[30]

1K 223 38
                                    

Akhir pekan di kehidupan Min Yoongi dan anaknya Min Jimin secara rutin biasanya punya beberapa opsi.

Satu, di rumah. Entah itu bermain, membhuay kue, bahkan hanya tiduran. Dua, keluar. Dalam konteks ini biasanya jalan-jalan, pergi ke taman bermain atau kebun binatang, mampir ke kedai es krim, dan sejenisnya. Lalu, terakhir, tiga, mengunjungi kediaman utama; Park maupun Min. Entah berdasarkan tuntutan orang tua ataupun Jimin.

Dan akhir pekan kali ini, semestinya dikuasai oleh opsi terakhir yang berjalan lumayan singkat. Sebab, berkunjungnya mereka hanya berupa ajang bagi Yoongi embuskan berita tersirat pada ibunya, bahwa Reiha tak akan bisa lagi diusik. Pencapaian terhadap Reiha sudah kandas, dan tak ada lagi alasan bagi Nyonya Min, bahkan Nyonya Park untuk terus menyudutkan dia kepada Yoongi, begitupun sebaliknya.

Kendati tampang ibunya kalem-kalem saja tatkala mendengar penyampaian pesan tersebut bersama intonasi kemenangan, Yoongi harap beliau mengerti, berbaik hati dan cukup tahu diri; tidak merecoki kebahagiaan seorang gadis yang mesti hidup bebas tanpa dikontrol siapa pun, termasuk orang asing. Apalagi Yoongi telah janjikan, suatu saat dia akan meluncuti semua masa lalunya dan melangkah maju.

Dengan sendiri, tanpa interupsi.

Lantaran opsi ketiga sudah tak lagi eksis, opsi kedua lantas mengemban tugas sebagai sarana lanjutan penghabis waktu akhir pekan. Mumpung matahari masih punya beberapa jam lagi untuk lengser dari singgasana yang artinya Min Jimin mesti lekas menjemput tidur. Yoongi memboyong Jimin pergi ke pusat perbelanjaan guna membeli daftar barang yang telah ia catat secara digital di ponsel, dan dengan iming-iming menggiurkan semacam bermain sepuasnya di area permainan.

Padahal orisinilnya, Yoongi hanya butuh rileksasi.

Sebelum berlanjut ke bonus utama, yakni pusat permainan, Yoongi mengikuti permintaan Jimin yang mendadak tercetus di tengah perjalanan terlebih dahulu. "Ayah, Jimin mau es krim pisang Paman Seokjung!" Begitu Jimin berseru, bersama spesifikasi informasi gerai mana yang ia inginkan. Dan jangan heran jika Jimin begitu khatam nama pemiliknya, karena Jimin merupakan pelanggan tetap di sana. Rasa pisang ialah varian andalan Jimin.

Pesanan sudah dilayangkan, dan duo Min itu hanya tinggal menunggu beberapa saat. Jika gaya tunggu Yoongi adalah mengecek ponsel sesekali kemudian menatapi proses pembuatan pesanan, maka Jimin yang terlingkup tangan bantetnya di genggaman Yoongi ialah mengedarkan atensi. Mulanya sama seperti Yoongi, menyaksikan olahan favorit, sejemang kemudian bertransisi menyerapi keramaian.

Namun, ketenangan mata sempit genetika Yoongi tidak bertahan lama. Sekonyong-konyong melebar akibat menyaring salah satu presensi yang begitu akrab buatnya di antara kerumunan makhluk sosial. Dengan impulsif, Jimin pun menghentak-hentak tangan Yoongi. "Ayah! Ayah!"

"Iya, Jimin. Sebentar lagi es krim Jimin selesai," kata Yoongi tanpa beri Jimin atensi, karena mesti mengambil radas pembayaran pengganti uang asli. Ia lupa, jika ponsel di genggaman dapat melaksanakan hal serupa.

"Bukan itu maksud Jimin, Ayah!" Gelengan kuat mengakibatkan rambut licin Jimin pontang-panting. "Ayah, lihat Jimin dulu!"

Menuntaskan transaksi, barulah Yoongi mengindahkan hentakan Jimin yang enggan berkesudahan. "Apa? Maksud Jimin apa? Jimin mau Ayah apa?" tanya Yoongi beruntun, sambil menyerahkan es krim yang nampak sangat menarik. Akan tetapi, bukan menerima sembari pampangkan air muka bahagia tiada tara, Min Jimin malah gunakan telunjuk tembamnya ke satu titik sembari pasang wajah tidak sabaran.

"Itu ...." Selagi Jimin selesaikan ucapan, Yoongi turuti jalur penghujung telunjuk anaknya tersebut. "Itu, itu Rei-ssaem, 'kan, Ayah?"

Perlu waktu bagi Yoongi menyinkronkan antara perkataan Jimin dan presensi di balik etalase sebuah restoran yang kini ia pandangi agar dapat melahirkan suatu kepastian. Dan rupanya, hasilnya terbukti valid.

Ya, gadis itu benar-benar Reiha. Park Reiha.

Bukannya Yoongi tidak tahu, bahwa Reiha memiliki jadwal bertemu kali kedua dengan Kim Jihoon. Reiha sudah kasih kabar padanya, tetapi siapa sangka mereka bakal berjumpa di satu area. Yoongi menyeret maniknya tepat ke Jimin lalu bilang, "Ya, Jimin benar. Itu Reiha-ssaem."

Tak ayal, binaran lantas terpancar, tidak hanya di mata, wajah Jimin pun terlihat berseri-seri. "Ayo kita susul Rei-ssaem, Ayah!"

"Tidak boleh." Keimpulsifan Yoongi dalam menangkis usulan mengakibatkan kegirangan Jimin turut luruh.

Dengan bibir mengerucut, Jimin meminta jawaban, "Kenapa?"

Yoongi kontan terenyuh hatinya menangkap profil Jimin yang sedemikian kecewanya. Kendati begitu, ia sama sekali tidak diperkenankan goyah. Jika Yoongi persilakan ketidaktegaan itu berhasil menyentuh hati, maka selamat tinggal rencana ideal dan ketenangan dalam jalani hidup. Menarik Jimin menjauh dari bar tunggu lantaran protes pengunjung di belakang mereka telah senyap-senyap menusuk, Yoongi lantas merunduk sambil merangkul bocah kesayangannya. "Jimin tidak lihat Reiha-ssaem-nya sedang bersama seseorang?" ucap Yoongi, pelan-pelan mengarahkan Jimin kepada presensi selain Reiha. Melihat mulut Jimin membulat dan matanya berkedip lambat, Yoongi kembali menukas, "Jadi, biarkan saja Reiha-ssaem menikmati waktunya tanpa ada Jimin dan Ayah. Lagi pula, besok juga Jimin pasti bertemu lagi dengan Reiha-ssaem. Iya, 'kan?"

Segera disambung anggukan dari Jimin. "Iya."

"Anak pintar," puji Yoongi seraya mengusak afeksi puncak kepala Jimin. Melihat cengenges Jimin kembali hadir, spontan memecut Yoongi tersenyum lembut. "Sekarang, Jimin siap perang bola dengan Ayah?"

"Siap!" seru Jimin yang tidak lupa memantul-mantul sebagai selebrasi. Hanya sejemang, sebab di sekon lanjut, Jimin menyela, "Ah, tapi sebentar, Ayah."

Kali ini apa lagi?

Kira-kira kalimat itulah melintasi serebrum pria Min.

"Sebelum ke sana, ayo kita buat harapan," ajak bocah Min.

"Harapan?" Satu alis Yoongi menukik. "Harapan apa?"

Cengiran Jimin semerta-merta memampangkan potret dua gigi depannya yang sudah tumbuh. Tertangkap ceria, dan Yoongi mungkin bakal mengurung Jimin di pelukan lantaran gemas andai saja keturunan Min itu tidak berkata, "Harapan semoga Paman itu tidak mengambil Rei-ssaem dari Ayah dan Jimin."[]

Loh kok apdet bukannya sabtu malem? Ganti ya?

Wkwk, sabtu malem nanti tetep jadi jadwal update kok. Nah kalau ada updatean selain dari hari itu, anggap aja daku sedang berhati jelita 😚

btw, wew udah 30 neh :"

sérendipitéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang