Pagi yang indah untuk Raga. Wajahnya mulai terlihat segar kembali setelah beberapa hari terbaring sakit. Raga mencium harum bunga mawar putih miliknya. Dengan senyuman tampan di wajahnya, Raga mulai mengambil tas hitamnya. Tangan kekarnya mengambil kunci mobil yang tengah tergeletak di atas meja.
Anting peraknya mulai dipakai kembali. Dengan langkah tenang, Raga mulai melewati koridor. Ia memakai sebuah kacamata, dengan lensa begitu bening. Benar, Raga yang dulu kembali lagi. Semua mata tertuju padanya. Sesekali mahasiswi yang mengaguminya memotretnya sedang berjalan di sepanjang koridor.
"Whats up bro?" sapa Aldan.
Kedua kepalan tangan mereka sama-sama beradu, begitu lah cara mereka berteman.
Sementara Nellsa menjalani kehidupannya dengan biasa saja. Memikirkan perkataan Diko sesekali. Ia bercermin di kamarnya, melihat dirinya merasa aneh. Ia menarik senyum di depan cermin, menatap fokus dirinya dengan heran.
"Nellsa, lo ke mana aja selama ini? Pantes aja orang di sekitar gue nyebut gue selalu terpuruk. Diri sendiri gue aja aneh. Oke, sekarang kembalikan senyuman Nellsa. Nellsa yang ceria, Nellsa yang jahil, Nellsa yang menjengkelkan," gumamnya depan cermin.
Bu Franda terkekeh mengintip tingkah laku puterinya itu.
"Gak kerasa, Nellsa udah bener-bener dewasa. Dia bisa menghibur dirinya sendiri sekarang, meneguhkan pandangannya, juga .... hatinya," batin Bu Franda.
••
Nellsa berjalan di sekitaran kampus Yuniar. Raga hendak menghampiri, namun langkahnya terhenti dan berbalik menghiraukannya.
"Kenapa? Kok berhenti?" tanya Aldan.
"Gue gak mau lagi ganggu suasana hatinya. Cabut yuk."
Diko dan Erick memperhatikan gerak-geriknya sedari tadi.
"Raga kayaknya lebih canggung sama Nellsa, dia mungkin merasa bersalah setiap harinya," batin Diko.
Hari berlalu begitu cepat, menghapus jejak keindahan, jejak kesedihan, jejak kegelisahan. Hujan yang turun mampu mengalirkan suasana yang kacau, gundah, juga kecewa. Rintik demi rintiknya mulai menyatukan perasaan yang lama terpuruk. Hujan kemudian berhenti. Kota Bandung yang sejuk disinari matahari yang mulai memunculkan setengah cahayanya dari arah timur. Angin berhembus, membawa daun-daun berterbangan di bumi. Sebuah jendela terbelalak, membuat Raga kesal melihatnya.
"Ih kenapa gak bisa ditutup sih, harus panggil jasa tukang buat benerinnya," gumamnya.
Sepintas kelopak mawar putih jatuh di tangannya.
"Kenapa cuma satu kelopak yang jatuh? Gue kira dia akan gugur dengan cepat."
Kembali ke kampus, pelajaran demi pelajaran telah selesai. Mata Diko memencar dan ia mendapati sosok Raga di penglihatannya. Lantas, ia berusaha mengikuti langkah Raga.
"Hai Ga!"
"Hai."
"Jam lo udah kelar?"
"Udah sih, lo mau ke mana? Di mana Erick?"
"Oh, gue mau ke perpus bentar. Entah ke mana si Monyet Albino, gue gak liat dia seharian ini."
Mata Diko memicing kaget ketika ia melihat sebuah kertas di tangan Raga yang terlihat memang seperti tiket pesawat. Belum sempat ia bertanya, Raga bergegas untuk pergi.
"Emm kayaknya gue harus pergi sekarang. Kalau ada yang cari gue, bilang aja gue pergi. Gue mau nenangin diri gue, sekalian menjauh dari kesedihan." Ucapan Raga membuat Diko bingung. Ia tersenyum begitu lebar sebelum benar-benar meninggalkan Diko.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER 20 DAYS
General FictionPerjalanan Nellsa ke Belanda untuk melakukan observasi, malah membuatnya dejavu akan cinta masa lalunya ketika bertemu dengan Raga. Raga, pria asal Rotterdam itu membuat Nellsa harus merasakan kilas balik perasaan cintanya karena kemiripan wajah Rag...