Chapter 07

15 0 0
                                    

Setelah menunggu pesanan selama beberapa menit, akhirnya pesanan sudah siap. Selanjutnya, Rendy dan Vanessa melanjutkan perjalanan menuju rumah Vanessa yang terletak di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Sepuluh menit kemudian, sampailah Rendy di sebuah rumah kontrakan kecil yang sangat sederhana.

"Ini rumahku, Kak. Maaf ya, rumahku kecil." ujar Vanessa.

"Gak apa-apa, Dek."

"Yuk masuk, Kak!" ajak Vanessa.

Kedatangan Vanessa dan Rendy disambut baik oleh seorang wanita paruh baya yang langkah kakinya mulai melemah dimakan usia. Tapi, aura kebahagiaan terpancar dari senyuman di wajahnya. Walau sudah berumur, mamanya Vanessa tetap dapat beraktivitas seperti biasa.

"Assalamu 'alaikum, Mama." Vanessa mencium tangan mamanya.

"Wa 'alaikum salam. Eh, ada temannya Nessa." sambut mamanya.

"Assalamu 'alaikum, Bu." salam Rendy kepada mamanya Vanessa.

"Wa 'alaikum salam. Duduk, nak. Maaf ya, rumahnya kecil kayak rumah liliput. Berantakan lagi." ujar mamanya Vanessa sambil tersenyum lebar.

"Gak apa-apa, Bu. Yang penting kan bisa sama-sama bareng keluarga." ujar Rendy.

"Nessa, bikinin teh anget ya buat masnya."

"Iya, Ma... Kak, aku tinggal ke belakang dulu ya."

"Oh, iya."

Vanessa menuju ke area belakang rumahnya sambil menenteng tiga bungkus pecel ayam yang dibeli oleh Rendy. Kini hanya ada Rendy dan mamanya Vanessa yang keduanya sedang duduk bersila di atas karpet yang sudah lusuh dan tua. Tak ada aura kesedihan yang terpancar dari wajah mamanya Vanessa. Walau mereka hidup dengan keadaan finansial yang pas-pasan, mereka tetap menjalani hidup mereka dengan senang.

"Nama kamu siapa, nak?" tanya mamanya Vanessa.

"Oh, saya Rendy."

"Teman kantornya Nessa?"

"Iya, Bu. Tapi saya sama Vanessa beda lantai."

"Saya baru kali ini lihat Nessa bawa teman ke sini. Dia jarang bawa temannya ke sini sejak SMA." ujar ibunda Vanessa.

"Mungkin Vanessa malu, Bu."

Ibunda Vanessa menghela napas panjang, "Ya, saya ngerti. Dia sudah yatim dari kecil. Waktu sekolah juga, dia bantu kerja cari uang untuk keluarga. Dia merelakan waktu bermainnya untuk mencari rejeki."

"Dari SMA dia udah kerja, Bu?" tanya Rendy.

"Iya, nak. Dia anak saya satu-satunya yang saya punya. Dia termasuk anak yang gigih dan gak mau nyerah. Dia juga kerja sambil kuliah ambil jurusan teknik sipil."

"..." Rendy terdiam.

"Saya tinggal dulu ke belakang ya, nak. Masih banyak baju yang harus dicuci dan disetrika."

"Oh, iya Bu."

Ibunda Vanessa bangun dari duduknya dengan perlahan. Terlihat sekali, ia harus mengerahkan sedikit tenaganya untuk membantunya berdiri. Tetapi, ia tetap melakukan pekerjaan yang sekarang sedang dikerjakannya. Tak lama kemudian, datanglah Vanessa dengan memakai celana pendek menutupi bagian pahanya serta tanktop berwarna putih yang dia lapisi kembali dengan kardigan hitam sembari membawakan segelas teh hangat untuk Rendy.

"Diminum dulu, Kak." ujar Vanessa.

"Iya, terima kasih..." Rendy menyeruput teh buatan Vanessa.

"..." Vanessa hanya tersenyum kepada Rendy.

"Kamu hebat..." ujar Rendy.

"Hebat?"

"Iya, ibumu yang cerita sama aku tadi... Sekian banyak orang yang aku kenal, kamu yang terhebat, Nessa."

"Mama cerita apa aja?" tanya Vanessa.

"Mama bilang, kamu udah kerja dari sekolah dulu untuk mencukupi kebutuhan."

Vanessa menghela napas panjang, "Ya, gak ada pilihan lain. Sejujurnya, aku dulu kepingin banget ngerasain jalan bareng temen-temen, main sama-sama, tapi aku minder dan sadar diri. Bahkan, aku belum pernah ngerasain pacaran, ngerasain apa itu cinta."

"..."

"Aku cuma anak yatim yang miskin. Mama sampai kerja jadi buruh cuci untuk memenuhi kebutuhan kami berdua. Aku gak tega, Kak."

"Kamu gak boleh gitu. Apapun status sosialmu, kamu gak boleh minder. Yang akan dipertanggung jawabkan nanti itu gimana kamu di dunia. Bukan berapa banyak hartamu."

"Itu dia yang juga aku takutkan, Kak..." ujar Vanessa melemahkan suaranya.

"Kenapa memangnya?" tanya Rendy.

"Kak..."

"..."

"Aku mau jujur. Setelah itu, terserah Kakak mau jauhin atau gak kenal sama aku lagi." ujar Vanessa.

"Jujurlah. Aku seneng sama orang yang jujur apa adanya. Aku paling benci orang yang suka bohong."

"Dulu, mama sakit dan butuh biaya banyak. Hutang keluargaku membengkak..."

"..."

"Maaf, aku bohong soal SPG. Sebelum ini, aku bukan SPG." ujar Vanessa.

Tiba-tiba saja setetes air mata jatuh membasahi pipinya yang kemerahan. Wajah cantiknya kini berubah menjadi muram. Napasnya menjadi sesegukkan dan sulit berbicara dengan lancar. Vanessa menundukkan kepalanya sambil sesekali menghapus air matanya.

"Aku... Aku jual diri, Kak... Aku jadi pelacur... Aku terpaksa melakukan itu, Kak... Aku berani sumpah aku gak ada niat ikhlas dari dalam hati untuk melakukannya."

"Aku gak sebaik yang Kakak pikirkan... Aku..."

Tiba-tiba saja Rendy langsung memeluk tubuh Vanessa yang gemetaran untuk mengakui dosa yang telah dia perbuat di masa lalu. Pelukan yang diberikan Rendy cukup membuat Vanessa sedikit tenang. Vanessa pun membalas pelukannya dan menangis dalam pelukan seraya Rendy mengusap dan membelai kepala Vanessa.

"Kamu hebat, Dek... Aku makin kagum sama kamu... Kamu berani mengakui itu semua, itu hebat buatku... Hidupmu bertujuan. Untuk siapa kamu berjuang, untuk apa kamu berusaha... Sedangkan aku, aku gak tau aku kerja untuk apa dan siapa..."

Rendy melepas pelukannya dan menghapus air mata Vanessa, "Terima kasih, kamu udah kasih aku motivasi. Mulai sekarang, aku akan berusaha dalam pekerjaanku. Aku mau membuktikan kalau aku bisa lebih sukses dari Papa." ujar Rendy.

Burung Kertas Merah Muda 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang