35 // Rindu

1.1K 82 3
                                    

Diko menyeruput secangkir kopinya di kantin kampus. Erick tengah terdiam memikirkan sesuatu. Ia mulai membuka suara hasil pemikirannya.

"Bro, kayaknya Raga gak harus kita benci. Apa yang dia lakuin selama ini itu benar, dia gak pernah punya niat nyembunyiin hal sebesar ini dari kita. Dia cuma orang asing yang mau kasih tau kita satu hal tentang saudaranya."

"Tapi hal itu tetap aja salah, kenapa gak bisa dia bilang dari awal?" Alis Diko mulai terangkat emosi.

"Dia butuh waktu bro, setelah bertahun-tahun jauh dari Indonesia juga gak kenal sama kita, sama Nellsa juga. Ini cukup berat buat dia, kita udah tau kebenarannya dan sekarang, apa lo mau terpuruk terus kayak gini? Tuhan itu pemaaf. Kita harus bisa maafin Raga, mulai dari awal. Dengan begitu Dio bisa tenang di sana, dia bakal senyum liat sahabatnya gak punya kenangan nyakitin lagi, Dio ada di sini sekarang walaupun dengan hati yang beda. Justru Dio gak mau liat sahabatnya sedih kayak gini saat dia hadirin Raga ke dalam hidup kita."

"Lagi pula, kita gak akan merasa kehilangan Dio karena Raga, setiap detiknya diri Dio tumbuh dalam diri Raga, kadang gue liat hal itu walaupun sangat kecil," tambah Erick membuat Diko membungkam mulutnya.

"Dulu waktu kelulusan, Dio pernah ngomong sama gue. Dia bilang dia akan pergi jauh, saat gue tanya dia gak pernah jawab. Katanya dia mau jalanin kehidupan baru, dia bilang juga akan ingat sama kita. Terus katanya, kalau dia gak bisa di hubungi, itu artinya dia bukan di negeri ini." Erick berusaha menceritakan semua apa yang dia ingat.

"Apa? Dia pernah ngomong gitu sama lo?" Diko heran.

"Maafin gue, gue baru ingat kata-kata itu. Gue kira dia akan pergi jauh karena mau kuliah di luar Negeri. Makanya gue langsung sebut Raga dengan nama Dio saat gue liat dia pertama kali di kantin. Gue gak pernah tau kalau dia punya saudara kembar. Dia bilang kalau dia cuma berdua sama orangtuanya tanpa bicara lengkap. Gue sih mengiyakan omongan dia aja. Gue gak tau bakal jadi kayak gini akhirnya."

(•••)

Pagi sunyi mengawali hari seorang Raga. Keluarganya pergi ke pusara milik anak sulungnya itu. Dengan pakaian serba putih juga selendang berwarna putih, Ibu Nera menatap sendu pusara milik anaknya.

Dengan air mata yang mulai menjelajahi wajahnya, dia mulai mengusap nisan bertuliskan nama Ruga Alvadio.

"Apa kabar nak? Ibu dateng jenguk kamu, kamu nyaman kan di sana? Maafin Ibu baru ke sini nak, Ibu gak mau ganggu kenyamanan kamu. Ibu ... Ibu ...." Tidak sempat melanjutkan Ibu Nera mulai menangis.

Pak Handi berusaha menenangkan istrinya itu.

"Ruga, maafin Ayah nak. Kami pergi ninggalin kamu sendirian di sini, untung saja ada Pak Asep. Dia jaga tempat kamu tetap bersih kayak gini. Liat, kami bawa siapa? Raga nak, Raga kesayangan kamu." Pak Handi berkaca-kaca.

Raga menghampirinya dengan senyum, kali ini dia tidak ingin terlihat sendu depan kakaknya. Orangtuanya pergi ke mobil terlebih dahulu. Raga mulai memegang nisan milik Dio.

"Hay. Gue kangen sama lo, jailin lo, ngacak-ngacak tugas lo waktu SMP, tumpahin kopi ke kemeja putih lo, gue rindu semua itu. Tugas gue udah kelar, lo tau ... bunga ini dari Nellsa. Dia rela kasih bunga kesayangannya demi lo. Jaga baik-baik bunga ini sampe layu. Gue izin, izin buat kenal sama Nellsa lebih jauh," gumam Raga senyum lebar.

Lalu ada Pak Asep, penjaga TPU sekitar yang sudah dua tahun ini beliau yang selalu membersihkan sekitaran pusara milik Dio.

"Nak," panggil Pak Asep.

"Pak Asep, saya selaku saudaranya mengucapkan banyak makasih sama bapak karena udah bersihin makam saudara saya."

"Sama-sama nak. Sebenarnya, dua tahun belakangan ini selalu ada kejadian aneh yang bapak rasakan di sekitaran pusara milik Ruga." Ucapan Pak Asep membuat Raga kaget.

"Maksud bapak?"

"Saya melihat ada tanaman liar yang tumbuh di sekitaran sini, nih tepatnya di samping pusaranya."

"Oh bunga mawar? Lah, saya baru sadar ada bunga mawar di sampingnya." Raga menghampiri tumbuhan bunga mawar itu.

"Itu yang membingungkan saya. Saya pikir ini cuma tanaman liar. Saya lihat beberapa bulan, tanaman ini tumbuh bunga nak. Bunga mawar putih. Padahal bunga ini bukan tanaman yang gak sembarangan bisa ditanam, perlu perawatan khusus untuk itu. Bunga ini mekar, tumbuh, ketika dia layu, dia akan tumbuh bunga lagi dengan cepat. Itu yang buat saya bingung. Jadi tanaman ini, saya rawat. Jika sudah berbunga, satu tangkai saya ambil dan saya taruh di atas pusara milik Ruga."

"Ruga suka warna putih. Dia pernah metik bunga mawar putih buat Ibu sampe tangannya tertusuk duri dari batang mawar itu waktu kecil. Darah keluar dari tangannya, buat saya yang melihat itu sampe ngilu. Saya panik, saya mau bilang sama Ibu tapi dia larang." Raga terlihat sendu setiap mengingat apapun tentang Dio yang ia ceritakan pada Pak Asep.

Saat itu, Raga mulai membuka kenangan masa kecilnya bersama Dio. Hidup sendiri tanpa teman baik di Rotterdam, sungguh membuatnya kesulitan. Dan di setiap harinya, Raga merindukan Dio. Bahkan, Raga selalu mengobrol bersama fotonya ketika Raga sangat lelah dengan kehidupannya selama di Rotterdam. Rasa sakit atas kehilangan Dio, memaksa Raga benar-benar menetap di Rotterdam. Walaupun begitu, hati Raga tetap terus bersama Dio di Bandung.

Raga mulai membersihkan sekitaran pusara Dio bersama dengan Pak Asep sambil mengobrol. Ia kemudian merapihkan tanaman bunga mawar yang tiba-tiba tumbuh di sampingnya pusaranya. Raga begitu senang, karena Dio di kelilingi oleh hal baik walau kini ia telah tiada.

⬇⬇⬇⬇

AFTER 20 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang