[07]

1.9K 337 22
                                    

Bukan CV selayaknya penarawar Park Reiha, melainkan waktu yang panjang guna menimbang, akhirnya Min Yoongi setuju atas kerja sama sukarela yang gadis esentrik itu usung. Kendati begitu, masih Yoongi masih tidak menyimpan percayaan pada Reiha. Tentu saja, siapa yang bisa serta merta menyerahkan anaknya kepada orang asing apalagi nampak aneh pembawaannya semacam Park Reiha guna diasuh. Namun, mendapati Jimin masih meloncat-loncat dengan riangnya sampai di kali kelima ia dititipkan, baru Yoongi memutuskan guna percaya. Lagi pula, Jimin terlihat nyaman di dekat Reiha, bahkan interaksi mereka sudah terasa kental di waktu yang singkat.

Jika dicermati kembali, Min Jimin dan Park Reiha itu memiliki beberapa kepribadian yang sama; ceria, sering tersenyum, mudah berinteraksi, dan tidak pecanggung. Asik menyamakan dua karakter antar individu, lantas suatu pemikiran mampir di kognisi Yoongi yang baru saja membuka pintu rumah.

"Hebat sekali, Min Yoongi," sarkasnya seraya menggeleng kuat, mengenyahkan pikiran absurdnya, pasal Park Reiha yang sekilas mirip seseorang. Ingin rasanya Yoongi menghadap kaca kemudian terbahak-bahak menunjuki dirinya. Pasti kelelahan bikin ia menjadi ngawur—ya, itu adalah dalih terbaik. Yoongi menaruh sepatu di rak khusus lalu menyalin kaki-kakinya dengan alas yang tersedia. "Jimin, Ayah pulang!"

Tidak tunggu lama, seorang bocah gembil berlarian sambil mengangkat tangan ke arahnya. "Ayah, selamat datang!" Jimin meraih sebelah tangan Yoongi kemudian menariknya tergesah. "Ayo ikut Jimin, Ayah!"

Yoongi mengernyit heran, tetapi langkahnya mengikuti arahan Jimin, dan sampailah mereka di dapur yang merangkap ruang makan. Omong-omong, Yoongi sudah tidak tinggal lagi di rumahnya yang luar biasa membikin orang menganga. Karena kini, ia lebih menjatuhkan keputusannya untuk berdiam di rumah lebih kecil bertingkat dua yang ada di suatu kompleks. Yoongi hanya hidup bersama Jimin—tapi terkadang ada pelayan yang sengaja dikirim oleh orang tuanya.

"Oh, selamat datang, Paman," sambut Reiha melirik Yoongi sekilas dan lekas kembali ke tatanan di atas meja makan.

Kernyitan Yoongi tidak habis masa lagi. Ini pemandangan baru sejak ia mengizinkan Reiha berkeliaran di rumahnya. Bukan, Yoongi tahu Reiha lihai memasak terbukti dari bekal yang ia terima kala itu, tetapi mengapa di dapurnya?

"Ssaem, Ssaem! Jimin bisa bantu apa?" Jimin berjingkat membuntuti Reiha seperti anak ayam yang enggan kehilangan induk.

Reiha berbalik ke meja dengan menenteng dua piring. Gadis itu menutup mata sambil menggeleng tegas. "Tidak dengar, Jimin. Tidak dengar."

"Ssaem, Jimin mau membantu!"

"Tidak dengar, Jimin."

"Rei-ssaem!"

"Tidak dengar."

"Bibi Rei!"

Mata Reiha membeliak kaget lalu melempar atensi kepada Yoongi yang masih berdiri di tempat. "Apa aku terlihat setua itu, Paman?" tanya Reiha dengan telunjuk mengarah ke wajahnya.

"Berapa usiamu?"

"Dua puluh lima. Apa aku sudah terkesan setua Paman?"

Sontak Yoongi berdecak geli. "Tidak. Kau hanya terkena karma." Yoongi berderap, menjangkau salah satu kursi untuk ia singgahi. Jujur, ia baru tahu umur gadis itu. Tidak terpaut begitu jauh darinya, dan Yoongi malah dipanggili Paman. Secocok itukah? Padahal wajah Yoongi masih nampak seumuran dengannya.

Reiha mengedik pasrah, sedangkan Jimin tertawa padahal sama sekali tidak paham. "Maaf menggunakan dapurmu, Paman. Dan jika boleh, aku juga meminta izin untuk terus memakainya selama menunggu Paman pulang. Sebab, rasanya akan lebih efisien ketimbang memesan atau Paman memasak sendiri dengan keadaan lelah." Reiha yang tuntas dengan celemek yang ia gantung lekas menunduk. "Kalau begitu, aku permisi dulu."

"Park Reiha," panggilan Yoongi menahan langkah Reiha yang sekonyong-konyong meneleng kepalanya. Yoongi tersenyum tipis. "Sebelum itu, duduk dan isilah perutmu terlebih dahulu. Bus dan kaki bukan alasan, aku akan mengantarmu."[]

sérendipitéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang