“Paman, aku masih ingin protes!”
Yoongi memicing pada sosok di sebelahnya. “Tidak bosan?”
“Tidak akan, karena istirahat itu elemen terpenting supaya peroleh hidup yang lebih sehat. Apalagi Paman baru pulang kerja. Seharusnya manfaatkan, bukan malah mengajakku ke sini. Jimin juga!” Kepala Reiha jatuh persis ke presensi seonggok bocah dalam genggaman yang tadinya berlarian menatapi hiruk-pikuk sekitar. Sedangkan Min kecil lantas mengongak setelah mendengar namanya tercetus. “Jangan ikut-ikutan mendukung Ayah. Terkhusus yang ini, Jimin mestinya berada di pihak Ssaem. Kalian butuh istirahat, tahu!”
Ayah dan anak tersebut kompak menarik sudut bibir—takaran Yoongi kelewat tipis ketimbang Jimin—atas celoteh Reiha yang masih mengusung gagasan sama sedari bokong-bokong mereka menempel di kursi mobil sampai keenam kaki mereka menapaki lantai pusat perbelanjaan.
Yoongi tuntas kegiatan menggelung lengan kemeja biru yang sangat sinkron berpadu dengan warna kulitnya, lalu menandas, “Sekarang masih terbilang sore, Rei. Jadi, bukan masalah besar.” Tapi harap-harap urusan ini cepat selesai, sambung Yoongi tanpa desibel. Bagaimanapun ini Min Yoongi, yang terkadang merasakan kemalasan di satu waktu secara mendadak.
“Oke. Kuakui,” balas Reiha usai dibesitkan ingatan bahwasanya langit baru akan berganti menjadi biru tua, dan sekilas mencuri pandang dua jarum pada benda di pergelangan tangan Jimin, tanda ucapan Yoongi memang masuk akal dan betulan valid. “Lantas, apa yang ingin Paman dan Jimin lakukan di sini? Sebentar, kalau berbelanja keperluan sehari-hari, sudah kutuntaskan, loh. Kulkas Paman bahkan nyaris melahirkan.”
Mulut Yoongi sedikit terbuka. Hendak membalas tapi terpotong, dan ternyata dia mesti menelan kembali alasan utama terseretnya langkah kaki mereka di sini. “Benarkah?” Nada lurusnya tersaring skeptis.
“Iya!” Reiha sigap mengangguk. Manik di rongga bulatnya ia runduki. “Jimin tidak beritahu Ayah?”
Surai Jimin terlempar ke sana kemari akibat gelengan. “Tidak sempat beritahu.”
“Benar juga,” celetuk Reiha seraya menghadiahkan usapan singkat di kepala Jimin. Nampak, bocah Min menikmati curahan adiksi itu. “Karena tidak ada alasan lain, mari kembali. Aku belum sempat memasakkan kalian makan malam.”
“Lupakan sejenak pulang dan memasak. Ada satu restoran di sekitar area ini yang sering aku dan Jimin kunjungi sebelum masakanmu hadir di meja makan kami. Mau mencoba?” Yoongi menawar enteng. Akan tetapi, sungguh ia tidak bermaksud cari alasan, apalagi kesempatan. Sama sekali tidak, terbesit pun nihil. Yoongi mengajak Jimin sekalian Reiha ke pusat perbelanjaan, karena memang murni hendak mengisi lemari pendingin yang mulai kehilangan penghuni, dan terlebih agar Reiha bisa segera tuntaskan bila Jimin tiba-tiba meminta sesuatu guna memuaskan hasrat lambung tanpa mesti ketar-ketir lantaran kekurangan bahan olahan.
Seraya menggoyangkan tangan, Jimin membujuk bersama seruan, “Ayo saja, Ssaem! Makanan di sana enak, kesukaan Jimin! Eh, tapi masakan Ssaem juga kesukaan Jimin, kok.”
Pangkal hidung Reiha berkedut. "Tapi Jimin, 'kan, harus makan makanan yang sehat."
"Dengar-dengar mereka membuka menu baru berbahan dasar es krim—"
"Apa?!" sahut Jimin dan Reiha berbarengan. Keduanya yang tengah memasang air muka serba membola—antara terkejut dan terbakar gelora memuja—saling lempar pandang. Mereka mengangguk lalu lagi-lagi mencetus bersama, "Ayo pergi!"
Garis senyum tipis Yoongi serta-merta tersemat. Padahal targetnya Park Reiha yang bakal menolak, tetapi Min Jimin turut terpancing. Tidak heran, sebenarnya, karena Yoongi pun terlampau khatam senjata termujarab yang satu itu. Dasar maniak es krim, ledek Yoongi dalam senyap.
Menggantungkan tangan di saku celana, Yoongi melaju perlahan, membiarkan Jimin dan diiringi Reiha memimpin jalan sambil bergandengan. Tiba-tiba langkah Yoongi mesti tertunda lantaran atensinya termonopoli oleh maneken berpakaian manis untuk menyambut musim gugur di balik etalase sisi kiri jalan. Jejeran maneken berbeda busana memancing otak Yoongi supaya mengingat-ingat.
"Reiha!"
Kali ini, Yoongi mencegat jalan Reiha dan Jimin, sehingga membikin gadis itu terpaksa menoleh.
"Iya, Paman. Kata Jimin restorannya ada di arah kanan setelah pintu keluar."
"Bukan. Berhenti sebentar. Jimin." Yoongi sedikit menekan suara akibat tanpa sadar berdecak di awal—cerocos Reiha, ditambah Jimin yang melompat supaya Reiha batal berhenti. Tangan yang melambai agar kedua makhluk maniak es krim itu mendekat ternyata seperti sihir. Reiha dan Jimin segera memangkas jarak. Memakukan atensi ke Reiha, Yoongi bertanya, "Sudah menentukan pakaian untuk pesta ulang tahun Dino?"
"Salah satu dari baju yang biasanya kupakai bekerja. Tentu saja."
Mantapnya anggukan dan tanggapan cepat Reiha tidak melulu meyakinkan, contohnya sekarang. Bukannya Yoongi hendak merendahkan, tetapi tahulah acara semacam itu di kalangan aristokrat, semua jadi ajang pamer, dan Yoongi tidak ingin Reiha menjadi salah satu korban dari pandangan sebelah mata. Gadis berhati murni itu haruslah mendapatkan yang baik pula, kendati Yoongi yakin Reiha tidak pedulian terhadap anggapan orang—apabila bukan Reiha, ia pun bakal demikian apatis; asalkan targetnya hanya dia sendiri.
"Tunda ke restoran, dan ikuti aku."
Melesak di tengah-tengah Reiha dan Jimin, melepas tautan mereka dengan tangannya sendiri sebagai ganti, arkian menarik keduanya masuk ke butik tempat maneken yang sempat ia cermati. Mulanya Yoongi mendengar beberapa untaian protes. Namun, lambat-laun menjadi surut sebab mereka pun termakan tetek-bengek isi butik yang menarik minat.
Proses pencarian setelan yang cocok buat Reiha, Yoongi serahkan seluruhnya di tangan manajer yang secara kebetulan muncul tatkala memasuki butik. Ditemankan Jimin, Yoongi duduk anteng sambil menilik dan sedikit berkomentar pasal tingkat kecocokan pakaian tersebut saat sudah melekat di tubuh Reiha yang berulang kali keluar-masuk kamar ganti.
"Ini yang terakhir, Paman." Kuncir Reiha sudah tanggal, yang tersisa hanya rambut panjang terselampir satu arah dengan poni tipis menutupi dahi. Ia memutar kanan-kiri. "Bagaimana?"
Yoongi mendadak bisu. Bukan karena gaun tanpa lengan hitam jatuh sampai ke kaki dan belahan hingga lutut di satu sisi itu tidak bagus. Itu, luar biasa menarik. Hanya saja, Yoongi baru sadar; apakah sedari awal Park Reiha memang semengaggumkan ini?[]
Cinta kadang lahir dari bulir kekaguman lho, paman. Masa udah pengalaman dan bahkan punya satu produk masih ngga peqah?
KAMU SEDANG MEMBACA
sérendipité
Fanfiction[COMPLETED] [Side story of Marriage Contract With Jung Hoseok] Tanpa Min Yoongi minta, takdir menawarkan gadis muda bernama Park Reiha untuk menjadi penyangga dalam kehidupannya yang timpang. Start: 15 Januari 2019 Finish: 07 Desember 2019 ©suyomini...