Aldan terlihat sedang mengerjakan tugasnya di kantin. Seorang pria tinggi terduduk di sampingnya tanpa aba-aba.
"Hey!"
Ya, seruan Raga pun tak diindahkan oleh Aldan. Ia begitu fokus menatap monitor laptopnya. Dahinya mengerut sangat jelas.
"Tumben serius banget?"
"Ini semua gara-gara lo!" Dahi Aldan mengerut kesal menyikapi Raga.
"Kok gara-gara gue? Emang, apa yang gue lakuin?"
"Iya lah, gara-gara lo gak bangunin gue kemarin waktu matkul keuangan. Gue jadi kena tugas mandiri, kan gak adil."
"Oh. Gue udah coba bangunin lo. Tapi lo gak denger, gue pergi karena Ayah gue telpon, sorry ya." Raga senyum tak berdosa.
"Sorry doang, bantuin gue nih."
Tiba-tiba Erick menghampiri mereka. Sekaleng minuman terlihat di tangannya. Laki-laki dengan tinggi 178 cm ini memang begitu ramah akhir-akhir ini dengan Raga. Bukan tanpa alasan. Ia selalu mengingat sahabatnya dalam diri seorang Raga. Hal itu membuatnya ingin sekali mengenal Raga lebih jauh sebagai sosok yang bisa ia jadikan teman.
"Lo lagi!" Aldan mengernyitkan dahinya, melirik Erick dengan jengkel.
"Hay Ga, buat lo. Nyegerin pikiran." Erick tersenyum ramah di depan mereka.
"Ga, kok gue lebih takut liat dia dari pada cewek galak yang pernah gue hadapain ya? Jangan-jangan dia punya something sama lo," bisik Aldan menatap aneh Erick.
"Apa lo liat gue kayak gitu?" Erick mulai menatapnya tajam.
"Cepet akrab lo sama Raga. Ngomong-ngomong kenapa lo cuma bawain minuman buat Raga, buat gue mana?"
"Ada, bensin gue masih penuh kok."
"Sial, lo gue kira gue bajay?"
"Oh iya Ga. Kapan-kapan gabung sama kita ya. Gue biasa ada di depan fakultas teknik. Jangan sungkan sama gue ataupun Diko. Dulu gue hampir di bilang saudara kandungnya Dio karena hampir setiap hari di kelas gue yang paling deket sama Dio. Liat lo, gue jadi inget sama dia terus. Gue cabut dulu ya."
Memang tak begitu jelas maksud Erick saat itu. Namun, Raga sepertinya mengerti. Ia terdiam sambil menatap minuman dingin di tangannya.
"Gak mau? Buat gue aja. Pusing nih gara-gara tugas." Aldan hendak merampas minuman Raga, namun Raga membuka botol itu dan lantas menenggaknya sampai habis.
"Sialan, wah parah lo. Pelit banget sama gue." Aldan mendengus kesal.
Raga hanya tersenyum melihatnya.
"Nih buat beli minum." Raga meletakan uang di meja dan lantas bergegas pergi.
"What? Apaan ini, lima ribu dapet apa bro?"
"Dapet ini mas!" OB kampus menyodorkan segelas kopi pada Aldan.
"Halah."
Nellsa berjalan di koridor kampus. Seperti biasa, mata Raga yang tajam mampu melihatnya dan melangkah untuk bisa menghampirinya lebih dekat. Nellsa lagi-lagi risih, ia selalu dikejutkan dengan kedatangan Raga yang tiba-tiba.
"Mau apa lo?"
Raga mendekatkan wajahnya menatap Nellsa dengan tajam. Gadis di hadapannya terlihat begitu heran.
"Ngapain lo?" Nellsa merasa begitu terganggu.
Raga membalikkan posisi tubuhnya yang tadinya menunduk menatap wajah Nellsa, sekarang dirinya berdiri tegak.
"Kantung mata terbentuk karena kurangnya jam istirahat, maksimal 8 jam tidur yang paling baik." Raga mengeluarkan kalimatnya lagi.
Nellsa mengambil ponselnya dan mulai bercermin di monitor ponsel miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER 20 DAYS
General FictionPerjalanan Nellsa ke Belanda untuk melakukan observasi, malah membuatnya dejavu akan cinta masa lalunya ketika bertemu dengan Raga. Raga, pria asal Rotterdam itu membuat Nellsa harus merasakan kilas balik perasaan cintanya karena kemiripan wajah Rag...