Chapter 48

38 0 0
                                    

"Dia juga darah dagingku!" ujar Mama Rendy.

"Aku yang merawatnya!" ujar Rama.

"Dia lahir dari rahimku, Rama!"

"Aku yang mendidik dan membesarkannya!"

"Aduh! Stop! Ini ada apa sih! Pa, ini maksudnya apa!" ujar Gavin kebingungan. "Kamu... Mamaku sudah meninggal dari aku lahir... Gak mungkin kamu lahirin aku..." lanjutnya.

"Rama! Keterlaluan kamu! Kamu biarkan anakmu untuk tidak mengetahui kenyataan yang sesungguhnya!" ujar Ratna.

"Karena kamu lebih memilih menelantarkan Gavin daripada merawatnya!" ujar Rama.

"Jadi... Benar dia itu mamaku, Pa?" tanya Gavin.

Ramaditya menghela napas panjang. "Ya... Benar..."

Gavin terlihat marah. Wajahnya berubah menjadi merah padam. Dia langsung menghampiri papanya dengan tatapan berapi-api. Napasnya tidak beraturan. Detak jantungnya menguat seraya ia menarik napas.

"Kenapa Papa bilang kalau Mama udah gak ada! Apa salahku untuk ketemu ibuku sendiri!" ujar Gavin.

"..."

"Sampai aku harus menghancurkan hidup saudaraku sendiri! Papa sakit jiwa!" Gavin melangkah meninggalkan area tersebut.

"Gavin! Tunggu!" Rama mencoba menahan.

"Vin! Tunggu, Vin!" Anita berteriak mengejar Gavin.

Gavin menepis tangan Rama dan bergegas pergi meninggalkan area restoran. Disusul oleh Anita yang juga hadir dalam acara tersebut. Tetapi, Gavin tetap menghiraukan suara Anita, wanita yang sampai saat ini masih ada dalam hatinya. Hingga akhirnya, Gavin berhenti di satu koridor menuju area parkir mobil.

"Vin! Tunggu!" Anita memegang tangan Gavin.

"Anita..."

"Capek ngejar kamu, Vin..." ujar Anita dengan napas terengah-engah.

"Maaf, aku gak tau kalau itu kamu..." ujar Gavin.

"Kenapa kamu bisa ada di sana?" lanjutnya.

"Aku kan keponakan Pak Win... Rendy itu sepupuku..." jawab Anita.

"Astaga..."

"Vin..." Anita memegang tangan Gavin. "Tahan emosimu ya... Aku tau kamu shock setelah tau semuanya..." ujarnya.

"Aku gak habis pikir aja Papa begitu dendamnya dengan Pak Win..."

"Duduk dulu, Vin..."

Anita mengajak Gavin untuk duduk di sebuah kursi kayu yang terletak di area parkir mobil yang berguna untuk menunggu mobil yang ingin ditumpanginya. Suasana terlihat sepi. Hanya ada Anita dan Gavin berada di sana.

"Anita..."

"Ya..."

"Kamu masih gak mau maafin aku karena kejadian masa lalu?"

"Vin, aku udah maafin kamu... Aku cuma trauma..."

"Sampai saat ini?"

"..." Anita menganggukkan kepala. "Tapi, setelah lihat sikapmu tadi, entah kenapa aku mau mengejarmu..."

Tiba-tiba saja telepon genggam milik Gavin berbunyi. Ada nama Bella nampak pada layar telepon genggamnya. Anita yang melihatnya terkejut dan bertanya pada Gavin.

"Kamu masih hubungan sama perempuan itu?" tanya Anita.

"Sebentar... Aku angkat dulu..."

****

"Halo, Vin!"

"Ada apa sih, Bel?"

"Gue ada kejutan buat lo..." ujar Bella.

Gavin menghela napas panjang. "Duh, apaan lagi sih Bel..."

"Lo kenapa? Lagi ada masalah ya?"

"Udah deh gak usah kepo... Ada apaan?"

"Lo ke kontrakan gue sekarang ya..."

"Lo lagi di sana?"

"Kalau gue gak di sini, ngapain gue nyuruh lo ke sini, Vin..." ujar Bella.

"Nah, kebetulan... Gue ke sana sekarang ya..."

"Oke! Ditunggu..."

****

"Ikut aku,Nit..." Gavin menggenggam tangan Anita.

"Ke mana?"

"Ketemu Bella... Kamu harus tau semuanya..."

"Tau apa?"

"Tentang aku dan kamu di masa lalu... Sudah ayo cepat!" Gavin menarik tangan Anita.

Gavin dan Anita pergi beranjak dari area gedung menuju tempat di mana Bella berada. Mengendarai mobil besutan Jerman milik Gavin yang kaca belakangnya kini sudah diganti dengan yang baru. Menghadapi ganasnya lalu lintas ibukota dan lampu lalu lintas dengan durasi waktu yang tak masuk akal. Satu jam perjalanan, mereka sampai di sebuah rumah yang di depannya sudah terparkir mobil berjenis van dan mobil milik Bella.

Gavin keluar dari mobil dan memasuki rumah tersebut disusul oleh Anita. Gavin masuk ke sebuah ruangan dan menemukan Vanessa dalam keadaan terikat di atas kursi sambil menangis. Lalu, ada Bella dan juga empat orang suruhannya yang berdiri menunggu Gavin.

"Hai, Vin! Lihat siapa yang tak berdaya itu..." ujar Bella.

"Vanessa..."

"Susah loh gue nangkep dia..."

"Udah... Lepasin aja, Bel..." ujar Gavin.

"Kok dilepasin sih! Gue udah capek-capek nangkepin buat lo!"

"Gue udah gak minat..."

"Ya udah, tetep lo harus bayar gue dengan nominal yang lo janjikan!" ujar Bella.

"Gue bilang, gue udah gak minat!"

"Vin... Tahan dulu emosi kamu..." Anita mencoba menenangkan Gavin.

"Anita!" Bella terkejut.

"Iya, ada masalah sama gue, Bel?" ujar Anita.

"Kok... Kalian bisa sama-sama lagi?" Bella kebingungan.

"Udah minggir!" Gavin mendorong Bella.

Gavin membuka tali yang mengikat tubuh Vanessa di atas kursi. Lalu dilanjutkan membuka ikatan yang mengikat tangan dan kakinya. Gavin juga membantu Vanessa membuka perekat yang melapisi bagian mulutnya.

"Sini... Jangan dekat-dekat dia..." Anita langsung menarik Vanessa dan memeluknya.

"Sebaiknya lo cerita semua sama Anita apa yang sebenarnya terjadi waktu itu..." ujar Gavin.

"..."

"Anita berhak tau, Bella..."

"Memang ada apa, Vin?" tanya Gavin.

"Dia dibayar Papa untuk menyuruhku menyetubuhimu secara paksa, Nit... Memang waktu itu aku butuh uang... Tapi, Papa memberikan melalui Bella dan menyuruh Bella untuk memerintahku supaya aku belajar arti usaha... Tapi, Bella justru menyuruhku untuk menyetubuhimu..." ujar Gavin.

"Papamu yang memerintahkan aku untuk kamu mengambil keperawanan Anita secara paksa, Vin!" Bella terdiam.

"Dan aku baru paham... Ternyata kamu adalah keponakan dari Pak Win... Orang tua sakit jiwa... Sama seperti Bella..."

"..." Bella terdiam.

"Kenapa lo diam, Bel?" tanya Anita.

"Iya! Iya! Gavin benar! Kebetulan gue juga benci sama lo, Nit! Setiap koridor kampus yang gue lewatin, semua orang ngomongin Anita, Anita, Anita! Anita cantik, Anita begini, begitu! Jijik gue! Kenapa harus ada cewek populer karena fisiknya! Di saat itu, gue berniat buat menghancurkan reputasi lo!" ujar Bella.

"Sudahlah, Bel... Urusan kita selesai... Masalah bayaran, biar jadi urusan gue sama lo... Gue mau pergi dulu..." ujar Gavin. "Ayo, Nit... Bawa Vanessa..."

Burung Kertas Merah Muda 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang