tapi gue mengurungkan niat."
"Iya iya gue tau, karena Nellsa kan? Haha." Erick membuat Diko tertegun kaget.
Diko menyenggol lengan Erik dengan refleks.
"Diem lo!" bisik Diko.
"Heh, kingkong sawah, gue bakalan bikin perhitungan sama lo."
"Coba aja kalau lo berani!"
Siang terik itu, menjadi kelasnya untuk mereka yang ingin melakukan kuliah umum. Salah satu orang paling rajin yang tak pernah absen mengikutinya adalah Nellsa. Kalau dibilang Nellsa adalah gadis yang cerdas, itu benar. Sejak SMA, ia memang suka dengan yang namanya belajar. Karena itu, ia selalu menjadi salah satu pemberi contekan ternama di SMA dulu. Nellsa mengambil kuliah umumnya hari itu.
"Sa, gimana kondisi lo?" tanya Kian.
"Gue gak apa-apa kok Ki."
"Gue kira lo bakal geger otak atau amnesia."
Ya, setelah kejadian pingsannya Nellsa dalam pertandingan, Kian sebagai sahabatnya memang wajib merasa khawatir. Nellsa pun baru saja pulih setelah peristiwa itu.
"Kian, yang nimpah gue cuma bola tenis bukan bola meriam."
"Ya udah, gue seminar dulu ya? Gue gak ikut kuliah umum, gue pergi dulu bye."
Terlihat gaduh ruang kelas karena beberapa mahasiswa saling melempar kalimat dan berdiskusi. Nellsa melangkah memasuki kelas. Matanya memencar menatapi sekitaran kelas. Bukan tanpa alasan dirinya melakukan hal itu. Jujur saja, Nellsa tak ingin hari itu bertemu dengan Raga. Nellsa bahkan berharap, kalau Raga tak mengikuti kuliah umum di hari itu. Setiap mereka bertemu dalam satu kelas, Raga serasa tak henti untuk bertanya, mengejek dan mengajaknya terus bicara, membuat Nellsa tak fokus pada pembelajaran. Namun, bagi Raga, itu adalah hal wajar, karena bagi pria yang besar di Rotterdam dan sepulangnya ia dari sana, pria itu harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan, budayanya lagi, atau hubungannya dengan setiap manusia yang ada di Bandung.
"Selamat siang semua. Baik semuanya, kita mulai kuliah umum kita sekarang ya?"
Dosen membuka laptopnya untuk memulai. Waktu berjalan sudah lima menit setelah dosen memasuki kelas. Namun, seseorang yang tergesa masuk kelas dan menghentikan pelariannya. Dosen itu terlihat heran bersambung kesal karena mahasiswa itu bahkan datang tanpa permisi.
"Maaf bu saya telat."
Seluruh mahasiswa dan mahasiswi menatapinya aneh. Tidak aneh bagi Nellsa, namun dirinya terkejut karena kehadiran Raga di sana. Baru saja ia membatin untuk tidak bertemu dengannya satu hari itu. Tapi, kuliah umum itu lagi-lagi mempertemukan dirinya di manapun dengan pria itu.
"Kenapa kamu bisa telat? Asal datang aja tanpa permisi. Kamu niat kuliah tidak?"
"Saya minta maaf bu. Tadi, terjebak macet waktu di jalan."
"Dari Fakultas mana kamu?"
"Ekonomi bu!"
"Lain kali, saya gak mau ada mahasiswa yang lagi-lagi tidak bisa me-manage waktunya. Kalian ini bukan siswa lagi. Saya harap, semua hal itu bisa diperbaiki. Saya kasih kamu kompensasi, lain kali kalau saya dapat tugas mengajar kuliah umum seperti ini lagi, saya tidak mau melihat ada mahasiswa atau mahasiswi yang terlambat. Silakan duduk Mas."
"Terima kasih banyak Bu."
Raga mencari kursi yang masih lenggang setelah ia mengeluh karena diberi teguran oleh Dosen. Ia kemudian duduk dengan tenang. Namun, bukannya kesal karena dimarahi dosen, dirinya malah tersenyum melirik seseorang yang sedang menutupi wajahnya dengan sebuah buku. Raga kejauhan sambil ditegur tadi, Raga sudah merasa bahwa Nellsa memang ada di sana.
"Jangan ditutupin, gue udah tau."
"Lo lagi. Siap-siap kena gangguan nih gue." Nellsa memencarkan matanya malas.
"Apa lo bilang?" tanya Raga yang masih sibuk menyalakan Ipadnya..
"Nggak kok. Gimana rasanya ditegur dosen?"
"Biasa aja. Lebih seram ketika ditegur sama lo." Raga tersenyum karena mengejek Nellsa di sana.
"Dih, gak jelas banget. Awas lo ngajak gue ngomong. Dia dosen paling killer yang baru gue temuin di kuliah umum."
"Siapa yang mau ngajak lo ngomong? Pede banget." Raga terus terkekeh tipis karena bercengkrama dengan Nellsa sungguh menghibur dirinya.
Ditengah pembelajaran, Raga memakan sandwich di kelas. Bu Dosen terlihat sedang fokus presentasi pada monitor yang tersambung dengan infokusnya. Peristiwa itu membuat Nellsa melotot menatap Raga. Etika makan saat menjalani pembelajaran di kelas bahkan tak pernah ada di Yuniar.
"Heh, ngapain lo?" bisik Nellsa begitu ketus.
"Ya makan lah, masa tidur." Dengan asyik, Raga melahap sandwich tanpa diketahui dosen tersebut.
"Lo gila? Ini jam kuliah," bisik Nellsa keras.
"Gue belum makan dari pagi. Gue sibuk gak punya waktu. Gue gak fokus belajar kalau lapar," bisik Raga datar membuat pendengaran Bu Dosen akhirnya terusik. Ia lantas menyembunyikan sandwich di tangannya ke bawah meja.
"Saya tidak suka ada kegaduhan di kelas saya. Saya tau kalian dari tadi mengobrol terus. Tolong hargai mereka yang ingin belajar!" tegur Bu Dosen.
"Saya minta maaf Bu."
Nellsa melirik sinis Raga. Karenanya, hampir saja dirinya dibuat malu di depan mahasiswa Yuniar.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER 20 DAYS
General FictionPerjalanan Nellsa ke Belanda untuk melakukan observasi, malah membuatnya dejavu akan cinta masa lalunya ketika bertemu dengan Raga. Raga, pria asal Rotterdam itu membuat Nellsa harus merasakan kilas balik perasaan cintanya karena kemiripan wajah Rag...