TIGA PULUH DELAPAN

1.2K 104 3
                                    

"Ada hari dimana aku merindukan mu lebih, disaat raga mu ada, tapi jiwa mu hilang entah kemana."

Dareen memang selalu suka memandang wajah Jasmine, tapi tidak saat gadis itu terbaring di ranjangnya. Matanya tertutup damai, wajahnya pucat pasi seakan tidak pernah terkena paparan sinar matahari, tangannya dingin, seperti darah tidak mengalir dari tubuhnya. Suara dari alat patient monitor yang berdetak di samping gadis itu seolah menertawakan Dareen sambil berkata untuk apa datang lagi? untuk apa kembali lagi? Gadismu sudah setengah mati.

Tiga puluh enam jam. Jasmine sudah koma selama tiga hari, dan Dareen pun sudah kehilangan senyumnya dalam waktu yang sama. Tujuan cowok itu ketika pulang sekolah bukan lagi rumah, tapi rumah sakit. Ia selalu berharap dapat mendengar kabar baik Jasmine yang sudah siuman, ia selalu berharap mendapat telepon dari pacarnya itu kalau ia sudah bisa pulang, dia rindu Jasmine.

"Dareen, Mama kamu barusan nelfon," suara Irene tiba-tiba membuyarkan Dareen dengan segala lamunannya.

Dengan cepat Dareen tersenyum, berbalik menatap Irene yang sudah berdiri di belakangnya "Kenapa, Tante?"

Irene maju beberapa langkah sambil memegang pundak Dareen pelan "Ngga, dia cuma nanyaiin kamu beneran di rumah sakit atau ngga." Balas Irene "Tante ga enak, kamu pulang aja Nak, istirahat."

"Kan masih ada Tante yang jagaiin Jasmine," lanjut Irene lagi seakan bisa membaca pikiran Dareen.

Dareen lalu mengangguk pelan, ia berdiri dari duduknya "Tante tolong kalau Jasmine—"

"Iya, pasti Tante hubungin kamu kalau dia udah siuman, kamu jangan khawatir ya?" potong Irene karena wanita itu sudah hapal permintaan Dareen setiap akan pulang dari rumah sakit, ia selalu minta dikabari soal kondisi Jasmine.

"Makasih, Tante." Balas Dareen "Saya pamit dulu, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Dareen lalu berjalan menjauh menuju ke pintu dorong ruang inap Jasmine, sampai kemudian suara pintu tertutup terdengar. Dan Irene terduduk lemas sambil memandang putrinya "Kamu sabar ya Nak,"

• • •

Langit senja kali ini tidak jingga. Tapi kelabu, kelam berwarna abu. Sudah lelahkah ia? Menunjukkan ke orang-orang kalau jingganya indah, berpura-pura jingga begitu bahagia. Mungkin tak apa, sesekali memperlihatkan sisi lainnya yang kelam, walaupun tak sesuai harapan mereka. Toh, tidak ada yang bisa menjamin langit senja itu selalu jingga.

Samar-samar Dian mendengar suara motor anaknya yang sudah ada di depan rumah, suara itu diikuti dengan bunyi pagar besi yang menandakan seseorang sedang membukanya. Diam-diam ia bernafas lega, putra tunggalnya sudah pulang.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." balas Dian cepat kemudian menghampiri Dareen yang baru datang.

Dareen menatap Dian yang menyambutnya, sekali lihat pun ia bisa tahu Ibunya itu terlihat khawatir, menunggunya pulang.

"Maaf Ma, tadi ga angkat telfon," buka Dareen sambil duduk di sofa.

Dian tidak menjawab, ia hanya memandang Dareen yang masih memakai baju seragam SMA, tatapannya kosong, wajahnya tampak lelah.

"Lain kali kamu kabarin Mama, gapapa kok kamu ke rumah sakit tiap hari," tangan Dian meraih tangan Dareen, berharap anaknya itu mau berbagi keluh kesah dengannya.

Mata Dareen masih menatap lurus ke depan "Jasmine belum siuman,"

Kemudian Dareen menoleh menatap Dian di sampingnya, ia balik memegang tangan Ibunya, memandang wajah Dian beberapa detik,

DareenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang