Chapter 35

9 0 0
                                    

Angin bertiup seakan sedang mengamuk. Pohon-pohon berdansa hebat hingga ranting bergoyang dan menggugurkan daun-daun di taman. Swastamita sedang tak begitu indah. Senyawa uap air di langit berwarna kelabu. Pertanda langit akan menangis sebentar lagi.

Terlihat seorang perempuan cantik dengan pipi kemerah-merahan mengenakan hijab hingga menutup bagian dada sedang duduk termenung di area taman, di bawah pohon rindang. Tatapannya kosong serta pikiran yang melayang entah ke mana arahnya. Tiba-tiba saja, ada seorang perempuan dengan blazer hitam menghampiri ikut duduk di sampingnya.

"Udah mau hujan, Kak... Kakak nunggu siapa di sini?" tanya perempuan itu.

"..." perempuan berhijab itu hanya diam menatap orang di sampingnya.

"Aku Vanessa..." perempuan itu mengajak berjabat tangan.

"Udah tau..." jawabnya.

"Kak Rendy sering cerita tentang Kak Anna..." ujar Vanessa.

"..."

"Rasa cintanya terhadap Kakak amatlah besar, Kak..." lanjutnya.

"Dari mana kamu tau?" tanya Anna.

"Aku lihat sendiri kok, Kak... Waktu Kakak robek dan ngelempar burung kertas itu ke arah Kak Rendy, justru dia gak marah... Malah, dia ambil lagi burung kertas itu yang udah jadi serpihan." jawab Vanessa.

"..."

"Aku gak tega lihat Kak Rendy terus menatap burung kertas itu. Jadi, aku bantu untuk menyatukan serpihan itu pelan-pelan..." lanjutnya.

"Jadi, kamu yang memperbaikinya?" tanya Anna.

"..." Vanessa menganggukkan kepalanya. "Aku gak tega lihat Kak Rendy sedih..." lanjut Vanessa.

"..."

"Rasanya sakit ketika melihat orang yang aku cinta sedang bersedih. Jadi, aku coba memperbaikinya pelan-pelan." ujar Vanessa.

"..."

"Maaf, Kak. Aku memang sayang sama Kak Rendy, bahkan aku cinta dia. Tapi, dia lebih mencintai Kak Anna dibanding aku. Aku gak apa-apa walaupun hanya dianggap sebatas adiknya. Asal Kak Rendy bahagia dengan Kak Anna..." lanjut Vanessa.

"Aku gak tau harus jawab apa... Jujur, aku cemburu sama kamu..." ujar Anna.

"Kenapa begitu, Kak?" tanya Vanessa.

"Rendy cerita kalau dia suka antar kamu pulang, dan dia juga ngejagain kamu. Sedangkan aku, malah pulang sama cowok lain dan belum tentu dia menjagaku layaknya Rendy menjagamu." jawab Anna.

"Kak..." Vanessa memegang tangan Anna. "Kak Rendy hanya menganggapku itu seperti adiknya. Apa yang dia lakukan itu hanya sebatas seorang kakak yang menjaga adiknya. Gak lebih." lanjutnya.

"Iya aku paham kok..." ujar Anna.

"Aku harus pergi... Aku ada jam kuliah... Daah, Kakak!" Vanessa beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan meninggalkan Anna sendirian.

Anna kembali menyendiri. Menikmati kesendirian di gelapnya senja. Tak ada matahari nampak terbenam. Hanya ada awan mendung menyelimuti langit. Namun ternyata, suasana tak mendukung. Hujan pun turun dan memaksa Anna untuk kembali masuk ke gedung perkantoran.

****

Petir menyambar dan bergemuruh di atas langit. Namun, Rendy masih mengerjakan sisa-sisa pekerjaannya. Ditemani oleh secangkir teh hangat dan kawan yang selalu berada bersamanya. Konsentrasinya sedang baik karena pengaruh dari kembalinya jalinan kasih yang lama tak terpancar. Anna dan Rendy kini perlahan mulai menyatukan hati. Namun, rasa takut untuk kehilangan masih menyelimuti.

"Kopi, Ren?" Tommy menawarkan secangkir kopi.

"Udah ada teh anget gue, Tom..." ujar Rendy sambil melihat layar laptopnya.

"Tumben semangat kau kerja hari ini." Tommy menyeruput kopinya. "Sudah selesai urusanmu dengan Anna?" tanya Tommy.

"Beres..." Rendy menutup layar laptopnya. "Gue udah lega sih sekarang..." lanjut Rendy.

"Terus, Vera gimana?" tanya Tommy.

"Vera... Vera mah udah kayak adek gue sendiri, Tom... Apa lagi dia sebelas-dua belas sama Tasya..." jawab Rendy.

"Beneran kau mau resign?"

"Kalau gue nikah sama Anna..." ujar Rendy.

"Bah! Anna sudah ada cowoknya... Mobilnya pun mewah..." ujar Tommy.

"Eh, Tukul! Itu kan pemberian orang tua..."

"Tapi, dia itu chief... Bukan kayak kau, cungpret!"

"Udah ah, gue mau turun."

"Eh, ikut aku!" Tommy menaruh cangkir kopinya dan mengejar Rendy yang berjalan menuju lift.

****

Hujan turun dengan lebatnya. Gemercik air hujan yang menetes dari langit membuat suasana menjadi syahdu jika sedang berdua dengan orang yang dicintai. Beruntungnya, Rendy masih melihat Anna yang diam menyendiri di depan area lobby gedung kantornya.

"Tuh, hujan kan..." ujar Rendy.

"Eh, kamu..." Anna terkejut. "Udah selesai?"

"Udah kok... Yuk, aku anter pulang aja!" ajar Rendy.

"Gak usah, Ren... Gavin udah di jalan mau jemput aku... Lagi kena macet..." ujar Anna.

"Oh..." Rendy memalingkan wajahnya.

"Rendy..." Anna menggenggam tangan Rendy. "Jangan cemburu gitu dong... Aku sengaja mau nunggu Gavin karena aku mau bicara sama dia..." lanjut Anna.

"Bicara apa?" tanya Rendy.

"Aku gak bisa nikah sama dia. Karena hatiku bukan miliknya." ujar Anna.

"Terus?"

"Aku tunggu kamu di rumah untuk bicara sama Bapak ya..." ujar Anna sambil menatap Rendy dalam-dalam.

"Iya, pasti!" Rendy tersenyum lebar.

"Eh, Gavin udah dateng... Daah Rendy!" Anna melambaikan tangannya.

Anna masuk ke dalam mobil sedan dua pintu buatan Jerman tersebut. Mobil itu perlahan melaju meninggalkan area lobby dan keluar dari area gedung. Menghilang ditelan derasnya hujan. Rendy masih diam berdiri sambil memikirkan sesuatu yang indah dalam hidupnya.

"Rendy, jangan cemburu gitu dong." bisik Tommy di telinga Rendy.

"Astaga!" Rendy terkejut. "Ngapain lo di sini!" lanjut Rendy.

"Hahahahaha! Ya ngikutin kau lah... Aku kan kepo juga..."

"..."

"Kapan kau mau bicara sama bapakku?" tanya Tommy meledek.

"Bapakmu dari Hongkong!" ujar Rendy sambil meninggalkan Tommy.

"Eh eh... Tunggu, Ren! Alamak! Gitu aja ngambek!"

Burung Kertas Merah Muda 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang