after all: serendipity

965 113 41
                                    

"Padahal aku sudah kenal Lily sejak baru merangkak, masuk fase pacaran juga terbilang lama, kemarin pun masih bertemu, tapi mengapa sekarang aku malah jadi gugup bertemu dengannya begini? Terus tiba-tiba jadi khawatir, apa aku bisa melakukannya dengan baik? Ugh, Mama, rasanya aku mau muntah." Tidak hanya mulut, gestur Jimin pun turut mengadu deraan emosi yang tengah bergejolak dalam dirinya begitu gamblang.

"Jimin, tak apa. Itu wajar karena yang nanti Jimin hadapi bukan hal remeh. Pernikahan adalah suatu beban terbesar karena selain bertanggung jawab atas hidup seseorang bersama segala hak-haknya pada jangka tidak terprediksi, Jimin pun harus menjaga simpul kesakralan hubungan agar tidak lepas. Dan masih banyak lagi runtutan sampai satu buku tidak cukup mampu menampungnya." Selaras tatapan, Reiha lantas menangkup wajah kemudian mengusap pipi anaknya penuh afeksi. "Jadi, untuk tangggungan sebesar itu, wajar saja Jimin merasa demikian. Tidak hanya Jimin, tetapi semua orang yang pernah berada di posisi Jimin pun begitu."

"Apa Ayah juga termasuk?"

Salah satu dari dua proyeksi paling kentara di hadapan cermin setinggi satu orang itu pernah Yoongi alami situasinya. Ah, bahkan kesempatannya pun sudah menginjak di kali kedua. Sebagai orang paling berpengalaman, pria yang kini semakin berumur namun masih punya tampilan layaknya pemuda berusia kepala dua tersebut—barangkali sistem regenerasinya kepalang mujarab, makanya stagnan—tentu paham bagaimana sensasi setelan sakral yang kala ini melekat pada salah satu keturunan membaluti sekujur tubuhnya dulu.

Gerah, gelisa, kikuk, gemetar, skeptis, pesimis, mau muntah, mulas dan masih panjang lagi runtunnya bila dirincikan.

Perpaduan rasa tersebut begitu aneh, tetapi memang demikian adanya. Maka kurang lebih, itulah yang dirasakan Min Jimin sekarang. Bocah berpipi gempal hingga membikin kelucuan menjadi karakteristik mendarah daging dan harga mati itu telah tumbuh dengan teramat baik. Menjadi sosok yang cerdas, tampan, pekerja keras, murah hati dan senyum, serta tinggi—setidaknya Min Jimin lebih tinggi dari ayah dan pamannya.

Padahal seperti baru kemarin Yoongi menangkap Jimin dalam pelukan kemudian menjunjungnya tinggi-tinggi, seperti baru kemarin Yoongi mengantar sepasang kaki kecil Jimin berlarian ke Aurora, seperti baru kemarin Yoongi menemani Jimin memangkas gigi susu depannya di rumah sakit, seperti baru kemarin Yoongi mendengar Jimin merengek meminta ibu. Namun, sekarang Yoongi sudah disuruh menyaksikan Jimin mengikat seorang gadis untuk ia jadikan pendamping hidup, menjalani hari-hari sampai menjadi tua dan terbang ke nirwana.

Bibir tipis Yoongi serta-merta mematri lukis penuh kehangatan di bawah kendali gelegak suka cita yang berpadu padan dengan haru tiada tara. Gelenyar perasaan tersebut lantas mendulang celetukan dalam hati Yoongi.

Jadi, begini perasan ayah ketika menikahkannya?

Sungguh luar biasa sekali.

"Iya, Ayah juga. Bahkan lebih dari yang kau kira. Lagi pula, akan sangat aneh bila kau malah tenang-tenang saja. Biar hubungan atas dasar paksaan pun reaksi yang dihasilkan tetap tidak berbeda," sahut Yoongi tenang tanpa melucuti semili garis lengkung birainya. "Dan semua yang Mamamu katakan benar. Salah satu beban terberat dalam kehidupan adalah pernikahan. Sebab, sekali saja kau gagal menjaganya, maka itulah mula dari kehancuranmu."

Reiha tergopoh menyambung untaian Yoongi karena mungkin Jimin justru semakin ketar-ketir alih-alih lega, kendati maksud ayahnya itu jelaslah baik, "Tapi Jimin juga harus tahu. Di samping beban, penikahan pula anugerah terbesar dari Tuhan untuk makhluknya. Maka dari itu, Jimin tenang saja karena Mama yakin pasti bisa Jimin menghadapinya, bersama Lily, bersama anak-anak Jimin kelak." Sepasang lengah Reiha yang meremas lembut bahu Jimin bertransisi haluan merentang kemudian menarik senyum bertendensi hangat tak berkeujungan. "Mau peluk Mama?"

"Atau peluk Ayah?"

Potongan tawaran Yoongi lekas disisihkan begitu saja oleh Jimin yang kepalang menjatuhkan dagunya di perpotongan pundak Reiha. Di bawah mimik kentara baikan, Jimin bilang singkat, "Mama saja."

Yoongi mendengkus tipis. Agaknya lupa menambah bahwa ketimbang dengan Yoongi, Jimin paling suka manja dengan Reiha mengalahi Sora sebagai pelengkap idiosinkrasi sempurnanya.

Dalam kuasa usapan afeksi di punggung, Jimin tidak bisa tidak tersenyum lebar sambil menahan uap panas siap muntah di pelupuk manakala Mamanya berkata bila ia harus terus menjaga dan mencintai Lilian Kim atau ketika menyinggung betapa Jimin yang selalu bergelayut apabila minta dipeluk itu dewasa dengan begitu cepat. Reiha berterima kasih kepada Jimin karena sudah tumbuh sedemikian baik. "Mama?" panggil Jimin.

"Hm?"

"Terima kasih sudah menjadi Mamaku, terima kasih telah memberikanku adik yang cantik, terima kasih sudah menemani Ayah sampai setua ini. Terima kasih untuk banyak hal, dan terima kasih untuk semuanya."

Tidak hanya Reiha dan Jimin, momen bertebaran terima kasih itu turut diresapi Yoongi yang masih merekatkan bokongnya di sofa. Kehangatan berpendar kecupi ketiganya sampai ketika pintu terbuka menampakkan entitas jelita pelengkap keluarga kecil Min Yoongi.

Sora diimbangi raut ceria mendongengi Jimin pasal kesempurnaan sosok Lilian yang sebelumnya dia temui di ruang rias pihak mempelai perempuan. Hal tersebut tak ayal membikin Jimin mengulangi gestur tersenyum kemudian meringis seraya pegangi sisi kiri dada lantaran dicokoli ilustrasi Lilian kala di hari biasa saja sudah mampu membuat ritme jantungnya kejar-kejaran.

Di lain pihak, Yoongi akhirnya merampungkan duduk guna beringsut tempati posisi kosong di sisi Reiha yang matanya tak lepas dari interaksi Jimin dan Sora, bahkan saat Yoongi menempatkan bibir di telinganya, arkian berdesis rendah di sana, "Terima kasih sudah lewat lalu singgah di kehidupanku dan membesarkan anakku sampai melewati beberapa senti tinggiku."

Yoongi sudah asumsikan bahwa dia bakal didorong karena membuat Reiha terkejut. Namun, alih-alih terperanjat atas perlakuan Yoongi yang mendadak, ternyata wanitanya itu justru meralat ungkapan terima kasih Yoongi dengan ekspresi lebih hidup daripada seorang Reiha yang ia temui kala berumur dua puluhan, "Anak kita, Yoongi."

"Iy—uh, apa?" celetuk Yoongi impulsif manakala kecupan sekonyong-konyong mendarat sejemang di pipinya.

Masih dengan senyum serupa, Reiha lantas menukas, "Ucapan terima kasih untukmu karena telah membantu wujudkan mimpiku."[]

kejutan buat yang kangen paman dan si bukan keponakannya—kalau ada 😂ini beneran terakhir huehuehue, karena rasanya ga afdol kalau yoongi ga diliatin hidup bahagia sebegitu lama sampe nikahin min jimin :' btw inget lilian kan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


kejutan buat yang kangen paman dan si bukan keponakannya—kalau ada 😂
ini beneran terakhir huehuehue, karena rasanya ga afdol kalau yoongi ga diliatin hidup bahagia sebegitu lama sampe nikahin min jimin :' btw inget lilian kan?

maaf buat kesoktauannya, dan makasih udah mampir. Bai bai 😘

masih Rabu di tengah pandemi, 15 April 2020.

sérendipitéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang