Barangkali sebelumnya Yoongi pasti ketar-ketir akibat Jimin dan Reiha tidak tersensor keberadaan di mata sekaligus rungu; padahal sudah tanya sana-sini ke Aurora dan manusia-manusia yang mengenal mereka, menilik rumah dari sudut ke sudut, serta sampahi kotak pesan juga panggilan telepon di nomor Reiha; dalam artian benar-benar lenyap. Namun, setelah tahu tahu siapa dalangnya, Yoongi lantas taruh peringatan besar-besar di kepala kemudian khatamkan ke mana ia mesti menuju, andaikan kejadian tersebut terulang.
Ke mana lagi, jika bukan rumah utamanya? Dan ulah siapa lagi, kalau bukan Nyonya Min, ibunya?
Dengan langkah cepat disertai gurat-gurat kejengkelan yang menjalar secara integral, Yoongi membelah tiga-empat pelayan guna mencapai pintu yang tampak berusaha mereka halangi. Beragam visualisasi menyerbu, manakala pintu itu terbuka. Tentu, di antaranya adalah tiga subjek yang Yoongi maksud, begitu persis dengan pengawangan di kepala. Jimin dan naik-turun pipi gembulnya, Nyonya Min dan segelas wine di tangan sambil terkekeh kecil, serta Reiha dan—menurut perspektif Yoongi—ketidakberdayaannya.
Akibat aksi mendadak Yoongi, ketiganya meninggalkan kegiatan dan menoleh sempurna padan Yoongi sebagai ganti. Jimin bahkan mesti menelan paksa sisa-sisa makanan yang belum terkunyah secara benar hanya demi cetuskan seruan ceria teruntuk Yoongi, “Ayah!” Pada dasarnya, Jimin memang tidak tahu-menahu pasal ayahnya yang sejatinya kelimpungan mencari mereka. Alih-alih balas sambil beri usakan adiktif, Yoongi justru segera mendekat lalu mengangkat Jimin dalam gendongan, sementara sebelah tangan bebasnya ia genggamkan pada Reiha.
“Ayo,” desis Yoongi singkat, tetapi mengandung kemutlakan.
“Tapi, Ayah, makanan Jimin belum habis. Dan sekarang Jimin mau minum!”
Atensi tajam Yoongi memicing ke sumber rengekan itu berasal. Bibir turun, wajah merah, dan segalanya sarat akan keinginan yang harus dipenuhi. “Nanti Ayah masakan Jimin makanan lain di rumah, dan di mobil ada banyak susu pisang kesukaan Jimin.” Baiklah, Yoongi tak boleh bicara lebih dari itu, atau ia sendiri yang bakal kerepotan. Bahaya sekali bila ketajaman mulutnya melukai Jimin. Selain tangisan Jimin yang sukar dihentikan, Yoongi pun mesti menghadapi sikap dingin Jimin yang mampu bertahan selama berhari-hari apabila rayuan Yoongi tidak cukup mengenai perhatian Jimin. Tak apa jika sekadar emosi semacam demikian, tetapi bagaimana kalau justru meninggalkan luka jiwa Jimin?
Astaga, sungguh, itulah mimpi buruk. Cukup Yoongi saja yang bolak-balik seperti alat pengrapi pakaian menemui Seokjin. Min Jimin-nya jangan sampai.
“Min Yoongi,” panggil Nyonya Min. Memang tidak semerta-merta membuat Yoongi menoleh, tetapi cukup membikin Yoongi mempersilakan kalimat lanjut mengetuki rungunya. “Lain kali, bertanggungjawablah pada makanan di atas meja ini.”[]
hai, ketemu lagi sama orang yang lagi-lagi bikin kaliyan nunggu, tapi tetep ngasih asupan lebih seemprit dari kemaren. Maap, kemalasan dan kekacauan sedang menggandrungiku soalnya 😄 /halah
btw, ada yang mau temenan di twt kaga niih? Aq ngedrop sesuatu disana hehe :v
KAMU SEDANG MEMBACA
sérendipité
Fanfiction[COMPLETED] [Side story of Marriage Contract With Jung Hoseok] Tanpa Min Yoongi minta, takdir menawarkan gadis muda bernama Park Reiha untuk menjadi penyangga dalam kehidupannya yang timpang. Start: 15 Januari 2019 Finish: 07 Desember 2019 ©suyomini...