[38]

1.1K 201 96
                                    

Persis di pukul delapan lewat dua puluh delapan malam, sepasang kaki beralas sepatu berkroma malam milik Yoongi menapak membelakangi pintu rumahnya. Kepulangan yang tidak dapat diklasifikasikan pada telat, cepat atau tepat waktu. Namun, ditilik dan diresapi atmosfer penuh ketenangan di griya hangat ini, tampaknya Min junior sedang atau bahkan sudah terlena dengan primadona tidur. Jika asumsi itu benar, maka baguslah, Jimin memperoleh kembali kualitas tidur yang kerapkali dia tinggalkan lantaran bersikeras menunggu kemunculan presensi Yoongi dan setelan lelaki kariernya di balik pintu. Entah untuk menceritakan kisah yang baru dia alami, menonton televisi bersama, atau sekadar menemani Yoongi makan malam.

Yang Jimin lakukan memang membantu Yoongi lucuti kepenatan karena huru-hara catatan bernapas, tetapi imbasnya justru Jimin sendiri yang merugi, semakin kelelahan.

Menyalin alas berkelasnya dengan sepasang sandal rumahan berwarna cokelat kue kering, Yoongi menuntun diri menuju sepetak kamar yang pintunya sengaja dicat kuning matahari dan gantungan hitam berbingkai merah membentuk nama Jimin. Kenyentrikkan pintu kamar Jimin itu terkadang betul-betul menyakiti mata Yoongi. Meskipun objek perantara tersebut sudah terbuka, laki-laki Min tidak serta-merta meloloskan diri guna menyongsong sosok Jimin. Dia memindai pemandangan yang tersedia seraya mempercayakan keseimbangan tubuhnya pada kusen pintu.

Proporsi Yoongi beberapa menit lalu absolut benar, terbukti dari Reiha yang tengah membaluti tubuh kecil keturunannya dengan selimut. Menepuk bahu, meninggalkan usapan kemudian kecupan terkandung afeksi di puncak kepala Jimin. Serentet pergerakan yang membikin bagian vital di dada kirinya menghangat lalu mencelos di saat beriringan.

"Oh, astaga!" Desibel yang nyaris melengking, jika tidak gesit dikontrol oleh pemiliknya mengembalikan kesadaran Yoongi. Kedipan mata Yoongi berkali lipat intensitasnya ketika Reiha menyisihkan waktu guna menetralisir detakan esentrik di jantungnya. Reaksi terkesiap Reiha bukan sekadar bualan atau gadis itu hanya berlebihan, tetapi dia memang tidak menyangka kalau Yoongi rupanya sudah bergabung di sekitarnya. Dan Yoongi pun tadi baru terkenang, kalau dia tidak memberi tanda-tanda atas kehadirannya.

"Kau tak apa, Rei?" tanya Yoongi manakala Reiha masih berkutat dengan napas tersendatnya, padahal puluhan sekon telah berlalu.

"Tak apa, Paman. Ini hanya efek film yang tak sengaja aku dan Jimin tonton tadi." Reiha terkekeh garing, dan lantas menginstruksi Yoongi agar meninggalkan kamar Jimin. Memberi bocah itu ketenangan.

"Film apa?"

"Horor."

Pantas saja sekaget itu, apalagi Yoongi memakai setelan serba putih, kecuai di kaki. Menyadari seberkas keganjilan, Yoongi yang hendak menyeringai geli malah bertransisi mengernyit. "Kalau tidak sengaja, berarti ketika kau merasa ketidaksesuaian, maka kau akan segera melewatinya. Tapi kenapa efeknya bisa selengket itu?"

Mata Reiha melebar sejemang, arkian mendadak cengengesan. "Awalnya tidak sengaja, tapi malah keterusan. Hanya aku kok, Paman, Jimin tidak. Jimin pandai memilah tontonan yang layak untuknya, dan memilih lanjutkan membaca buku cerita."

Berhari-hari setelah konversasi intens yang menguak seulas khawatiran ke permukaan guna dimusnahkan bersama Nyonya Min kala itu, Yoongi mendapati Reiha mulai kembali pada karakteristik aslinya, yang esentrik, pandai beretorika, dan dipenuhi perhatian, serta afeksi. Benar-benar sebuah keajaiban, karena seiring menguapnya kecanggungan yang lahir atas kekeliruan di antara mereka, jalan hidup berantakan yang Yoongi emban pun perlahan terasa lebih enteng. Seolah beban jenuh yang bertumpuk adikara di bahu Yoongi terkikis lalu tersedot entah ke mana.

"Karena Paman sudah di sini, jadi aku pulang dulu." Reiha memunguti kardigan dan tas rajut minimalisnya di gantungan. "Ah, tadi aku juga memasak. Jika Paman mau makan, tinggal panaskan saja."

sérendipitéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang