Chapter 19

11 0 0
                                    

Rendy keluar dari dalam ruangan kecil berukuran 3x4 meter meninggalkan Anna sendirian di sana. Dia berjalan dengan cepat menuju meja yang sudah ia tempati terlebih dahulu pada saat dia datang. Tommy yang melihat teman sekaligus atasannya tersebut menjadi bertanya-tanya ada masalah apa sebenarnya Rendy dan Anna.

Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar sayu dan pelan. Suara yang dihasilkan dari sepatu high heels milik perempuan dengan pipi kemerahan yang berhiaskan hijab yang menutupi rambut hingga bahunya. Dengan mata yang sayu dan pandangan tertunduk, dia duduk dengan lesu lalu diam tak bersuara.

"Na, kamu kenapa?" tanya Tommy penasaran.

"Gak apa-apa, Bang..." jawab Anna.

"Kamu diapain sama Rendy? Kamu habis nangis?"

"Nggak diapa-apain kok... Aku ke toilet dulu." jawab Anna dengan lesu.

Anna beranjak dari meja kerjanya. Meninggalkan secarik kertas terbuat dari pecahan-pecahan yang disatukan dengan isolasi bening. Tommy yang penasaran langsung mengambil kertas origami merah muda tersebut. Dia pun terkejut melihat isi tulisan yang terkandung dalam kertas itu. Untaian kalimat dari tulisan tangan Anna masih terbaca jelas. Seteleh selesai melihat, kertas itu diletakkan kembali di atas meja dan Tommy pura-pura tidak mengetahuinya.

Beberapa saat kemudian, Anna kembali ke meja kerjanya. Masih dengan pandangan kosong serta pikiran yang sedang melayang. Tapi, dia tak ingin pekerjaannya terganggu karena masalah hati yang tidak ada sangkut pautnya dengan dunia profesional.

****

Rendy menyandarkan tubuhnya di sebuah kursi dengan sandaran punggung yang panjangnya kurang lebih satu meter. Kursi yang biasa dipakai sekelas direktur kini dia pakai untuk menenangkan pikirannya sejenak. Sebuah keuntungan dari penetapan meja yang berbasis open space menjadikan karyawan bebas memilih meja serta kursi yang ingin dipakai.

Sambil menatap langit yang diselimuti oleh senyawa berbentuk seperti gumpalan kapas berwarna gelap. Mendadak langit seakan ingin menangis. Suara halilintar sudah terdengar saling bersahutan. Tak butuh waktu lama, langit sudah menurunkan debit air yang cukup tinggi.

"Ren..."

"Kenapa, Tom?"

"Sibuk?"

Rendy menghela napas panjang, "Belum sih... Gue belum liat monthly report dari team lead-nya helpdesk sama DSS."

"Maaf nih Pak Bos... Gue gak sengaja liat kertas warna pink di atas meja Anna..."

"Hah!" Rendy langsung mengecek saku celananya. "Aduh! Pasti tadi jatuh kertasnya..." Rendy langsung menyandarkan tubuhnya dan menghela napas panjang.

"Sebenernya ada apa kau sama Anna?" tanya Tommy.

"Gak ada apa-apa. Kertas yang lo liat itu juga masa lalu, Tom..."

"Ya... Gimana ya..." Tommy duduk di atas meja menghadap Rendy. "Aku jadi tau kenapa Vera susah deketin kau..." ujar Tommy.

"..."

"Emang gak sakit memendam rasa selama bertahun-tahun buat orang yang belum tentu memendamnya juga, Ren?" tanya Tommy.

"..." Rendy masih memandangi langit yang sedang menurunkan hujan.

"Rendy, bahagia itu kita sendiri yang ciptakan. Kau berhak bahagia walau bukan dengannya." ujar Tommy seraya menepuk bahu atasannya.

Tommy beranjak dari meja dan kembali menuju tempat di mana dia bersama rekan kerjanya untuk melanjutkan pekerjaan. Rendy yang masih tak dapat berkonsentrasi dengan pikiran dan hatinya mencoba memulai pekerjaannya. Melihat sekilas dari laporan bulanan dari timnya dan melaporkannya kembali ke atasannya.

Setelah itu, dia membuka telepon genggamnya untuk mengecek pesan masuk dari grup whatsapp yang dia bergabung di dalamnya. Banyak dari teman-temannya menyebarkan undangan pernikahan melalui grup dan ada juga mengundang secara personal. Dia membuka sebuah grup yang berisikan teman-teman semasa SMP dahulu. Secara tak sengaja, pikiran Rendy langsung tertuju dengan seorang teman semasa SMP dulu yang kini menjadi ahli dalam bidang asmara. Tidak memakai waktu yang lama, Rendy langsung menelponnya.

"Halo..."

"Halo, Rif..."

"Siapa ya? Suara kayak gue kenal nih..."

"Sok tau lo gak berubah, Rif..."

"Hahahaha... Rendy mamen... Anak orang kayah rayah... Ada apaan, Ren?"

"Lo kerja di mana sekarang?" tanya Rendy.

"Gue di MMU, Ren... Daerah gatsu situ..."

"Lo ada waktu gak nanti siang? Gue ke sana deh..."

"Eh, jangan... Biar gue aja yang ke sana... Gue kosong banget ini... Share location aja ya..."

"Oke sip..."

****

Langit yang sebelumnya menangis, kini kembali cerah. Kumpulan awan mendung yang gelap kini sudah tiada dan diganti dengan cerahnya langit berwarna biru muda serta matahari yang memancarkan sinarnya menghangatkan bumi tanpa ada awan yang memayungi. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB. Rendy langsung menuju taman belakang area gedung untuk menunggu temannya.

Sudah lima belas menit Rendy duduk sendiri di taman. Di temani oleh semilir hembusan angin yang bertiup pelan. Membuat ranting dari pepohonan bernyanyi dan gergoyang menggugurkan daun yang sudah kering. Tak lama kemudian, sebuah Kawasaki ER6F terparkir di area parkir khusus sepeda motor dengan isi silinder besar.

"Woi Ren!" sapa temannya yang menghampiri dan duduk di samping Rendy.

"Wih, motor mahal..." ujar Rendy.

"Alah, biasa aja... Ada apaan, Ren? Tumben lu..."

****

Lelaki ini adalah teman Rendy semasa sekolah menengah pertama. Di mana dulu teman yang satu ini banyak dikagumi kaum hawa dari kakak kelasnya dan menjadi perbincangan banyak orang. Dia dikenal nakal karena suka berbuat ulah, tetapi dia juga membawa harum nama sekolah karena juara lomba bahasa inggris tingkat nasional.

Dia bernama Ghearifa Fadhil. Memiliki tinggi 180cm dengan bentuk tubuh yang proporsional. Wajahnya mirip orang Turki, dengan rambutnya yang berwarna kecokelatan.

****

"Gue mau minta saran aja..." ujar Rendy.

"Saran Sechan?"

"Sarah! Gue serius Rif..."

"Hahahahaha! Ya udah lo cerita dulu lah..." ujar Ghearifa.

"Gue harus gimana ya? Gue memendam perasaan cukup lama sama perempuan. Tapi, perempuan itu sekarang udah punya calon suami." ujar Rendy.

"Ren..." Ghearifa menepuk bahu Rendy. "Kalau kayak gini, mending lo cari cewek lain deh..."

"Tapi, calon suaminya itu brengsek, Rif... Dia suka main perempuan... Dan perempuan yang pernah main sama dia, gue kenal... Gue gak mau dia jatuh ke orang yang salah, Rif..." ujar Rendy.

"Kalau itu lo perlu bukti untuk yakinin dia..." ujar Ghearifa.

"Tapi, apa masih perlu gue kayak gitu ke dia? Secara dia udah gak ada rasa lagi sama gue..." ujar Rendy.

"Ren... Cinta itu perlu pembuktian tanpa harap balasan... Dia juga berhak memilih kepada siapa hatinya berlabuh... Kalau emang lo cinta dia, lo jaga dia walaupun dia bukan milik lo lagi..."

"Bukannya kalau kayak gitu bakalan nyakitin diri sendiri?" tanya Rendy.

"Justru yang nyakitin itu, ngeliat orang yang kita cinta disakitin karena memilih orang yang salah."

"..."

"Makan yuk! Laper gue..." ujar Ghearifa.

"SCBD, yuk! Gue yang bayar..." ujar Rendy.

"Sikat, Borr!"

Burung Kertas Merah Muda 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang