Chapter 15

16 0 0
                                    

"Gavin?"

"..." Vanessa mengangguk pelan.

"Kamu pertama kali melakukan sama dia?" tanya Rendy.

"Iya, Kak... Aku benar-benar terpaksa karena pada saat itu memang butuh uang untuk biaya Mama..." ujar Vanessa.

"..."

"Bahkan, sampai saat ini, Gavin masih nyari aku melalui Bella... Makanya aku gak pernah mau angkat telepon dari Bella, Kak."

"Brengsek!" ujar Rendy sambil meninju lantai. "Orang seperti itu kenapa bisa kenal sama Anna... Bahkan Anna bilang dia adalah calon suaminya." ujar Rendy.

"Maksud Kakak, Devianna itu?" tanya Vanessa.

"Iya..."

"Kak!" Vanessa tiba-tiba mengenggam tangan Rendy. "Kasih tau dia, jangan mau sama Gavin... Dia cowok gak baik!"

"Iya... Aku akan berusaha kasih tau Anna, tapi aku gak punya bukti kalau dia bukan cowok baik-baik..." ujar Rendy.

"Aku bantuin, Kak..." ujar Vanessa.

Rendy langsung merogoh saku celananya. Dia mengambil telepon genggam miliknya lalu mencari nama Anna di dalam kontaknya. Setelah menemukan kontak Anna, Rendy langsung memilih menu call yang ada pada handphone-nya.

Berkali-kali Rendy menelpon, namun tak ada jawaban. Padahal, jelas pada status di aplikasi whatsapp­-nya menunjukkan kata "online" di bagian atas, tepat di bawah nama Anna.

"Na, angkat dong..." gumam Rendy.

"Udah malam, Kak... Mungkin dia udah tidur..." ujar Vanessa.

"Whatsapp-nya online, Dek..." ujar Rendy.

"Kak..." Vanessa memegang tangan Rendy.

Rendy menghela napas panjang, "Ya udah iya... Aku pulang dulu ya."

"Ini jangan lupa." Vanessa memberikan kertas berwarna merah muda yang sudah selesai disatukan kembali.

"Makasih, Dek... Aku pulang dulu... Assalamu 'alaikum..."

"Wa 'alaikum salam..."

****

Suara dari hewan bersayap saling bersahutan di atas langit. Mereka terbang ke sana dan ke mari sambil menari dan bernyanyi. Begitu bahagianya mereka melihat sang pusat tata surya menampakkan diri dari jarak jutaan kilometer dari bumi.

Rendy yang sudah rapih dengan pakaiannya, sedang bersiap ingin berangkat menuju kantornya. Tapi, dia tak semangat seperti sebelumnya. Karena melihat burung kertas yang ia coba lipat kembali namun dengan bentuk yang tidak sempurna akibat sobekan dan isolasi.

"Kak..." panggil Tasya.

"Iya, Dek..."

"Ngelamun aja... Ayo berangkat..."

"Oh iya..." Rendy memakai helmnya yang sebelumnya belum tersadar dari lamunan di atas motornya.

Kali ini, Rendy melajukan sepeda motornya dengan santai dan pelan. Berhubung waktu juga masih pagi dan lalu lintas belum ramai. Melewati pepohonan yang rindang di sisi kiri dan kanan. Hingga akhirnya mereka bertemu perempatan.

"Kakak kenapa deh? Aneh nih..." tanya Tasya.

"Aneh gimana, Dek?"

"Kakak banyak ngelamun..."

"Nggak ah..."

"Iya... Kakak mikirin apa?" tanya Tasya.

"Gak ada..."

"Bohong! Aku tau banget kakak gimana... Kalau udah kayak gini, pasti kakak tuh lagi marah tapi gak bisa dilampiasin... Kakak marah sama aku?"

"Nggak..."

"Tau ah!" Tasya mulai kesal.

Lampu lalu lintas sudah menampakkan warna hijau. Artinya, kendaraan yang berhenti boleh melanjutkan lajunya. Rendy masih tetap santai dan pelan. Sementara Tasya, masih diam menunggu Rendy jujur dengan apa yang dirasakannya.

Tasya sangat paham dengan sikap kakak kesayangannya. Sudah hitungan tahun mereka bersama. Tasya tahu betul apa yang sedang dirasakan Rendy, namun Tasya ingin Rendy jujur dengan apa yang sedang dialaminya saat ini.

Beberapa menit kemudian, sampailah Rendy di depan gedung kantor tempat di mana Anita dan Tasya bekerja. Tasya langsung turun dari atas motor Rendy serta memberikan helm yang dipakainya. Tanpa salam perpisahan, dia langsung berbalik badan dan bergegas masuk ke dalam gedung. Nampak dari langkah kakinya, Tasya sedang marah dengan Rendy.

"Dek! Yah... Nyelonong aja..." Rendy meletakkan helm di jok belakang lalu melanjutkan perjalanan menuju gedung kantornya.

Baru beberapa meter melaju, sebuah sedan mewah buatan Stuttgart, Jerman melaju cepat mendahului Rendy. Hanya berjarak tiga puluh centimeter dari motor milik Rendy, yang membuat Rendy terkejut dan hampir kehilangan keseimbangan. Siapa lagi pemilik mobil itu kalau bukan Gavin, calon suami dari Anna.

Terlihat Gavin memberhentikan laju mobilnya di depan gedung di mana Rendy, Anna, dan Vera bekerja. Dia keluar dari kursi kemudi lalu membukakan pintu penumpang. Dan benar saja, sosok perempuan berhijab cantik keluar dari mobil tersebut. Siapa lagi kalau bukan Anna. Rendy ingin marah tapi tertahan tak bisa diluapkan. Rendy hanya bisa melanjutkan laju motornya hingga parkiran khusus sepeda motor dengan isi silinder besar.

****

"Woi!" seseorang menepuk bahu Rendy dengan keras.

"Astaghfirullah!" Rendy terkejut.

"Keren juga motor kau, Ren..."

"Ah elah! Lo ternyata, Tom... Kalau bukan, helm gue udah melayang ke kepala lo nih..." ujar Rendy sambil mengangkat helm buatan Italia tersebut.

"Weits... Santi santi..." ujar Tommy sambil mengangkat kedua tangannya.

"Santai, keleus!" ujar Rendy lalu berjalan meninggalkan Tommy.

"Iya suka-suka aku lah... Eh, tunggu Ren!"

Burung Kertas Merah Muda 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang