[03]

2.6K 419 24
                                    

Sebelah tangan menopangi dagu dan sebelahnya yang lain memutari bolpoin. Kepala cerdas Yoongi diajak bekerja keras detik ini. Mungkin, sehari-harinya Min Yoongi memang begitu. Sebab pada dasarnya otak digunakan untuk berpikir, 'kan? Seorang filsuf bahkan berkata, aku berpikir maka aku ada.

Berkas di atas meja mulai mengurang sejak ia selesai rapat satu jam yang lalu. Karena berotak encer, Yoongi juga mesti pandai memilah, mana proyek yang akan ia ambil dan dilepas tangankan. Menggigit kuku dan pipi dalam, berdecak, bahkan meminum kopi Yoongi telah lakukan sebagai selingan.

TOK! TOK! TOK!

"Masuk," titah Yoongi tanpa memindai pandangan di balik lensa bening bertengger di hidung.

"Sajang-nim," panggil perempuan bersetelan khas wanita kantor. "Ada yang ingin bertemu dengan Anda. Dia tak memiliki janji dengan Anda, tetapi dia berkata, kalau Anda penyelamatnya."

Mungkin tak ada yang sadar, jika Yoongi mendapati gurat geli super tipis itu hinggap di muka sekretarisnya dalam sekali lihat. Namun, Yoongi biarkan saja, ia tak peduli apa alasan dan isi kepala perempuan itu. "Persilakan masuk," setujunya enteng.

Sekretaris Hong mengangguk paham kemudian berlalu, meninggalkan Yoongi yang berkutat pada berkasnya lagi. Cukup berwaktu, sebelum pintu kembali terketuk. Yoongi melepaskan kacamata, menyisihkan di tempat yang ia usahakan tak kubangi dedebuan.

"Masuk."

Baiklah, mari lihat siapa orang aneh yang menganggap ia seorang penyelamat.

Dan hasilnya, ya, Yoongi cukup terkesiap tatkala pintu terbuka sempurna yang kemudian meloloskan seseorang.

"Selamat siang, Sajang-nim. Paket kiriman makan siang Anda sudah datang!"

"Park Reiha?"

"Paman masih ingat, ya. Hehe."

Pada dasarnya, Yoongi tak bertemu gadis itu hanya di bulan lalu. Sebelum-belumnya juga bertemu, meski tidak berinteraksi. "Mengapa ke sini? Ada urusan lain?"

"Sudah kubilang, 'kan? Paket makan siang, buatan sendiri sebagai tanda terima kasih." Sekonyong-konyong alis Reiha berkerut tak terima. "Sebenarnya, tidak pantas juga sebagai ucapan terima kasih. Maksudku, bahan makanan ini juga dari uang pemberian Paman. Tapi pokoknya, aku ingin berterima kasih sebesar-besarnya," celoteh Reiha kurang terarah seraya membungkuk dalam, dan akan bersujud kalau Yoongi tidak menggagalkannya.

"Paman, 'kan, yang mengurusi biaya pengobatan Nenekku? Terima kasih, Paman. Berkatmu, Nenek akan segera pulih sepenuhnya." Reiha menaruh bawaannya di atas meja terdekat.

Yoongi menggigit bibir samping bawah lalu berdesis, "Darimana kau tahu?" Padahal Yoongi sudah mewanti-wanti supaya informasi dialah dalangnya itu tidak bocor. Apalagi ke orangnya langsung.

Telunjuk Reiha membentuk gerakan membulat. "Paman harus tahu, wajah orang baik itu tidak bisa ditutupi. Sepandai apa pun dia berlagak." Dia tersenyum lepas kemudian menunjuk bawaannya tadi. "Harap dimakan segera setelah aku keluar dari sini. Kualitasnya, aku berani jamin. Oke, Paman? Kalau begitu, aku permisi dulu." Raiha berjingkat menjauh lalu mendadak terlonjak. "Ah!" Dia berbalik. "Kapan-kapan, aku bawakan makan siang lagi."

Yoongi hanya mengerjap lambat. Gadis ini, kenapa esentrik sekali. []

sérendipitéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang