[23]

1.1K 236 57
                                    

Manusia di rumah ini sudah dapat di hitung dengan jemari di satu tangan, karena sisanya telah melancong kembali dengan membawa keriuhan vokalnya-entah kicauan, kekehan, teriakan, cekakak, dan sejenisnya-ke kediaman atau jadwalnya masing-masing. Jadi, kini hanya tinggal resonasi bantal yang diadu guna membuangi partikel-partikel penimbul penyakit oleh Reiha.

Rumah itu barangkali kepalang terlalap malam, yang sejatinya memang pukul ideal istirahat. Akan tetapi, larut dalam buaian tidur di kamar bernuansa kuning pucat yang pintunya sudah tertutup rapat itu hanyalah si kecil Jimin. Sementara pemilik utamanya tengah duduk menekur di pinggir sofa. Bukan Yoongi terlalu tega membiarkan Reiha mengemas pernak-pernik rumahnya sendirian tanpa campur tangannya, hanya percekcokan dalam diri menelan Yoongi bulat-bulat, sehingga secara otomatis ia mengapatiskan segala keadaan, kendati berkala satu senti di depan hidungnya.

Ini ulah Kim Namjoon, yang menampar kemudian mementalkannya kelewat jauh dengan susunan leksikal menyeruak di bilah bibir. Pasal alasan. Alasan mengapa dia tak ingin mengikat Reiha dengan suatu komitmen sakral. Yoongi tidak lekas menjawab, terlebih dahulu merangkai kata sebab tatkala Namjoon bertanya demikian, ia pun baru tersadar tidak ada alasan yang benar-benar spesifik untuknya menolak Reiha. Namun, tanpa tunggu selesaikan proses pengumpulan, rupanya Namjoon lansung melancarkan serangannya sampai tepat di ulu Yoongi.

"Jika soal cinta, kau dan Jihyun-noona pun tidak didasari oleh cinta, tapi mampu membuatmu sukar pindah hati sampai sekarang. Jika soal perbandingan umur, Hyung sendiri tahu, banyak pasangan yang perbedaan bahkan lebih jauh dari kalian. Lalu, jika soal kelayakannya menjadi seorang ibu, astaga, tanpa lihat dari sudut pandang anak kecil pun dia sudah sangat-sangat layak! Apalagi kalau sudah dari kacamatanya Jimin sendiri. Barangkali dalam waktu dekat, dia bakal minta langsung. Hyung tunggu saja."

Yang kemudian tidak lagi berlanjut lantaran Lilian datang bersama beraneka pertanyaan terhadap buku bacaannya usai merangsek duduk di pangkuan Namjoon. Di lain sisi, Hoseok yang sempat nimbrung mengoloki Yoongi lekas melesat menenangkan Jungkook yang tiba-tiba menangis. Seokjin sedari awal pamit karena panggilan genting dari Rumah Sakit, sementara Jimin dan Taehyung masih berkelana di alam bawah sadar.

Maka tinggallah Yoongi yang lantas memijit pelipis. Kepeningan mendera dengan takaran sama kala ia dihadapi situasi serupa bersama kedua ibunya. Atau semua orang-orang itu memang berkonspirasi? Kompak sekali menjodohkan Yoongi tanpa mengindahkan keputusannya, perasaannya, kepalanya-yang sungguh kasihan sekali, kalau mau tahu.

"Paman, aku pamit pulang dulu, ya!"

Entitas inti berdenyutnya kepala Yoongi memporak-poranda kemelut pada lamunan, menyadarkannya supaya kembali hinggap ke realitas. Tas kecil terselampir, rambut semula digerai kini diikat tinggi, iras berhias lengkung simpul. Ternyata gadis itu sudah siap. Apa yang ia kerjakan pun turut tuntas.

"Rei."

"Ya, Paman? Ada yang perlu kubenahi lagi?"

"Kau ingin menikah?"

Lurus dan ringan, tercetus begitu saja. Sampai di detik mata Reiha mengernyit dibarengi suara hah yang nampak tergencet di tenggorokan, Yoongi berkedip-kedip seraya mencerna apa yang barusan keluar dari mulutnya. Sebenarnya ia sudah sadar, hanya ekspresivitasnya saja yang terhambat. Jadi, manakala semua telah terkendali, Yoongi berdecak sembari menekan pejamannya kuat-kuat.

Positif.

Dia terdoktrin.

Dia sudah gila.

"Tidak, lupakan," ucap Yoongi, mengibaskan tangan lalu mengusap wajah porselen yang mulai timbul jejak merah muda. Entah akibat putus asa atau malu, atau bisa jadi keduanya. Memperhatikan Reiha yang nampak biasa dan menurut saja, Yoongi beranjak. "Ayo kuantar pulang."

Reiha memasang kembali tas yang tadi ia luncuti. "Bagaimana dengan Jimin?"

"Ah." Lagi-lagi, Yoongi berdecak. Kognisinya benar-benar sedang tidak prima, semrawut.

"Tidak usah, Paman. Khawatirnya nanti Jimin tiba-tiba terbangun, dan lantas ketakutan karena tahu tidak ada siapa pun di rumah. Aku tidak ragu kalau Jimin itu pemberani. Tapi, ya, namanya juga anak kecil," papar Reiha, bahunya mengedik. Ia menyambar syal rajut yang tergantung, arkian melilitkannya di leher. "Lagi pula, jam sekarang masih terlalu dini untuk kendaraan umum istirahat dari aktivitasnya."

Yoongi mengikuti arah jalan Reiha. "Maaf, dan berhati-hatilah."

"Hm. Setelah ini, segeralah beristirahat, Paman." Berhasil menggapai pintu, Reiha berbalik lalu membungkuk kecil. "Terima kasih atas undangan untuk acara semenyenangkan ini." Reiha berdiri tegak kemudian pamerkan cengiran berkilau yang sanggup membius Yoongi, kendati hanya sekian mili detik. "Sampai jumpa, Paman Yoongi."[]

sérendipitéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang