Mozesius Eben-Haezer melintasi koridor sekolah. Kakinya melangkah cepat. Koridor itu sepi. Kelas-kelas di sisi kanan-kirinya pun serupa. Semua siswa nampaknya sudah pulang.
"Keterlaluan 'kan, Zes?! Cewek lu digituin?" seru seseorang.
Langkah Mozes berhenti. Matanya menatap pria itu. Dinu melangkah pelan, melipat tangan di dada. Tapi, Mozes nampaknya tak ingin terlalu menanggapi, membuat Dinu harus melangkah cepat menyusulnya.
"Gue nggak punya hubungan apa-apa sama Lead. Lu harusnya tahu itu, Din!" ucapnya kesal.
Dinu hanya tertawa, "santailah, Zes. Gue cuma becanda. Lagian bener 'kan? Lu sendiri yang bilang, lu jatuh cinta sama dia di pandangan pertama," Dinu rupanya tak jera.
"Stop say it or I will kill you," ancam Mozes.
"Hahaha! Lu kayaknya lagi naik darah. Gimana kalo lu jenguk Lead? Dia pasti seneng kalo dijenguk ama ketua kelas."
Mozes hanya diam untuk beberapa saat, "dia bakal baik-baik aja. Ada Ibu Cantika di sana. Yang perlu kita lakuin cuma satu. Terus awasi Dimas. Dan gue perlu bantuan lu, Din."
"Kalo soal itu, lu nggak perlu khawatir, Zes. Tanpa lu minta, gue pasti lakuin," senyum Dinu.
***
Cantika menatap datar pria di hadapannya.
Pria itu, bukannya menunduk, malah balik menatapnya tak acuh.
Cantika mengembuskan nafas.
"Jadi, Dimas..."
"Saya sudah katakan berkali-kali, Bu. Akar masalahnya bukan saya dan Lead. Semuanya karena Suci. Gara-gara dia, saya jadi kalah dan tidak lolos seleksi Tim Basket Sekolah. Tapi, saya tidak punya masalah dengan Lead. Dia yang ikut campur urusan saya, bahkan menyebut saya 'rendahan'," potong Dimas.
"Lalu, mau kamu apa? Kamu mau Lead membiarkan kamu menampar Suci? Seberapa salah pun Suci, kamu tidak berhak melakukan hal kasar padanya."
Dimas terdiam.
"Saya tidak mau tahu, Dimas. Kamu baru dilantik sebagai Ketua OSIS. Contohkan yang baik bagi siswa lainnya. Saya tidak ingin dengar kamu membuat masalah pada siapapun. Kalau sampai kamu membuat masalah lagi, saya tidak akan segan-segan mencopot jabatan kamu. Paham?"
Hening.
"Sepanjang yang saya tahu, Anda tidak pernah mengeluarkan ancaman seperti ini. Mungkin, hanya pada saya. Kenapa? Apa karena ini menyangkut keponakan Anda itu?" Dimas berucap sinis masih dengan wajah datarnya -- yang tetap tidak bisa menyembunyikan rahangnya yang mengeras menahan emosi.
Cantika diam sejenak.
"Ternyata, memang benar kata Queen, kamu suka memainkan emosi orang dengan menyebut-nyebut kaitan kekeluargaan. Tapi, Dimas, saya sepertinya harus memberitahu kamu. Hari ini, saya masih menegur kamu sebagai seorang guru yang membela siswanya. Kamu hanya belum pernah melihat dan mungkin tidak akan pernah ingin melihat saya sebagai seorang tante yang membela keponakan kesayangannya." Cantika tersenyum hambar, "saya hanya ingin menyampaikan itu, Dimas. Jaga sikapmu. Itu saja intinya. Sekarang, silakan kamu keluar," Cantika menunjuk pintu keluar.
Dimas tak bergeming, ia bangkit berdiri, menunduk hormat, lantas meninggalkan Cantika di ruangan itu.
***
"Assalamualaikum! Hai, Lead!" sapa Suci.
"Hai!" Lead melambaikan tangan.
"Apa kabar hari ini? Udah agak baikan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
OSIS? [Completed]
Teen Fiction"Waktu kecil, aku sering melihat beberapa ikan sardin berekor panjang, berwarna keemasan, berenang di angkasa malam, lalu secara tiba-tiba satu per satu mereka melesat jatuh dengan cahaya menyembur dari mulut mereka" *** Ini hanya sebuah kisah, tent...