[09]

1.8K 320 24
                                    

Jari telunjuk kanan Yoongi menekan tegas di atas bel sebuah rumah.

Jika lebarkan padangan, maka baik rumah atau kawasan ini bukanlah milik Min Yoongi. Punya orang lain, sahabat kental dan bisa dibilang saudara meski tidak sedarah. Yoongi kerap ke tempat ini, bahkan sebelum Jimin hadir di hidupnya—ya, walaupun intensitas itu tidak semenggebu si bocah Min pasca-lahir.

Dengan sabar, dipaksakan sabar, Yoongi menanti hingga pintu di hadapan terbuka. Dua bocah berbeda takdir yang menyembul bukanlah sosok tujuan Yoongi, tetapi dia yakin orang tersebut sudah satu jam lebih dulu bermanja ria di dalam sana, kendati strata mereka sama.

"Wah, ada Paman Yoongi!" seru salah satunya, senang.

"Jimin! Jiminnya mana, Paman?" sahut yang lainnya, suka cita.

Si kembar ciptaan Jung Hoseok itu celinguk sana-sini guna menangkapi pemilik nama yang mereka cari, bahkan nyaris mengintip di celah paha dan terparah menjawil saku jas Yoongi, mana tahu Min Jimin bersembunyi di sana.

Astaga, beginilah genetika. Mereka pikir Jimin apa sampai bisa ia taruh di dalam saku.

"Kali ini Paman datang sendiri," ucap Yoongi sekenanya. Tidak berusaha menarik urat leher, maksudnya. Ya, karena keponakan kesayangan, apa boleh buat. Mereka juga berjasa, menjadi penjaga dan penemani Jimin yang secara bersama mengusir kesepian. Karena nampaknya dua keturunan Jung itu paham, lekas Yoongi melanjut, "Ayah kalian mana?"

Tidak perlu tunggu dengar Yoohee berkata, "Ayah ada di dalam. Main sama Jungkook." atau Yooho yang berteriak, "Ayah, Paman Yoongi datang!" Yoongi telah melenggang masuk kediaman keluarga hangat Jung Hoseok dan Yumi tanpa mengantong tiket permisi. Duduk santai di sofa seakan rumah pribadi.

Kebiasaan.

Di kurun terbilang cepat, Yoongi telah disapa cengiran Hoseok tepat di kedua maniknya.

"Woh, tumben tidak bawa Jimin, Hyung?" Hoseok mengibas rambutnya ke belakang tanpa melunturkan lengkungan cerah di wajah. "Tidak mungkin karena kangen, 'kan? Eih, pasti ada yang lain. Ayo bicarakan."

Yoongi absolut heran, Hoseok selalu tahu maksudnya dia bertandang kendati belum tahu di konteks apa. Dan kemudian, Yoongi teringat, Hoseok senantiasa jadi markas dia keluarkan isi otak dan hati mengingat mereka pernah sama-sama kehilangan. Bedanya, kehilangan Hoseok bersifat semu, sementara kehilangan Yoongi itu abadi.

"Jangan-jangan Park Rei—"

"Heh, sembarangan!" potong Yoongi ketus di pembawaan secepat kilat. Belum juga menempel dengan benar bokongnya sudah nyerocos. Astaga, lagi-lagi, untung sayang. Hoseok minta maaf dibarengi cengengesan.

Kendati Reiha memang tetap punya andil, tetapi tidak secara integral tentang gadis itu. Hanya saja, tatkala punggung Reiha dan Jimin telah tiada dari peredaran, otak Yoongi sekonyong-konyong munculkan pemikiran;

Jadwal tugasnya, bisa dibatalkan tidak, ya?

Padahal, seratus persen Yoongi yakin akan keputusan hanya mengizinkan dan menitipkan Jimin ke Reiha, alih-alih dia. Akan tetapi, perlahan justru meluruh lalu hanyut entah ke mana. Maka sebabnya, Yoongi bertandang ke rumah Hoseok sebelum betulan pulang, siapa tahu Super Daddy satu itu punya solusi. Harus punya, ngomong-ngomong.

"Kalau bukan, baiklah." Hoseok bersedekap dan lantas menutup mata, ia pasang air muka berlimpah keseriusan. "Aku dengarkan, Hyung."

Masa bodoh kelakuan Hoseok, Yoongi awali dengan membasahi bibir kemudian berdeham. "Akhir pekan nanti, Jimin akan ikut acara pinik yang digelar Aurora, dan kebetulan saat itu aku ada jadwal di luar kota. Sebetulnya, Reiha sudah tawarkan diri menjadi wali Jimin, tapi rasanya aku, kau tahu, terganjali."

"Terus?"

"Ya ... bagaimana menurutmu?"

Tiba-tiba, Hoseok membuka mata. Dia meneleng. "Sudah?" pastinya, sedangkan Yoongi mengangguk. "Hanya ... itu?"

Yoongi mengangguk, lagi.

Hoseok menghela panjang dan kecewa, tentu. Dia kira bakal mendengar berita besar yang mampu bikin dia menganga atau tertawalah seminimalnya. Rupanya,  kosong. Namun, tidak dapat ditampik, Yoongi di mode nyeleneh—serba salah sekaligus naif—ini cukup menghibur.

"Yoongi-hyung, apa susahnya, sih, menunda sehari?" Hoseok lepaskan silangan akibat dua tangannya lalu ditumpuhkan masing-masing ke atas punggung sofa. "Ingat tidak yang pernah Hyung ajarkan tentang keuntungan posisi seorang Presiden Direktur, jika dilihat dari sudut sempit?"

Yoongi tidak mesti repot peras otak, dia ingat betul dengan jelas. Jadi, hanya perlu mengulang lewat bibir. "Terkadang, sekali-kali bisa seenaknya."

Hoseok menjentikkan tangan lalu mengangguk puas. "Nah, itu dia. Benar-ben—hei, mau ke mana, Hyung?"

"Pulang."

Yoongi sudah memilih opsi dan Hoseok segera mendapatkannya.

"Ah iya, sama-sama, Hyung. Hati-hati di jalan, ya."

Hasrat ingin menyimpan kepala si tengil Hoseok di ketiak itu besar, tetapi tidak Yoongi manjakan. Biarlah Hoseok menggodanya kali ini—padahal Yoongi sering sekali menerima godaan darinya, persis sejak menikah dengan Yumi.

"Eh, Yoongi-oppa sudah mau pulang? Bisa tunggu sebentar."

Lihat, wanita yang Yoongi pikirkan sekilas sudah timbul saja esensinya.

"Sebentar, tidak lama, kok. Aku hanya membungkus makanan untuk Oppa dan Jimin makan di rumah," timpal Yumi ketika diterimanya tukikan alis Yoongi.

"Oh, sayang, sayang. Jangan, tidak usah," celetuk Hoseok sambil mengibas tangan kencang-kencang.

Yumi memandangi suaminya bersama raut bingung. Tidak biasanya. "Kenapa?"

Hoseok memasang ekspresi simpati sedalam mungkin. Seingat Yoongi, Hoseok tak pandai begini—dulu. "Nanti masakan spesial seseorang di rumahnya bakal sia-sia. Jadi, sebaiknya jangan, ya. Kasihan, tahu."

Ledakan tawa adalah ganti salam sampai jumpa.[]

sérendipitéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang