33 // 20 Tangkai Bunga Mawar Putih

1.1K 78 3
                                    

Hujan deras mengalir dari atap langit. Gemerciknya mulai mengenai setiap wajah tampan milik Raga. Entah apa yang dia rasakan, saat itu juga dia berdiri di bawah hujan. Bukan bermain drama atau apa. Ia teringat masa kecilnya bersama dengan Dio. Raga mengingat seluruh pertemuannya dengan Nellsa dan lainnya, dan ia selalu mengingat bagaimana ia mengkhianati mereka semua.

Ya, tiba di Indonesia seluruh ingatannya dengan Dio muncul begitu saja. Berbeda saat di Rotterdam, apapun masa lalunya dia kubur dalam-dalam, kecuali sepucuk surat untuk Nellsa dari Dio.

Dengan topi hitamnya, baju kasual hitam juga celana chino berwarna hitam, Raga berdiri beberapa menit. Seluruh pakaiannya sudah basah karena hujan. Diko melihatnya aneh dari koridor kampus, tepatnya di koridor luar gedung fakultasnya.

"Heh Raga? Ngapain lo? Hujan deras nih." Diko berteriak di depan kampus. Tapi tak diindahkan oleh Raga.

"Ih ngapain tuh orang? Gila kali yak, atau cuma nyari sensasi?" Beberapa mahasiswa dan mahasiswi bergosip aneh tentang Raga yang berdiam diri di halaman kampus tanpa berteduh.

"Si Raga kenapa diem aja di sana? Apa sih yang dia pikirin?" batin Diko cemas.

Payung hitam mulai menutupi kepalanya. Terlihat bingung wajah Raga yang basah karena hujan. Ia menatap seseorang dibalik payung yang telah menghentikan tetesan hujan ke tubuhnya.

"Jangan gila!"

"Nellsa?"

"Lo model, bukan aktor!"

Nellsa menarik Raga untuk meneduh di pinggir halaman kampus. Raga hanya terdiam. Ia merasa layaknya orang bodoh yang tak tahu harus bersikap apa saat ini.

"Jangan kayak anak kecil. Oh gue tau, di Rotterdam lo pasti gak dapat hujan kayak gini kan?" Nellsa menutup kembali payungnya. Ia berusaha untuk melupakan apapun peristiwa saat itu. Berusaha untuk bersikap normal kembali depan Raga. Seperti yang ia lakukan kemarin. Nellsa tak ingin peristiwa itu malah membuatnya menjadi pembenci yang seperti ia khawatirkan sebelumnya. Namun, ia bisa berpikir kembali setelah bergadang semalaman hanya memikirkan memilih menjadi pembenci atau semua harus kembali seperti semula lagi.

Diko memperhatikan mereka. Matanya memicing cemas pada Nellsa.

"Nellsa? Apa perasaannya baik-baik aja?" batinnya.

Raga mulai membuka suara karena mungkin ia tak bisa menahan semuanya lagi.

"Nellsa. Lo benci sama gue?" Raga mengerutkan dahinya, tetesan air hujan dari rambutnya menutupi sendunya.

"Apa? Benci? Kenapa gue harus benci sama lo?"

"Setelah lo tau semuanya, lo gak benci sama gue?"

"Apa yang harus gue benci? Apa dengan benci juga, Dio akan kembali? Nggak kan."

"Kalau gue bilang, gue suka sama lo, apa lo benci sama gue?" Pertanyaan Raga membuat Nellsa melotot kaget. Awalnya, ia hanya ingin biasa saja dengan Raga. Namun, ketika Raga mengungkapkan perasaannya, niat Nellsa semua telah berubah.

"Ini, di sini. Dio masih ada di sini. Gak mungkin gue ninggalin dia untuk pindah ke tempat lain." Nellsa menunjuk dimana hatinya berada, menatap Raga fokus dengan mata sedikit berkaca. Ia kembali membuka payungnya dan pergi. Selama berjalan menjauh dari Raga, jantung Nellsa terus bergetar. Ia sangat terkejut ketika Raga mengungkapkan perasaannya tiba-tiba. Matanya pun masih melebar tak percaya.

Dari kejauhan, Aldan datang mencemaskan teman asingnya itu.

"Bro, lo apa-apaan sih? Ayo pergi!" Aldan mengajak Raga untuk pergi.

____________________________________

"Peristiwa apa ini? Sebentar membawaku pada keindahan, sebentar membawaku pada kepedihan. Apa tidak ada hari baik berpihak padaku sekali saja? Kenapa sulit, kenapa rasanya sulit walaupun tidak ada hal yang aku lakukan. Apa yang harus aku lakukan saat ini? Kebingungan ini membuat ku menjadi orang bodoh, sungguh."
Diary Nellsa.
____________________________________

Di teras rumahnya, Nellsa melamun sayu menatap pohon di rumahnya yang mulai hijau karena daun baru. Seluruh daun kuning yang kering berguguran, ditatapnya dengan kosong.
Di tangannya terlihat sepucuk surat dari Dio. Melihat puterinya bersikap aneh akhir-akhir ini, Bu Franda menegurnya.

"Ada apa Sa?"

"Nggak kok bu."

"Nellsa, kalau kamu punya masalah, cerita sama ibu nak."

"Nellsa gak apa-apa kok bu." Nellsa tersenyum lembut. Ia sungguh tak ingin seorang ibu khawatir karenanya.

Nellsa pergi ke pusara Dio dengan 20 tangkai bunga mawar putih di tangannya. Matanya mulai berkaca dan tangannya mulai mengusap nisan yang tertera nama orang terkasihnya.

"Ka ... kak Dio. A ... apa kabar? Kali ini, aku mau kenalan resmi sama kakak ya. Kenalin, aku Nellsa Seralind. Aku si cewek kacamata yang suka merhatiin kakak dari jauh."

Ditaruh 20 tangkai mawar itu di depan pusara milik Dio. Di belakangnya terlihat seorang Raga berdiri sendu. Raga pun sempat kaget karena Nellsa sudah lebih dulu berada di sana. Nellsa berbalik hendak menyudahi pertemuan sendu dengan orang ia cinta. Ia begitu terkejut melihat Raga ada di belakangnya. Raga mungkin sudah mendengar semua ucapannya.

"Gue minta maaf."

Raga tertunduk sendu. Jujur saja, perkataan Nellsa membuatnya malah merasa bersalah kini. Namun, tetap saja Raga tak bisa menyembunyikan perasaannya.

"Gak ada yang harus dimaafin." Nellsa hendak melangkah pergi. Namun Raga menahan tangannya dan membuatnya begitu risih. Ia melepaskan tangan Raga dari lengannya perlahan. Nellsa menatap Raga dengan kekecewaan.

"Oke. Kalau sekali lagi wajah ini buat lo muak, buat lo menderita, gue akan menjauh dari lo Sa. Gue cuma mau ngomong satu hal sama lo. Gue--- gue cinta sama lo Nellsa. Bahkan gue mencintai lo sebelum gue tau kalau lo adalah Nellsanya Dio. Dan bahkan, saat pertama kali liat lo di toko waktu di Rotterdam. Kalau lo mau, gue akan jauh dari lo. Gue cuma mau ungkapin apa yang gue rasa selama ini sama lo Nellsa."

"Lo gak liat? Lagi kondisi berduka gini, lo berkata hal kayak gitu? Kak Dio aja gak bisa gue lupain. Dan mungkin hati gue udah gak bisa untuk kenal yang namanya cinta lagi."

"Lo bilang mau buka lembaran baru, lo gak mau terpuruk lagi. Apa Dio akan bahagia liat lo kayak gini?"

"Stop. Lo gak berhak ikut campur urusan hidup gue. Kenapa semuanya datang dan pergi seenaknya dari hidup gue sih? Apa bagi lo, semua ini hanya permainan? Lo gak pernah bisa ngertiin perasaan gue Raga. Lo orang asing. Dan lo tau apa yang lebih menyakitkan di dunia ini dari kematian? Yaitu menyimpan luka karena kebohongan seseorang."

Nellsa menitihkan air matanya yang menggenang. Ia melotot menatap Raga. Air mata pun sudah menggenang di celah mata Raga. Tak jatuh juga tak menetes.

"Apa bisa, lo liat gue sebagai Raga? Bukan Dio. Apa bisa, lo suka gue sebagai Raga? Bukan Dio. Dan apa bisa, lo cinta gue sebagai Raga, bukan Dio?" Pertanyaan Raga tergantung, karena Nellsa pergi tanpa memberikan jawaban apapun.

Nellsa pergi dengan sendu. Menghapus air matanya dengan tangan. Ia berlari tergesa meninggalkan tempat sekaligus meninggalkan Raga yang menatapnya dengan air mata. Raga menoleh menatap balik nisan sang Kakak.

"Lo menang. Lo menang kak."

AFTER 20 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang