24 // Makan Siang

1.2K 80 8
                                    

Sore itu, Nellsa terlihat membawa banyak buku di tangannya. Hari itu adalah harinya untuk membuat makalah. Beberapa buku dari perpustakaan disewanya.
Dengan langkah terbata-bata, Nellsa berusaha untuk tetap seimbang. Karena dirinya tidak membawa goodie bag, terpaksa harus memegang buku berjumlah 6 buah tersebut dengan tangannya. Terlebih lagi, buku itu sangat tebal. Diko menghampiri Nellsa dan mengambil paksa buku itu di tangannya.

"Eh eh kak Diko. Gak apa-apa, biar Nellsa aja."

"Kenapa lo bawa tas sekecil itu sih? Biar gue aja."

"Nellsa cuma kuliah umum. Nellsa gak bawa banyak buku jadinya. Gak apa-apa kok kak, biar Nellsa aja sendiri." Nellsa hendak mengambil kembali buku itu, namun tangan Diko menggenggam lengan Nellsa untuk menghentikannya.

Diko terlihat canggung sendiri. Ia lantas menjauhkan tangannya dengan sergap.

"Makasih kak, udah bantu."

"Udah jangan sungkan, gue geli dengernya."

Mereka mulai berjalan berdampingan. Tak sadar, dibalik drama mereka, Raga terlihat memperhatikan dari lantai 3 ia berdiri. Alih-alih penasaran, Aldan menghampiri temannya itu.

"Liat apa lo?"

"Udara." Raga membuat Aldan bingung sendiri.

"Hah? Emangnya udara bisa diliat ya?" Mata Aldan memencar bingung.

Raga terkekeh, menatap kebodohan Aldan.

"Sejak kapan gue punya teman gangguan mental?"

"Wah lo ngejek gue. Heh bule lokal, traktir gue makan dong. Lo kan banyak job, sekali-kali traktir gue kek."

"Bukannya lo udah makan?"

"Kenapa lo bisa tau gue udah makan?"

"Bau mie ayam di mulut lo berkeliaran, bikin polusi."

Aldan mulai menghirup napasnya sendiri sambil menyeringai aneh. "Kok dia tau ya?"

Pagi hari, Nellsa dengan fashion sederhananya berjalan di sekitar lingkungan kampus Yuniar. Terlihat Kian sedang memakan cemilan di taman kampus. Dengan mulut penuh cemilannya, Kian mulai memainkan ponselnya dengan serius. Dibuka sebuah aplikasi bernama instagram olehnya.

"Emm, IG milik Raga makin hari makin banyak aja followersnya, kece juga nih anak. Profesional banget visualnya."

Nellsa menghampirinya dengan Diary yang tak luput dibawa.

"Masih aja bergelut sama diary tua itu, apa sih yang lo mau tulis? Coba buka lembaran baru, liat nih Raga."

"Gue baru datang, lo udah buang-buang oksigen." Nellsa menghela napasnya malas.

Kian masih bergelut dengan ponselnya. Sementara Nellsa mulai melakukan peregangan otot jarinya dengan menulis beberapa karangannya dalam diary.

Diary Nellsa, dibelinya sejak ia masih menginjak kelas satu SMA. Dimulai saat ia menyukai seseorang. Dulu, Nellsa tidak memegang ponsel, walaupun di zamannya sudah termasuk zaman milenial. Hanya satu pria yang membuat tangannya mulai menulis tentang cinta, yaitu ... Dio. Ia tak pernah lupa untuk membawa diary bersamanya. Nellsa berpikir, jika ia merindukan Dio, diary-nya lah yang bisa mengobati semua itu.

Raga berjalan di sekitar koridor kampus sambil melihat datar ponselnya. Wanita berkulit putih menghampirinya. Ya, dia Kennia Ardita. Seseorang yang masih penasaran dengan sosok Raga. Kennia menghampiri Raga dan hendak mendorongnya dengan kesal karena kejadian kemarin membuat dirinya jengkel. Belum sampai mendorong, Raga menoleh padanya lebih dulu.

AFTER 20 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang