[28]

1.1K 230 65
                                    

Boleh jadi kesenyapan ialah tanda bahwa Yoongi sedang fokuskan diri menyetir. Namun, aslinya tidak benar-benar begitu, karena sudah berapa kali Yoongi tertangkap mencuri pandang atas pemandangan di kursi tengah melalui benda pemantul refleksi di atas kepalanya. Habis menyeruput satu botol susu pisang, Jimin langsung menjemput bunga tidur, sedangkan pemilik paha yang Jimin jadikan bantalan kepala, melempar atensi penuh minat ke luar jendela. Sejak ditarik keluar dari kediaman utama keluarga Min, gadis itu tidak lagi umbar kebolehan retorika. Setidaknya pada Yoongi, karena bersama Jimin, itu tidak berlaku.

Reiha tidak protes, tidak pula bertanya mengapa Yoongi bersikap demikian. Padahal kalau dibandingkan dengan terakhir kali Yoongi datang menjemput mereka, ia merasa tidak sebarbar kali ini. Lelaki Min tetap menjawab setiap perkataan ibunya, bahkan sempat layangkan salam pamit. Tapi sekarang? Membuka pintu dengan segala emosi, menginterupsi kegiatan makan-makan tanpa suara, berhenti sejenak tanpa absenkan muka ketika ditegur ibunya, kemudian berlalu.

Begitu kentara perbedaannya.

"Reiha," celetuk Yoongi setelah membebaskan helaan payah untuk bekelidan dengan partikel sekitar.

"Ya?"

"Kau tidak lelah?"

"Tak apa, Paman. Tidur Jimin masih pulas, dan kakiku pun belum terasa kebas."

"Bukan itu." Yoongi melepas kekesalan melalui resonasi desibel. Gurat-gurat heran lantas terjerat kala Yoongi angkat lalu pakukan atensi di spion tengah. Decakan implusif keluar, dan sebelum Yoongi kembalikan perhatian pada situasi seharusnya orang saat berkendara, ia menyahut, "Ibuku. Apa kau tidak lelah dengan sikap Ibuku?"

Yoongi saja sudah selelah ini, bahkan juga muak barangkali, apalagi Reiha yang bernotabene sebagai korban utama dari ambisi ibunya. Yang tidak tahu apa-apa, tidak punya sangkut pautnya, tiba-tiba mesti dijejalkan akuntabilitas atas nasib yang padahal tidak Yoongi pusingkan.

Pikir Min Yoongi begitu.

"Kenapa aku harus lelah dengan orang sebaik Nyonya Min?"

Seutas kalimat penyataan terbungkus pertanyaan Reiha semerta-merta mengirim stimulus yang sukses tinggalkan remasan konstan di organ dalam tempurung kepala Yoongi. Salah besar, astaga. Dengan gesit, jari manis Yoongi menggeser tuas sein dan memutar stirnya ke kanan hingga mobil tersebut berhenti sempurna di sisi jalan. Menyerongkan tubuh, Yoongi lantas menyembur, "Sadarlah, Park Reiha! Ibuku sudah mengincar dan menandaimu sebagai ko—"

"Eung ... Ayah, susunya tambah! Eung ...
nyam, nyam ...."

Erangan Jimin menyela cuapan kegondokkan Yoongi. Terputus saja di sana, karena Yoongi segera mengatup bibir rapat-rapat. Berharap Jimin kembali terdekap kenyamanan lelap, dan sesekali merutuki diri mengapa ia lepas kontrol atas desibel, padahal masih ada anak kecil yang teramat dia sayang sedang mengumpulkan energi di antaranya. Melamati Jimin yang nampak bergelung nyaman berkat elusan telaten Reiha di kepala, Yoongi mengembus lega. Ia telah khatam risiko mengganggu tidur nyenyaknya anak kecil, khususnya Min Jimin dan berkaca dari Yoongi sendiri; sangat merepotkan.

"Sebagai apa tadi, Paman?" Suara lembut Reiha melesak di lini suasana kondusif.

"Korban," tukas Yoongi. Dari kernyitan samar di alis Reiha, Yoongi tahu dia bingung. Oleh sebab itulah, Yoongi bermaksud melebarkan konteks percakapan sekaligus mengimplementasi saran yang kebetulan melintas bak angin sepoi di antara semrawut serebrumnya. Bersama resonasi desibel lebih terkendali, Yoongi bertanya, "Begini saja, apa kau punya seseorang yang kau suka? Bukan Nenekmu, Jimin, anak-anak Aurora atau lain semacamnya. Tapi secara implisit. Paham, 'kan?"

Alasan Yoongi cetuskan punya orang yang disuka alih-alih kekasih, sebab Yoongi sudah tahu, Reiha tak memiliki orang yang terikat semacam itu. Apa Yoongi hanya sok tahu? Tidak, jika Reiha sendiri pernah bilang demikian, maka bagaimana Yoongi bisa mengada-ngada? Lalu, alasan Yoongi singgung nenek Reiha, Jimin dan lain-lain, ialah untuk antisipasi kalau-kalau gadis itu jawab hal serupa; "Aku suka semua orang, Paman!". Tali pembahasan bakal panjang, sementara denyut di tempurung kepalanya akan kian beringas.

"Jika yang ditekankan adalah emosi terhadap lawan jenis, kupikir aku tidak punya," jawab Reiha dibarengi air muka meyakinkan dan gelengan kecil.

Barangkali Yoongi lupa, bahwa selalu ada probabilitas jawaban demikian yang terucap dari pertanyaannya. Padahal kalau Reiha bilang iya saja, kendati tidak tahu sekuat apa asa tersebut, Yoongi pasti akan bantu realisasikan hingga cukup menjadi titik balik agar ibu berhenti lanjutkan tingkahnya. Ingin sekali Yoongi beri Reiha ultimatum guna bilang kepada ibunya, bahwa dia memiliki orang yang disuka, bilaperlu sudah punya kekasih. Akan tetapi, ini Park Reiha yang pernah Yoongi suruh berbohong ke Sekretaris Hong, tetapi malah jadi mewanti-wantinya supaya hidup jujur.

Sebetulnya, perkara mudah bagi Yoongi mengakhiri lingkaran memusingkan ini. Cukup sisihkan Reiha di dalam hidupnya, maka selesai. Sangat gampang sekali, andaikan Jimin tidak begitu lengket dengan Reiha. Titik tertangguh masalah adalah Min Jimin, yang menjadikan partikel mudah bertransisi nyaris mustahil. Walaupun begitu, Yoongi tidak kehabisan langkah. Lelaki Min telah mempersiapkan satu senjata yang ia selipkan harapan besar agar efektif.

"Jujur aku lelah, Reiha. Sangat lelah karena terus-menerus merasa bersalah atas sikap Ibuku terhadapmu. Mungkin bagimu, Ibuku baik. Tapi ketahuilah, dia tidak semerta-merta sebaik itu, jika tidak ada tujuan yang mengiringi." Dan ketidaksadaran Reiha, membikin Yoongi diam-diam bersyukur di embusan panjang napasnya. "Jadi, untuk menghentikan niat lain Ibuku yang betul-betul melelahkan, tolong, ikuti rencanaku."[]

hei, hei, semua. Udah pada bosen belom sama ini cerita????? 😄😄😄😄

sérendipitéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang