Jimin sedang makan, Reiha menyuapi, dan Yoongi yang menatap keduanya lekat dari sofa di sudut ruang inap.
Kemelut kemarin dan tadi malam sudah berakhir tatkala kelopak si kecil Jimin menyibak tunjukan keindahan irisnya persis saat kemilau oranye di ufuk Timur merangkak naik, menembus celah ventilasi maupun gorden berwarna krim yang belum tersentuh. Kegaduhan mendadak tercipta oleh Yoongi dan Reiha yang baru terjaga dari tidur kelewat singkat—sekadar mengusir letih usai menuntaskan sisi meluapkan emosi melalui untaian menyoal kronologi terbaringnya Min Jimin di salah satu ranjang Rumah Sakit.
Yoongi mesti ekstra memasang otak serta telinga, karena penuturan Reiha yang tersedu-sedu itu agak pelik dicerna. Gadis itu betulan merasa bahwa di sini dialah yang paling salah. Andai dia tahu kalau makanan pesanan Jimin mengandung kaldu udang, atau setidaknya mencicipi terlebih dahulu sebelum Jimin menyuap begitu lahap, atau yang paling mendasar, dia paham bahan olahan apa saja di balik menu itu. Maka, Min Jimin tidak akan mengalami kesakitan hingga nyaris merenggut nyawanya.
Reiha bukan tidak tahu Jimin dilarang mengonsumsi udang lantaran alerginya. Dia sudah paling paham. Makan hewan itu sama saja dengan bunuh diri. Beruntung Jimin dapat segera diselamatkan, kendati harus menerima kesakitan teramat sangat sampai Reiha pun rasanya mau hilang saja dari dunia ketika menyaksikan Jimin terbatuk, sesak napas dan mengejang-ngejang. Yoongi hanya sanggup melakukan aksi seadanya kala gejolak emosi Reiha kembali menanjak. Semacam mengusap dan menepuk lembut punggung serta sisi lengan, pun menyodorkan tisu sesekali.
"Tak apa, Rei. Tenanglah. Setidaknya kita tahu, Jimin akan baik-baik saja. Jagoan kecil itu sudah lewati masa kritisnya dengan baik. Sebentar lagi dia bangun, dan akan bertingkah seperti biasanya. Kita tunggu saja."
Berkata demikian bukan berarti Yoongi sekuat itu. Sejatinya, tidak. Sebab, ya, dia sedang menguatkan, kepada Reiha ataupun dia sendiri. Lagi pula, jika ditarik benang merahnya, sungguh tidak ada satu pun yang patut disalahkan. Jimin? Oh, pemuda kecil itu hanya memilih lantaran tertuntut oleh perut yang keroncongan minta cepat-cepat diisi. Sedangkan Reiha, gadis itu hanya memenuhi permintaan Jimin yang tidak mungkin dia tolak. Tentu, dari sisi mana pun melarang orang makan adalah pelanggaran. Apalagi bagi makhluk yang hendak tumbuh semacam Jimin. Dan tolong jangan bilang restoran, mereka tidak tahu menahu soal ini. Kewenangan mereka melayani menyediakan makanan yang dipesan. Tidak lebih.
Alih-alih mengadopsi ucapan menenangkan Yoongi, Reiha malah membalas dengan suara tercekat serta napas terputus-putus, "Bagaimana kalau Jimin tidak baik-baik saja? Bagaimana kalau Jimin bernasib sama dengan gadis cilik di bangsal sebelah Jimin yang tak kunjung membuka matanya setelah memakan cokelat?" Reiha merotasi mata penuh genangan, memejam, menunduk dalam, kemudiam berbisik sengau, "Park Reiha bodoh. Ke alam bakalah, bila itu terjadi."
Atas hal tersebut, jadilah Yoongi kerahkan beragam upaya untuk tanamkan keyakinan supaya dinamika dalam kepala, hati dan jiwa Reiha meredam. Memang menyita banyak perpotongan waktu, tetapi akhirnya Reiha berhasil tenang. Air matanya berhenti, menyisakan bekas-bekas aliran di sekitar wajahnya yang nampak lengket kendati isak kecil masih tersisa. Barang kali kelelahan teramat telah bertandang di daksanya.
Lantas Yoongi menginstruksikan agar Reiha beristirahat di sofa—pulang bukan opsi terbaik, karena gadis itu bakal mereaksikan dua kemungkinan; menolak mentah-mentah atau mengacuhkan ajakan Yoongi sepenuhnya. Bahkan tatkala Yoongi menyuruh istirahat pun, Reiha hendak menolak. Tapi lagi-lagi, Reiha menurut, dan berakhirlah ia terbarik meringkuk menghadap ke arah Jimin. Seiring kelopak yang lambat laun mengatup, Yoongi bungkus tubuh gadis itu dengan selimut yang ia ambil dari lemari. Lalu, menempatkan dirinya di sofa ujung kaki Reiha.
Astaga. Min Yoongi lelah, sangat. Namun, secara ajaib pertikaian di dirinya menguap puas, terwakilkan oleh Reiha yang menutup gerbang sumber kekalutan melebihi Yoongi yang menguar. Hanya tinggal masalah Jimin. Keyakinan Yoongi melambung tinggi, pemuda kecilnya itu akan terjaga dalam waktu dekat. Karena tidak ada alasan bagi siapa pun dan apa pun untuk merebut Jimin dari sisi. Bayaran adanya Jimin di dunia sangat mahal, maka Yoongi tidak akan mudah merelakan. Bukan ingkar terhadap konsep antar hidup dan mati yang begitu kental. Akan tetapi, setidaknya jangan sekarang.
"Maafkan Ssaem, ya. Jimin jadi tidak bisa pergi ke acara Dino."
Vokal Reiha menarik Yoongi sadar dari pengawangan. Napas payah lantas terembus. Gadis Park itu masih saja menyalahkan diri sendiri, padahal ia sudah wanti-wanti. Dan lihat betapa Jimin turut menyangkal, jika bukan salahnya ia begini.
"Reiha?" Yoongi memanggil.
"Ya?" Sisa-sisa serak masih kentara di sahutan Reiha.
"Siapa saja yang kau hubungi tentang keadaan Jimin?"
Sekonyong-konyong Reiha tercenung dengan mata membeliak, dan kemudian menaruh kepalan tangan di dahi. Seakan sadar ada kesalahan lain yang ia perbuat. "Kurasa ... tidak. Hanya Paman yang kuhubungi." Reiha menyembahkan pandangan dengan sorot bersalah yang mendalam. "Maaf, Paman."
Kepala Yoongi naik-turun paham. Ia pun maklum, karena tahu isi kepala Reiha dipenuhi Jimin, Jimin dan Jimin. Jadi, wajar ia meluputkan segalanya. Tapi diam-diam Yoongi bersyukur, Reiha belum mengabari siapa pun selain dia. Seandainya telah sampai ke telinga ibu dan ibu martua, maka celakalah Yoongi lantaran mesti meredam emosi ketiga turunan Hawa sekaligus—mengingat betapa ruwetnya Yoongi mengatasi salah seorang saja.
"Ah, iya, Rei." Lengkung sabit tipis Yoongi sunggingkan. Memandangi profil sembab Reiha lekat-lekat. "Tolong jangan menyalahkan diri lagi."[]
hei, pa kabar?
KAMU SEDANG MEMBACA
sérendipité
Fanfiction[COMPLETED] [Side story of Marriage Contract With Jung Hoseok] Tanpa Min Yoongi minta, takdir menawarkan gadis muda bernama Park Reiha untuk menjadi penyangga dalam kehidupannya yang timpang. Start: 15 Januari 2019 Finish: 07 Desember 2019 ©suyomini...