[19]

1.4K 289 47
                                    

Jika otak Yoongi tak salah mengingat, ini kali ketiga ibu dan ibu martuanya kompak bertandang sejak ia memutuskan tinggal di tempat terpisah. Keduanya memang kerap berkunjung, tapi tidak sekaligus begini. Terkecap aneh, meski Yoongi rasa tak perlu terlalu dipikirkan. Ya, barangkali hendak memastikan sekali lagi, bahwa cucu gembil kesayangan mereka sudah jauh lebih sehat setelah sempat mendekam di salah satu bangsal Rumah Sakit.

"Yoongi," panggil ibu martua Yoongi, Nyonya Park, ketika bibirnya lepas dari pinggiran gelas berisi teh hangat. Acara minum teh memang sudah menjadi kebiasaan saat orang tuanya mampir—entah di pihak Jihyun ataupun orang tuanya sendiri. "Apa mereka memang sedekat itu?"

Iris kelam Yoongi semerta-merta terseret pada arah yang dimaksud. Tepatnya, pada Jimin yang tengah merangkai sebuah istana beraneka warna dari sebuah peti mainannya. Seperti satu suku kata dari pertanyaan Nyonya Park, Jimin yang terkikik sambil berpindah sana-sini dengan riang itu tentu tidak sendiri. Dia ditemankan oleh Park lain yang darahnya tidak berkelidan. Gadis yang enggan lepas perhatiannya karena masih merasa bertanggungjawab atas insiden Jimin kala itu sampai rela mengibarkan bendera cuti pada tempat di mana ia bekerja. Gadis yang bahkan membikin Yoongi berpikir keras berkali lipat hanya untuk paham sebuah fakta, bahwa betapa kasih sayang itu melimpah ruah tidak terbatas darah atau pandang bulu.

Park Reiha, gadis yang sedikit banyak membuat Yoongi belajar, dalam artian terdalam.

Yoongi merotasi posisi duduk. Ia menyanggah tangan di kedua paha, tidak lagi mepet di punggung tangan sofa sambil melipat kaki. Yoongi tersenyum refleks ketika Jiminnya menyengir sampai menyentuh mata. "Lebih dari yang Eommonim bayangkan."

Ya. Jika sekadar akrab, maka Jimin dan Reiha lebih dari yang dibayangkan. Andaikata keduanya seumur saja, barangkali sudah jadi kembaran atau seperti hati dibelah dua. Kiranya begitulah.

Ibu martuanya menyemat senyum sehangat suasana rumah Yoongi kala ini. Mungkin, lega karena sekadar tahu lewat lisan. Mereka mempersilakan jeda memegang kendali barang sejenak.

"Sepertinya inilah saatnya." Nyonya Park meletakkan cangkir tehnya di atas tatakan putih keemasan bercorak sulur bunga. Cantik, dan itu perangkat teh kesayangan milik Jihyun. "Benar, 'kan, Yoori?"

"Benar, Jiya." Nyonya Min, Ibu Yoongi, mengangguk tanggap. Pancaran di kedua mata hangat ciptaan masa itu menggaung keseriusan.

Tanpa sadar satu alis Yoongi menukik penasaran. Sedang apa dua ibunya itu? Dan apa maksud di baliknya hingga harus berbincang lewat bahasa mata? Napas Yoongi lantas terembus awas saat membaui ketidakberesan yang mulai berpendar.

"Yoongi," Nyonya Park memanggil, lagi. Tapi tidak tersensor resonasi santai seperti sebelumnya. Kali ini lebih menekan dan menuntut. "Sudah saatnya kau bebas dari bayang-bayang Jihyun, nak."

Sambil menutup mata dan mengangguk dalam, Nyonya Min lekas menambah, "Kami, bahkan Ayah dan Ayah martuamu tidak akan memaksa lagi."

Kognisi Yoongi mendadak inflasi. Kerjapannya lenyap. Napas stagnan. Aliran darah kacau-balau. Menyusul bibir, kerongkongannya pun mendadak kerontang. Pantas saja sebuah firasat kurang menggembirakan terus mengusik sedari terpampangnya profil dua wanita itu. Namun, sialnya cepat Yoongi bumi hanguskan, karena terus mencoba berpikir mengarah kebaikan. Lagi pula, dengan kehadiran dua nenek, Jimin bisa puas dimanjakan.

Tapi apa tadi?

"Tunggu. Maaf, sebelumnya. Jika topik ini hendak mengarah ke sana, maka mari sisihkan. Aku belum mau membahasnya." Telapak tangan Yoongi secara implusif terpancang ke depan. Ia memasang wajah masam bersama gurat-gurat mengandung keengganan.

Biar aliran rasio nyaris tersedat, Yoongi mendapatkan inti dari topik tersirat yang begitu gamblang. Meringkuk di galaksi yang berisikan figur Jihyun, Yoongi ingin sekali lepas dari keadaan itu. Sekurangnya, Yoongi jadikan kenangan yang ditoreh bersama Jihyun sebagai memori seumur hidup, yang apabila diingat hanya akan terkecap manis. Sampai di sini, Yoongi setuju. Namun, ketika ibunya mengambil alih, kami tidak akan memaksa lagi? Apa itu, astaga.

"Mau sampai kapan, Yoongi? Sampai Jimin menagih sendiri padamu, bahwa dia ingin seorang ibu?" cetus Nyonya Min tersulut emosi. Nyaris meninggikan suara andaikan bahunya tidak segera dielus Nyonya Park, sekaligus tidak ingat bahwa ada telinga lain yang belum boleh mendengar.

Jujur saja wanita berumur itu sudah kepalang muak dengan Yoongi yang senantiasa menutup hati hingga selama itu. Beliau tahu kalau Yoongi adalah tipikal laki-laki setia ditambah lagi dengan luka menganga di hatinya yang tak juga kering. Akan tetapi, di dunianya juga tak melulu tentang dia. Yoongi memiliki Jimin, bocah yang selalu aktif dan antusias bertanya pasal ibunya ketika berkunjung atau dititipkan di kediaman utama tanpa sepengetahuan Yoongi.

Kadang kala, Nyonya Min teremas jiwanya bila menangkap sorot damba Jimin saat indranya bersinggungan pasal ibu. Entah sewaktu mendengar cerita, melihat gambar, atau tak sengaja menyaksikan interaksi salah satu pelayan keluarga Min dengan anaknya. Namun, memang dasar bibit baik, Jimin agaknya tidak sebegitu menuntutnya kepada Yoongi. Dan jika permitaan itu keluar di celah bibir ceri Jimin, berarti ia betul-betul menginginkannya.

Rongga mata Nyonya Min di penuhi presensi Yoongi yang sekonyong-konyong termangu dengan pandangan lurus ke bawah. Senyum getir implusif terpatri di wajah tuanya. "Lihat, bahkan Jimin telah melakukannya," lirihan Nyonya Min sanggup membungkam masa. Dua mulut lain membisu, sedangkan presensi yang tadinya bermain nampak bermain telah lenyap—mungkin berpindah ke ruang lain.

Telah berapa banyak Yoongi kantongi sindiran menyoal perempuan, tetapi anehnya ia lebih tertampar sewaktu perihal itu keluar dari mulut ibu. Menendang Yoongi berlabuh pada ingatan di malam Jimin menagih keinginannya memiliki ibu untuk kali pertama. Sukses membuat Yoongi seperti ditampar berulang-ulang sehingga ia sukar bernapas.

"Kami telah membahas ini sejak tahu dia membantumu mengurusi Jimin, dan kemarin adalah keputusan finalnya." Resonasi rendah vokal Nyonya Min kembali menggelitik rongga telinga. Beliau pemecah keheningan. Yoongi angkat pandangan seiring detakan sekon meniti. "Park Reiha. Kami setuju, jika kau memilihnya sebagai pendamping."

Hari memang terbilang siang, tapi bukan berarti perumpamaan seperti tersambar petir di siang bolong mesti melulu berlaku. Kendati di kasus Min Yoongi jelaslah demikian. Otak yang secara integralnya terguncang. "Sebentar, Ibu." Menelan ludah bagai menyesap besi berkarat bagi pria Min. Tempo kedipannya melaju cepat, seolah tanpa jeda. Mendesak bernapas melalui mulut sambil mengangguk akibat ketidakpercayaannya. "Ya, nanti. Nanti pasti aku bakal menikah." Yoongi mengehela napas sekaligus memperdalam keyakinan pada naik-turun kepalanya, sehingga melambungkan harapan dua wanita terhormatnya. Namun, harapan tersebut tidak mampu terbang lebih jauh, karena Yoongi buru-buru menghentak begitu keras sampai jatuh menapak tanah. "Tapi tidak dengan dia."

"Di depan matamu sudah ada yang cocok dengan Jimin dan terlebih padamu. Lantas, kenapa harus cari yang lain, Min Yoongi?" ujar Nyonya Park, melimpahi Yoongi sorot sendu berselimut kekecewaan.[]

sérendipitéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang