Chapter 09

16 0 0
                                    

Satu jam sudah berlalu. Anita dan Tasya kembali menuju tempat kerjanya bersama-sama. Sedangkan Danu, dia mengejar waktu untuk rapat dengan rekan project-nya. Hanya ada Anna dan Rendy tersisa di meja ini. Rendy meminta Anna untuk memberi waktu untuknya.

"Nanti aja ya balik ke kantornya." ujar Rendy.

"Aku terserah atasanku aja gimana." balas Anna.

"Aku senang kita bisa ketemu lagi, Na."

"..."

"Setelah sekian lama kita berpisah dan hilang kontak." lanjut Rendy.

"Aku juga gak nyangka kita bisa ketemu lagi."

Rendy mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah origami berwarna merah muda yang sudah terlipat menjadi sebuah burung kertas. Anna sangat terkejut melihatnya karena dia tak menyangka bahwa pemberiannya masih terjaga sampai saat ini.

"Rendy, kamu..."

"Kenapa?"

"Kamu masih simpan ini?" tanya Anna keheranan sambil memegang burung kertas merah muda.

"Aku akan simpan seperti aku menyimpan perasaanku selama ini." ujar Rendy.

"Aku pikir, kamu udah lupain aku dan ngebuang ini semua, Rendy..."

"Nggak mungkin, Na... Mana mungkin aku lupa sama kamu sedangkan darahmu masih mengalir deras di tubuhku." ujar Rendy.

"Rendy..."

Setetes air mata jatuh membasahi pipi merahnya. Tangannya berusaha menghapus air mata yang jatuh, tetapi alirannya terlalu deras. Anna tak menyangka perasaan Rendy terhadapnya masih begitu dalam. Dan tak bisa dipungkiri, Anna pun masih menyimpan rasa yang sama kepada Rendy.

"Seberapa besar cintamu sama aku, Ren?" tanya Anna.

"Gak tau, Na... Yang jelas, kamu terlalu berarti buatku." ujar Rendy.

Rendy mengambil kembali burung kertas berwarna merah muda itu dan membukanya. Terdapat untaian kalimat yang ada di dalamnya. Tulisan tangannya masih jelas tercetak dengan pena bertinta hitam tulisan tangan dari Anna.

"Ini adalah burung kertas terakhir yang kamu kasih sama aku sebelum kamu pergi." ujar Rendy.

"..."

"Aku gak berharap kamu punya perasaan yang sama denganku saat ini, tapi..."

"Rendy..." Anna memotong pembicaraan Rendy seraya memegang tangan Rendy.

"..."

"Kamu sangat berarti buatku. Hatiku penuh dengan namamu. Dari sekian laki-laki yang aku kenal dan berusaha dekat denganku, tak ada satupun yang bisa menjagaku seperti kamu yang menjagaku. Sudah banyak pengorbanan yang kamu berikan. Kamu adalah satu-satunya orang yang aku percaya bahwa kamu benar-benar mencintaiku, Rendy."

"Anna, kamu harus tahu. Perasaan ini timbul dan bertumbuh subur dengan sendirinya. Perasaan ini muncul tanpa syarat."

"Begitu juga denganku, Rendy."

Serasa dunia milik berdua, Anna dan Rendy larut dalam pembicaraan. Tak terasa waktu sudah hampir menunjukkan pukul 14.00 WIB. Itu tandanya, mereka harus kembali ke meja kerja dan melanjutkan aktivitas seperti biasa. Rendy dan Anna berjalan perlahan menuju area di mana sepeda motor milik Rendy diparkirkan. Lalu, Rendy melajukan sepeda motornya dengan cepat menuju gedung perkantoran.

****

"Dari mana aja, Ren?" tanya Tommy.

"Makan siang." jawab Rendy.

"Ah, kau ini. Jam segini baru balik kantor. Pacaran dulu kau? Atau Nostalgia? Hahahahaha..."

"Bos mah bebas, Tom." ujar Rendy.

"Nostalgia apaan sih, Bang..." Anna menyela.

"Mending kau bujuk tuh Vera. Dia belum makan siang." ujar Tommy.

"Lagian kenapa gak makan?" tanya Rendy.

"Kau dan Adek Anna lah yang buat dia murung. Gimana sih..." jawab Tommy.

Anna dan Rendy saling bertatapan. Anna merasa menyesal karena sudah pergi berdua dan menerima ajakan Rendy. Jika Rendy menerima ajakan Vera, pasti tidak akan terjadi hal seperti ini.

"Sekarang, Vera di mana, Bang?" tanya Anna.

"Itu, di pantry. Gak mau keluar dia dari tadi. Menyendiri aja." jawab Tommy.

"Gue samperin dulu deh..." ujar Rendy.

Rendy melangkahkan kakinya menuju ruangan di mana ruangan itu biasa dijadikan tempat makan siang bersama untuk karyawan yang membawa makanan dari rumah. Di sana ada Vera yang sedang duduk diam sambil menundukkan kepalanya. Suara tangisannya tak bisa disembunyikan. Rendy langsung saja duduk di sampingnya.

"Vera..."

"..."

"Kenapa nangis?" tanya Rendy.

"..."

"Udah makan?"

"..." Vera menggelengkan kepalanya.

"Makan ya..." bujuk Rendy.

"..." Vera kembali menggelengkan kepalanya.

"Aku suapin, tapi makan ya..."

"..." Vera mengangguk dan mengangkat kepalanya lalu tersenyum ke arah Rendy.

"Nah, gitu dong... Kamu itu cantik kalau senyum... Jangan nangis lagi ya..." ujar Rendy seraya menghapus air mata Vera yang deras jatuh membasahi pipinya.

Rendy keluar dari area pantry untuk menemui seorang office boy untuk meminta bantuan membelikan makanan untuk Vera. Selang lima belas menit berlalu, office boy itu kembali membawakan sebungkus makanan yang ia beli dari kantin belakang gedung.

"Nih... Buka mulutnya..." Rendy bersiap menyuapi makanan ke dalam mulut Vera.

"Mas, kamu duduknya di samping aku dong... Biar gampang nyuapinnya." pinta Vera dengan manja.

"Iya..." Rendy berpindah tempat, "Nih, lagi..."

Vera kegirangan disuapi oleh pria idamannya. Rasa emosi karena dibakar api cemburu kini sudah perlahan padam disirami oleh perhatian dan perlakuan yang diberikan oleh Rendy.

Burung Kertas Merah Muda 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang