32 // Hancur

1.1K 79 2
                                    


-o0o-

"Hancur, iya hatiku memang hancur saat ini. Melihatmu terbaring tanpa kata di bawah sana. Menunggu cinta yang sekarang sudah pasti, aku merasa lega. Kau yang ku tunggu sekarang telah kembali membawa cinta, membawa surat usang yang telah ku tulis lima tahun lalu. Aku senang, walaupun cintaku tak berupa, setidaknya hatimu hidup. Hidup di dalam hatiku. Tersenyumlah di sana. Terima kasih telah mengizinkanku mencintaimu, dan terima kasih telah memberi cinta secara tiba-tiba ini padaku. Akan kutaruh mawar putih kesayangku di pusara milikmu, supaya kamu terus mengingatku di setiap harinya, menitnya, bahkan detik. Love you my dear DIO."
Diary Nellsa.

{•••}

Raga masih memikirkan perasaan Nellsa saat ini. Kebodohan yang ia buat tak disangka menyakiti hati orang lain, juga hatinya sendiri. Ia merebahkan tububnya, tepatnya di atas kasurnya yang begitu empuk di kamarnya. Beberapa menit, ia mulai terlelap.

"Makasih Ga, lo udah sampein itu. Gue akan senang di sini. Jaga dia buat gue. Walaupun pada akhirnya dia akan jadi milik gue seutuhnya. Ikutin hati lo. Sekeras apapun dia menolak, hatinya itu sebenarnya milik lo. Kejar dia dan jaga dia buat gue." Ucapan seseorang berpakain serba putih terlihat di penglihatan Raga.

Cahaya terang mulai menusuk mata Raga dan membuat bayangan itu mulai hilang.

"Dio, Dio ... Diooooo." Raga lantas terbangun dari tidurnya. Dahinya dipenuhi dengan keringat.

"Mimpi," gumamnya memegangi kepala karena tiba-tiba terasa nyeri.

"Nak, ibu bawain buah sama vitamin buat kamu." Bu Nera lantas duduk di samping sang putera, di atas kasur milik Raga.

"Bu, rasanya Raga gak kuat tinggal di sini. Raga ngerasa ngejalanin kehidupan Dio di sini bu. Raga ... Raga mulai cinta sama wanita yang dicintai sama Dio. Gimana ini bu?" Raga membuat Bu Nera berkaca-kaca. Bu Nera tertegun ketika Raga mulai membicarakan soal perasaannya yang secara tidak sengaja jatuh kepada Nellsa. Sang ibu terus menatapinya dengan kesedihan, matanya memencar menatapi wajah sang putera membuat Raga bingung sendiri.

"Apa Raga salah bu?" tanyanya dengan penuh kepedihan.

"Kenapa kamu berpikir seperti itu nak? Jika kamu cinta seseorang, cintai aja. Ibu yakin tujuan Dio untuk ini. Kakak kamu itu orang baik nak, hidupkan kembali hati kakak kamu dalam hati kamu nak." Bu Nera mulai menangis.

"Justru karena itu aku mencintai orang yang sama. Bagaimana ini bisa terjadi bu? Apa yang harus lakuin sekarang? Raga udah nyakitin hatinya terlalu dalam." Raga lantas memeluk ibunya bersama dengan tangis.

Mawar di kamarnya mulai layu. Kelopaknya telah hilang sebagian. Dan airnya mulai keruh dilihat.

"Terima kasih udah bantu gue ngelakuin hal ini. Udah saatnya lo pergi," gumam Raga di depan mawar putih itu. Ya, pirasat Raga ternyata benar. Bunga itu bukanlah sekedar bunga yang ia sanjung keindahannya beberapa hari terakhir. Dan anak kecil yang memberikannya bunga mawar putih, Raga tak bisa membayangkan lagi ketika ia menemuinya di pantai, bahkan saat tak ada seorang pun yang bermain di pantai waktu itu. Takdir yang sangat jelas Raga alami dan semua seperti berasal dari kenangan Dio yang ia selalu pendam di dalam hatinya. Bunga itu akan ia kenang selalu sampai kapan pun.

Kehidupan berjalan pada semestinya. Tentu saja, Nellsa menghindar dari Raga. Bahkan tegur sapa pun yang biasa mereka lakukan, sekarang tidak lagi. Raga hanya menghela napasnya pasrah. Dulu ia tak pernah canggung untuk menghentikan Nellsa, namun saat ini hal itu serasa tak bisa ia lakukan. Raga terus tertunduk melewati Nellsa yang berjalan perlahan berlawanan arah dengannya. Setelah saling melewati, Nellsa menoleh perlahan ke belakang, menatap punggung laki-laki yang telah mengkhianatinya. Ia begitu kesal namun rasanya begitu sedih ketika peristiwa ini malah membuatnya menjadi pembenci.

"Gue minta maaf Ga. Mungkin ini yang terbaik," gumam Nellsa perlahan.

Raga dihadang oleh Ken.

"Cerita lo nyentuh hati gue. Turut bela sungkawa atas Dio," ucap Ken dengan sedikit tangisnya.

Raga lantas berjalan menghiraukan ucapan Kennia. Moodnya sedang tidak baik saat itu. Apalagi jika harus bertemu dengan Kennia.

"Tunggu! Kalau lo butuh, gue siap buat jadi temen curhat lo Ga."

Raga terlihat murung beberapa hari ini. Dipikirannya hanya tersisa Nellsa dan Nellsa, juga kebohongan yang ia buat berbuah penyesalan begitu dalam.

"Bro. Gue asing bagi lo. Tapi, gue turut bela sungkawa soal kembaran lo. Juga, gue support apapun yang lo lakuin akhirnya. Maafin gue lancang karena tau urusan lo sama mereka." Aldan menepuk pundak Raga, memberinya ketabahan untuk menjalani kenyataan hidup ini.

"Santai aja. Gue udah lega karena mereka tau. Dan sekarang, gue mau jalanin hidup gue semestinya sebagai Raga. Orang asing dari Rotterdam." Raga tersenyum memasang gigi rapihnya di depan Aldan.

"Ini baru Raga, orang asing dari Rotterdam yang gue kenal." Aldan terkekeh.

Walaupun menampakkan senyum, tetap saja hati Raga tak bisa luput dari kesedihan. Raga harus menerima segala konsekuensi atas tindakannya. Walaupun itu berbohong demi menyampaikan amanat saudara kembarnya. Jujur saja, hati Raga begitu sakit dan lega. Sakit karena tak bisa tersenyum bersama Nellsa dan malah memberinya luka tiba-tiba pada gadis itu.

Raga menatapi Nellsa dari kejauhan. Gadis itu terlihat tertunduk di taman tanpa melakukan apapun. Hanya saja, Nellsa terus berkutik pada diarynya sedari tadi Raga lihat.

"Gue yakin, apapun yang lo tulis, selalu indah dibaca. Dan gue juga yakin, kalau hari ini, Dio bahagia di atas sana. Maafin gue karena memulainya dengan kebohongan. Tapi kenapa .... kenapa gue gak bisa berhenti cinta sama lo Nellsa. Kenapa hati ini terus terpaut sama lo sejak pertama kali kita ketemu di Rotterdam. Kalau Dio masih hidup, gue yakin dia gak akan melepas lo."

Air mata jatuh dari mata Raga sebelah kanan. Ia menatapi atas langit yang begitu biru.

Sementara, Nellsa terus menatapi surat usang yang Dio tulis sendiri untuknya. Nellsa menyimpannya dengan baik. Dan ia selipkan surat itu dalam Diarynya, tepatnya di samping foto Dio yang pernah Nellsa ambil secara diam-diam di sebuah tangga sekolah. Nellsa berusaha untuk menahan air matanya tak keluar walaupun tulisan Dio terus mengiang di hati dan di pikirannya.

"Please jangan nangis. Please banget."

Dari kejauhan, bukan hanya Raga yang sebelumnya menatapi Nellsa. Tapi, ada seorang Diko yang begitu sakit ketika melihat Nellsa sendirian menyembunyikan kepedihannya dan tersenyum ketika gadis itu di depan semua orang. Diko begitu terpukul karena hal itu. Ia pun tak tahu lagi untuk melakukan apa setelah rasa penasarannya kini telah hilang. Diko bahkan menyesali rasa penasarannya terhadap Raga.

"Andai dari awal gue pikir, Raga adalah Raga dan Dio adalah Dio, mungkin semua ini gak akan terjadi. Tapi, seandainya Raga gak pernah jujur, gue yakin, Dio sendiri yang akan ngelakuin semua ini. Pertemuan ini, serasa udah direncanain, bahkan mungkin oleh Dio sendiri." Diko membatin sambil memperhatikan Nellsa dari kejauhan.

AFTER 20 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang