19 // Cincin Hitam

1.2K 95 1
                                    

Masih tegak tanpa layu, masih harum semerbak tanpa bau. Itu deskripsi bunga mawar putih yang Raga simpan beberapa hari yang lalu. Bunga mawar putih yang diberikan oleh anak kecil itu terlihat masih begitu segar. Raga pun tak menyangka bunga itu tetap hidup walaupun terus di kamarnya berhari-hari. Hal itu membuatnya teringat dengan kepergian tiba-tiba anak kecil yang ia temui di pantai. Sejenak, Raga mengingat bagaimana wajah anak kecil itu. Ia begitu cantik dengan dress berwarna putih. Kulitnya seputih susu, berbeda dengan orang pribumi yang biasa tinggal di pesisir pantai. Raga bahkan baru tersadar, ia datang ke pantai itu, tak ada seorang pun wisatawan di sana. Hanya ada beberapa penjaga dan orang-orang yang tinggal di pesisir pantai. Hari itu bahkan bukan hari weekend dan sedang terjadi pasang surut air laut yang menimbulkan angin muson, membuat ombak di sana memang sedang tinggi. Niatnya untuk berenang pun, tak jadi.

"Anak siapa ya itu? Dia bahkan keliatan sendirian waktu itu. Kenapa dia tiba-tiba kasih gue bunga ya? Dan akhir-akhir ini gue sering mimpi buruk setelah gue berkunjung ke pantai itu."

Pagi mendung merasuki wilayah kota Bandung. Hujan turun dengan tenang. Gemercik airnya mulai menetes di atas payung wanita bermata bulat yang tengah berdiri di depan gedung Teknik.

"Kenapa hujan sih? Gue kan ada kelas pagi." Nellsa jengkel sambil mengambil payung dari dalam tasnya. Pagi-pagi sekali ia harus berurusan dengan hujan deras.

Raga keluar dari mobil, langsung menyebrang ke gedung Teknik. Gedung Teknik adalah gedung terdekat dari lokasi parkir kendaraan kampus Yuniar.

"Raga, aduh deh. Sembunyi di mana nih gue," batin Nellsa cemas. Ia berusaha menghindari Raga saat itu.Nellsa tahu jika mereka sudah mengobrol, Raga pasti tak segan untuk mengejek dan memberi pertanyaan menekan dirinya lagi.

Rambut yang basah terkena hujan membuat pria berhidung mancung itu semakin tampan terlihat. Ia menggosokkan rambutnya dengan tangan. Terlihat cipratan air mulai mengenai lengan baju Nellsa.

"Gedung Ekonomi masih jauh. Gimana gue nyebrang jalan ya?" gumam Raga lantas melirik payung berwarna merah di sampingnya.

Di bawahnya terlihat seorang gadis yang menutupi setengah wajahnya dengan payung. Raga menatap aneh seraya menunggu hujan reda.

"Aduh, gimana gue mau pergi." Nellsa terus cemas dalam batinnya. Ia sungguh tidak ingin hari itu berurusan dengan pria itu untuk hari ini. Ingin pergi begitu saja meninggalkan Raga yang terjebak hujan juga, membuat Nellsa berpikir dua kali.

Nellsa melangkahkan kakinya hendak menyebrang. Namun, Raga mengambil payung itu dengan sergap mengejutkan Nellsa.

"Gue juga ada kelas pagi."

Raga memegang payung itu dan mulai berjalan berdampingan dengan Nellsa yang masih melongo atas tindakannya. Setelah berjalan berdua bersama Raga dalam satu payung merah milik Nellsa, sampai lah mereka di gedung Ekonomi.

"Nih, makasih ya!" Raga memberikan sekaleng kopi pada Nellsa.

"Hhh? Gue bukan ojek payung!"

"Gue kasih itu bukan sebagai imbalan. Gue takut hidung lo banjir lagi. Minum kopi gue, itu masih hangat karena terus di dalam tas." Raga meninggalkan Nellsa yang terdiam bingung menatapi kopinya.

"Dia orang aneh yang pernah gue temuin. Tapi ... dia benar-benar beda dari kak Dio ya. Sebenarnya kak Dio di mana sih? Usaha penantian gue jadi sia-sia kalau gue liat Raga," batinnya.

Diko dan Erick terlihat memainkan gitar di taman kampus. Setelah hujan dan melewati beberapa mata kuliah, sungguh senang bermain musik di pelataran kampus sambil bernyanyi ria ditemani beberapa gelas kopi yang mereka pesan dari kantin.

AFTER 20 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang