[25]

1.3K 241 55
                                    

Berkat Min Jimin dengan ratusan tuntutan di balik lirih parau yang tanyakan di mana Park Reiha berserta kabarnya—padahal baru dua hari tidak berjumpa—tepat ketika baskara merangsek hingga menyembul di atas atap bangunan seberang rumah yang artinya sangat pantas dibilang pagi sekali, Min Yoongi segera ajak bocah lima tahun itu bergegas lebih awal dari biasanya menuju Aurora.

Tujuannya memang hanya satu, tetapi tidak dengan efek yang akan mengiring; kebenaran menyoal keadaan Reiha.

Jimin, tentu saja si pria kecil itu tidak dapat—atau memang tidak niat—menutupi kegirangannya. Bahkan kala Kang Suha, salah satu yang punya otoritas lebih terhadap Aurora, memandu jalan mereka hingga tiba di depan sebuah pintu. Pintu kamar Park Reiha, orang yang menjadi topik teratas pencarian dua kepala turunan Min.

Maka, sewaktu Kang Suha menunduk undur diri kemudian menghilang esensinya, tangan Jimin mulai unjuk aksi. Mengetuki pintu Reiha bersama seruan nyaring yang termasuk konyol di telinga siapa pun, tak ayal Yoongi.

"Permisi, Ssaem. Harap buka pintu, karena paket Min Jimin-nya sudah datang!"

Tidak ada yang Yoongi lakukan selain menyaksikan perbuatan anaknya dengan kedua tangan menyampir di saku celana. Biarkan ia diwakilkan. Beberapa sekon berlalu tanpa sahut balasan tidak membuat Jimin maupun Yoongi angkat kaki, sebab sayup-sayup koklea Yoongi menjerat bunyi sesuatu jatuh di balik sana. Sebagai orang yang telah mengetahui fakta sungguhan si pemilik kamar dari pembicaraan singkat dengan si pemilik yayasan, Yoongi harap bunyi tersebut bukan Reiha sendiri.

Seiring gaung ke sekian 'Ssaem, Jimin datang!', pintu pun tidak lagi stagnan. Dia tertarik masuk sampai tunjukan wujud sempurna gumpalan putih berukuran jumbo, hanya bagian muka saja yang tak terbalut. Wajah pasi, kemerahan di bawah lingkar mata serta pucuk hidung, punya pandangan sayu dan nampak berlinang. Yoongi mesti percaya, bahwa itu milik Park Reiha. Si esentrik yang Yoongi kira tidak akan pernah dilanda fenomena demikian, bahkan di satu sisi.

"Oh, Jimin-ie datang," ujar Reiha kelewat parau, seolah pangkal hidung dan tenggorokannya tengah terjepit. Tangan kanan menyeruak guna menggapai puncak kepala halus Jimin yang intensitas cengengesnya kian melebar lantaran penasaran dan kangennya terbasuh. Usai berikan dua-tiga elusan, telapak Reiha meluruh. Niatnya untuk melakukan hal serupa sebagaimana rutinitas tiap mereka setor muka, tapi teriakan membahana Jimin memupuskannya.

"Ugh, panas! Ayah, Rei-ssaem kebakaran!"[]

sérendipitéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang