Chapter 17

13 0 0
                                    

Rendy berjalan tergesa-gesa menuju gedung kantornya. Dilanda sebuah kecemasan yang besar serta rasa khawatir berlebih. Tommy dari belakang mengikuti Rendy dengan memaksa kakinya melangkah lebih cepat dari Rendy dan setengah berlari. Rendy tidak bergegas masuk ke dalam elevator, namun ia singgah berhenti di depan meja resepsionis yang sudah ada Vanessa dan Nayla menanti.

"Ren! Copot kakiku ini! Astaga!" Tommy mengeluh lalu berhenti di belakang Rendy.

"Selamat pagi, Pak Ren..."

"Kamu udah lihat Anna datang, Dek?" Rendy langsung bertanya kepada Vanessa memotong salamnya.

"Anna?" Vanessa berpikir sejenak. "Oh, kayaknya aku lihat dia udah naik." ujar Vanessa.

"Oke, makasih." Rendy meninggalkan Vanessa dan Nayla dengan langkah cepat.

"Astaga, kau ini kenapa sih, Ren!" Tommy kembali melanjutkan langkahnya membuntuti atasannya tersebut.

****

Nayla dan Vanessa kembali duduk di kursinya masing-masing. Nayla menatap Vanessa dengan tatapan yang menggoda. Vanessa yang tiba-tiba saja diberi pertanyaan tak biasa, hanya bisa menundukkan kepalanya dan menghela napas panjang. Vanessa langsung menyadari bahwa ia mendapatkan tatapan tak biasa dari Nayla dan balik menatapnya.

"Apa!"

"Duh ileh... Galak banget, bu... Hahahahaha..." Nayla meledek.

"Bodo!"

"Duh seneng gak sih dipanggil adek sama cowok ganteng?" tanya Nayla seraya menyandarkan kepalanya ke bahu Vanessa. "Eh, tapi pas disamperin, cowoknya malah nanya cewek lain... Hahahahaha!" Nayla tertawa lepas.

"Iihh! Sana nggak!" Vanessa mendorong kepala Nayla yang bersandar di bahunya.

****

"Kau kenapa sih, Ren? Pagi-pagi ku lihat sudah cemas..." ujar Tommy di dalam elevator.

"Bukan urusan lo, Tom..." ujar Rendy.

"Hei, sobat! Macam baru kenal aku sehari dua hari kau... Sebenarnya ada apa kau sama Anna?" tanya Tommy.

Rendy menghela napas panjang, "Gak bisa gue cerita di lift... Nanti gue cerita ke lo semuanya... Tapi, janji lo jangan bocor..." ujar Rendy.

"Beres, bos!"

Beberapa detik kemudian, sampailah mereka di lantai yang di tuju. Sebuah lantai yang di mana seluruh isinya di huni oleh ahli teknologi informatika dan komputer. Orang-orang yang setiap hari berperang di medan teknologi jaringan, penyimpanan data, keamanan koneksi, serta orang-orang yang gemar menghampiri karyawan lain untuk menyelesaikan kendala teknis yang kadang datang dan pergi begitu saja. Rendy langsung bergegas berjalan menghampiri Anna yang baru saja memakai headset yang terhubung ke IP Phone miliknya.

"Na, ikut aku sebentar..." ujar Rendy seraya menepuk bahu Anna.

"Ke mana?" tanya Anna.

"Ikut aja..." Rendy menarik tangan Anna.

Vera yang melihatnya hanya bisa diam sambil menahan cemburu. Menatap mereka berdua pergi meninggalkan area kerja dan hilang dari pandangan. Masih ada Tommy yang baru saja selesai menyeduh kopi dan duduk di kursi yang selalu ia tempati dekat dengan Vera. Tommy juga melihat sekilas Rendy dan Anna pergi meninggalkan area kerja yang di mana rekan kerjanya sedang berusaha menyelesaikan kendala teknis dari para karyawan di lantai lain.

"Mau kemana mereka, Ver?" tanya Tommy.

Vera menghela napas panjang, "Gak tau, Kak..." Vera menundukkan kepalanya.

"Sudahlah, Dek... Jangan diratapi begitu..." ujar Tommy sambil mengelus bahu Vera.

"Iya, Kak..."

"Tapi, aku heran sih... Aku bareng dateng sama dia, dia kayak orang yang cemas sampai nanya sama resepsionis Anna udah dateng apa belum..." ujar Tommy.

****

Rendy mengajak Anna ke sebuah ruangan 4x5 meter. Sebuah ruangan dengan fasilitas untuk menyendiri dan kedap suara, yang karyawan di tempat Rendy dan Anna bekerja menyebutkan bahwa ruang itu adalah silent room atau bilik senyap. Yang memang diperuntukkan untuk karyawan yang ingin fokus dengan pekerjaannya tanpa ada gangguan dari yang lain.

"Kamu ngapain ngajak aku ke sini, Ren? Nanti kita dikira orang yang macam-macam." ujar Anna.

"Nggak bakalan..."

"Terus, kamu mau apa?" tanya Anna.

"Na, kali ini aja aku mohon dengerin aku... Nurut sama aku..."

"Nurut sebagai bawahan kamu?"

"Terserahlah kamu mau anggap apa... Tapi tolong kamu nurut..."

"Iya, apa cepetan... Nanti aku dimarahin sama Vera kalau berlama-lama sama kamu..." ujar Anna.

"Aku mau kamu jauhin Gavin!"

"Apa hubungannya dengan pekerjaan?" Anna kembali bertanya.

"Na, memang gak ada hubungannya... Tapi, ini demi kebaikanmu."

"Kebaikanku? Kalau memang untuk kebaikanku, lebih baik kamu jauhin aku dari sekarang... Dan anggap hubungan kita hanya atasan dan bawahan."

"..."

"Ada lagi yang mau kamu sampaikan, Pak Rendy?" tanya Anna.

Rendy menghela napas panjang dan membuka pintu ruangan tersebut, "Na..."

"..."

"Setidaknya izinkan aku di setiap detik waktu dalam hidupku untuk menjagamu..." ujar Rendy.

Rendy meninggalkan Anna seorang diri di dalam ruang tersebut. Anna menghela napas panjang dan duduk di sebuah kursi yang tersedia di dalam ruangan. Memikirkan apa yang baru saja ia ucapkan kepada Rendy. Sebuah lisan melempar kata-kata yang bertolak belakang dengan kata hati. Rasa cinta yang lama hilang kini muncul kembali hanya dengan satu untaian kalimat yang keluar dari Rendy.

Ada secarik kertas berwarna merah muda tergeletak di lantai. Secarik kertas yang sudah terlihat seperti kumpulan sobekan yang disatukan kembali dengan menggunakan isolasi bening. Anna yang penasaran mengambil kertas tersebut. Dia pun terkejut dan tak kuasa menahan air matanya karena pedih di hati. Sebuah kertas yang baru kemarin ia sobek menjadi pecahan-pecahan kecil di depan Rendy, kini sudah menjadi satu kesatuan dan utuh namun tak seperti sedia kala.

"Ya, Allah... Rendy..."

Secarik kertas yang tak sengaja terjatuh dari saku milik Rendy. Kedua tangan milik Anna gemetaran dengan hebat. Secarik kertas berwarna merah muda yang ada dalam genggamannya ikut bergetar dan basah dengan air matanya yang terus jatuh dan mengalir deras dari matanya yang indah membasahi pipinya yang kemerahan lalu menetes di atas kertas tersebut.

Anna yakin bahwa memang kertas ini adalah kertas origami berwarna merah muda yang terakhir kali ia berikan kepada Rendy sebelum mereka berpisah di masa lalu. Untaian kalimat yang ada di dalamnya memang benar hasil dari tulisan tangan dari Anna. Kini, Anna hanya bisa memeluk kertas tersebut sambil terisak dalam tangisnya. Membayangkan bagaimana hancurnya hati Rendy pada saat ia bersikap. Tapi, dengan tulus ikhlas karena cintanya kepada Anna, Rendy menyatukan kembali hatinya sendiri yang sudah dihancurkan oleh Anna melalui sikapnya yang dilakukan di hari sebelumnya.

"Maafin aku, Rendy... Maaf..." Anna berucap pelan masih dalam tangisnya.

"Aku cinta kamu, Ren... Sungguh, aku cinta kamu..."

Burung Kertas Merah Muda 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang