Bab 31

27 5 0
                                    

Aku terus memapah Arvin, membawanya keluar secepat mungkin, menebak arah jalan keluar dari tempat sialan ini. Darah mengucur deras dari seluruh tubuh Arvin yang entah masih sadar atau tidak. Sementara langkah kaki menyeramkan itu semakin terdengar dekat.

"Where are you, dude? I know you are here. I can smell you blood." Pria itu terus mengulang kalimat yang sama. Berkali-kali, membuat jantungku terus berdegup.

Tidak! Jangan sekarang!

Aku merasakan nafasku yang makin bertambah sesak. Aku memejamkan mata, berusaha membujuk paru-paruku untuk bernafas dengan normal, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Nafasku malah terasa semakin sesak.

"Kamu harusnya menyerah sekarang, Joice..."

Kakiku terhenti. Itu bukan suara lelaki itu ataupun Arvin. Itu suaraku sendiri!

"Tinggalkan dia di sini, Joice... Lari dan selamatkan dirimu! Laki-laki ini tidak akan selamat. Ia hanya akan menjadi bebanmu..."

Aku terdiam. Menatap Arvin sejenak, lantas perlahan meletakkan tubuhnya di lantai. Aku membungkuk, mengecup pelan pipi pria itu.

"Maaf, sayang..." bisikku di telinganya.

***

"Bukannya ini tempat yang sama yang kita datangi tempo hari lalu?" ucap seorang petugas kepolisian pada temannya.

Kalimat itu tanpa sengaja tertangkap oleh telinga Lead, membuat dahinya seketika mengernyit.

"Kita harus bergerak cepat," ucapan komandan polisi menghentikan bisik-bisik antar petugas kepolisian, "kita gagal menangkap tikus-tikus keparat itu beberapa hari lalu, kali ini kita tidak boleh gagal sama sekali. Tangkap atau tembak mati!" Komandan polisi menekan kalimat terakhirnya.

Lead menelan ludah mendengar kalimat itu. Tangkap atau tembak mati. Lead tidak tahu bahwa mereka seberbahaya itu. Yang ia tahu adalah ia harus menyelamatkan Joice dan Arvin sekarang.

Maka, ketika aba-aba dobrak terdengar, ia refleks ikut mendobrak pintu besi, mengeluarkan tendangan taekwondo-nya. Tak perlu berkali-kali, pintu itu terbuka dengan sekali dobrakan serentak.

"Waw! Itu luar biasa, Nak!" Komandan polisi berbisik padanya.

Lead tak menjawab, masih mengatur nafasnya yang terengah, lantas ikut merangsek masuk, memeriksa setiap jengkal tempat itu bersama para polisi, Jemmy, juga ayah Joice dan Arvin.

"Lapor, komandan! Tidak ada satu orang pun yang saya temukan di tempat ini." Seorang petugas kepolisian datang memberi laporan, disusul oleh rekan-rekannya yang lain.

"Di sini juga nggak ada siapapun!" seru Jemmy pasrah.

Lead mengacuhkan laporan-laporan mengecewakan itu, juga gumaman cemas komandan polisi,  dan ayah Joice serta Arvin, terus mencari ke seluruh bangunan. Ketika tiba-tiba kakinya tanpa sengaja menginjak cairan kental berwarna merah. Lead mengernyit, merunduk pelan lantas mencolek sedikit cairan itu, mengendusnya.

Dugaannya benar! Ini darah!

Lead mengangkat kepala, berdiri, mengikuti ke arah mana ceceran darah ini menuju. Ceceran darah itu berhenti di hadapan sebuah pintu besi. Penasaran, aku memegang gagang dingin pintu itu, mengabaikan ucapannya yang seolah mengatakan 'kau tak akan menyukai yang satu ini, Lead.'

Berat, pintu itu membuka perlahan. Dan, tepat saat ia terbuka sempurna, jantung Lead seolah berhenti berdetak. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.

"Ada apa, Lead?!" Jemmy dan yang lainnya datang mendekat, bertanya.

Lead tak mampu menjawab karena ketika Jemmy dan yang lain menatap ke arah yang ia pandang, saat itu mereka pun ikut tercekat bersamanya.

OSIS? [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang