Chapter 49

24 0 0
                                    

Ada seorang perempuan sedang duduk bertatapan dengan cermin meja riasnya. Perempuan yang memiliki tinggi badan sekitar 160 cm sedang memakai hijabnya dengan bros merah muda yang dia kenakan. Sungguh cantik walaupun dia tak menggunakan make up berlebihan. Tak lupa kacamata yang selalu dia gunakan untuk membantu penglihatannya yang mulai buram. Senyumnya menambah kesan manis terpancar dari wajahnya. Layaknya bidadari surga yang menjelma menjadi manusia.

"Anna..." panggil ibunya dari balik pintu.

"Iya, Bu..."

"Ayo cepat... Nanti kita terlambat ke rumah Pak Win..." ujar ibunya.

"Tunggu sebentar, Bu... Aku belum pede nih..." ujar Anna.

"Kamu itu udah cantik... Gak usah diapa-apain lagi..." ibunya menghampiri. "Hijab dan baju kamu udah cocok... Duh, Rendy pasti suka lihat calon istrinya kayak gini..." ujar ibunya meyakinkan.

"Beneran?"

"Iya... Udah cukup... Yuk berangkat!"

Anna dan ibunya segera keluar dari kamar. Sudah ada ayahnya yang menunggu di teras luar. Mereka sekeluarga siap berangkat menuju rumah kediaman Winarto Nugroho, orang tua dari Rendy untuk mempersiapkan pernikahan Anna dan Rendy.

"Kamu udah berangkat?" satu pesan dari aplikasi whatsapp masuk.

"Ini aku baru mau jalan." balas Anna untuk Rendy.

"Aku pikir kamu udah jalan dari tadi, Na..." balas Rendy.

"Aku gak pede... Aku milih-milih baju, hijab, sama make-up... Maafin aku, Rendy..."

"Hahahaha... Kenapa harus milih-milih pakaian, sayang?" tanya Rendy.

"Dibilangin aku gak pede... Takut jelek aja dilihatnya..."

"Dilihat siapa?"

"Kamu..."

"Bagaimanapun penampilanmu, kamu tetap cantik dalam hatiku, Na..."

Anna tersenyum lebar setelah melihat kalimat yang dikirimkan dari Rendy. Sesekali, ia melihat keluar jendela mobil yang ia pesan melalui aplikasi. Melihat pepohonan pinggir jalan yang memayungi dari sinar sang surya. Namun, pikirannya tak dapat terlepas dari bayang-bayang dari orang yang tak disangka-sangka. Orang yang sebentar lagi menjadi suaminya.

"Kamu senyum-senyum sendiri... Kayak orang hilang akal sehatnya..." ujar ibunya.

"Nggak kok, Bu... Aku masih sehat ini... Kecuali, orang yang satu ini... Cuma dia yang bisa bikin pikiranku seperti orang yang hilang akal sehatnya..." ujar Anna seraya memperlihatkan profile picture milik Rendy.

"Oalah, Pak... Anakmu ini udah tergila-gila sama Rendy loh..."

"Bisa... Nanti langsung ijab-qabul aja... Hahahahaha..." ujar ayahnya yang duduk di kursi bagian depan.

"Ih, Bapak sama Ibu apaan sih!"

****

"Kak..." sapa Tasya.

"Iya, dek..." jawab Rendy yang sedang duduk di pinggir jendela kamarnya.

"Kakak ngapain di situ? Mau bunuh diri?" tanya Tasya.

"Ngaco kamu... Ya aku suka aja duduk di sini..." jawab Rendy.

"Kakak gak siap-siap? Kak Anna kan mau ke sini sama keluarganya..." ujar Tasya.

"Nanti ah..." ujar Rendy seraya memainkan salah satu burung kertas berwarna merah muda pemberian Anna.

"Ya udah... Aku nanti mau jalan sama Danu..."

"Pulangnya jangan malam-malam..."

"Nggak, Kak... Aku pagi pulangnya... Hahahahaha..."

"Heh! Gak usah macem-macem!"

"Iya iya... Aku siap-siap dulu, Kak..." ujar Tasya seraya kembali menutup pintu kamar Rendy.

Rendy kembali terbuai dalam lamunan. Duduk di pinggiran daun jendela kamarnya sambil menatap langit pagi hari yang cerah berwarna biru. Hati dan pikirannya terlelap memikirkan Anna yang akan ia persunting menjadi istrinya di kemudian hari. Sebuah perjuangan dan perjalanan cinta yang sulit, kini akhirnya mereka bisa disatukan.

"Duh... Ngelamunin apa sih..." ujar Anita seraya memeluk Rendy dari belakang.

"Ih! Kebiasaan deh! Geli tau!" Rendy meronta.

"Habis aku seneng sih godain kamu..." Anita mencium bagian leher Rendy. "Ayo, nafsu dong..."

"Nafsu nggak... Geli iya... Pakai baju yang benar dulu sana..." ujar Rendy.

"Ini udah bener adikku sayang..." Anita mempererat pelukannya.

"Duh! Apanya yang bener! Cuma pake tanktop sama hotpants doang!"

"Aku nanti gak bisa gini lagi kalau kamu udah sama Anna..."

"Kak, nanti Mama lihat loh..."

"Biarin! Ayo sini!" Anita menarik dan mencoba membawa Rendy ke atas ranjang.

"Woi! Rusuh banget becandanya!"

Anita berhasil membawa Rendy dan menjatuhkan tubuhnya di atas Ranjang. Kini, posisi mereka saling tumpang tindih. Rendy tak berdaya berada di bawah Anita yang posisinya menindih tubuhnya dengan posisi tengkurap dan sengaja menempelkan dua buah dadanya di tubuh Rendy.

"Hayo... Kamu lihat-lihat dada aku..." ujar Anita menggoda.

"Keliatan, Kak... Bukan sengaja dilihat!" ujar Rendy.

"Rendy nakal... Kamu nafsu ya..." Anita memegang bagian paha Rendy.

"Ah! Kak! Apaan sih!" Rendy menepis dan membanting tubuh Anita ke samping.

"Aduh! Hahahahaha... Kamu lucu kalau lagi nafsu..." ujar Anita.

"Sesak aku yang ada..." ujar Rendy. "Oh iya, Kak..." lanjutnya.

"Apa?"

"Gavin itu gimana sih aslinya?" tanya Rendy.

"Gavin..." Anita menghela napas panjang. "Dia itu baik... Baik banget, Ren... Dia selalu berusaha nyenengin aku... Berkorban buat aku... Tapi, cuma satu jeleknya... Dia mudah diperalat dan dipengaruhi... Entah sama orang tuanya, atau keadaan yang memaksa..." ujar Anita.

"Contoh keadaan yang memaksa kayak gimana, Kak?" tanya Rendy.

"Dulu, dia butuh uang untuk perbaikan mobilnya... Karena belum berpenghasilan, dia terpaksa meminta sama orang tuanya."

"Lalu?"

"Tapi, orang tuanya gak mau kasih gitu aja... Papanya justru menyuruh Bella untuk memberi perintah apapun untuk Gavin, supaya uang itu cair... Sialnya, Bella minta Gavin untuk menyetubuhiku dengan paksa dan video itu tersebar... Makanya aku sempat trauma... Bukan dengan Gavinnya, tapi dengan kejadiannya..." ujar Anita.

"Bella? Kayak nama mucikari yang sempat bikin masalah sama aku..." ujar Rendy.

"Loh? Kamu kenal Bella!" Anita terkejut dan berganti posisi menjadi duduk di samping Rendy.

"Dia pernah buat masalah, Kak... Aku punya teman namanya Vanessa... Nah, Bella itu maksa Vanessa untuk memuaskan client-nya... Salah satu client­-nya itu Gavin..." ujar Rendy.

"Kamu kenal Vanessa!"

"Loh? Kakak tau Vanessa juga?"

Burung Kertas Merah Muda 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang