"Halo, Queen," Cantika langsung menyambar begitu telepon diangkat. Suaranya begitu panik. Tangannya memelintir ujung gaun tidur merah gelapnya. "Queen, kamu nggak papa 'kan di sana? Tante dari tadi coba nelpon kamu, tapi kamu nggak jawab. Semuanya baik-baik aja 'kan?"
"Tante Ika, gimana aku bisa ngomong kalau Tante bicara terus? Aku nggak papa, kok. Tadi itu handphone aku lagi low-bat," jawab Lead. Sebelah tangannya mengaduk gula dalam larutan teh hangat.
"Are you sure?" Cantika kembali bertanya. Tangan kanannya yang bebas mengelus-elus kedua tangan Jemmy yang melingkar mesra di perutnya.
"Sure! Oh, ya, Tan! Ini ada Putri, Bendahara OSIS yang baru. Dia pengen ngasih contoh format keuangan yang dia buat sama Dhea."
"Oh, ya? Ya udah. Kamu simpen aja di lemari baju kamar Tante, ya, Queen."
"Oke, Tan!"
"Kamu jangan tidur terlalu larut, ya. Esok pagi..."
"Esok pagi, aku berangkatnya pakai angkutan umum aja," potong Lead.
"Lho? Kok, gitu?"
"Yah... Simple aja. Karena kalau harus nunggu Tante sama Om balik ke rumah, bisa-bisa sampai sekolah aku langsung disuruh lari keliling lapangan sama Pak Junardi," tawa Lead, "udahlah, Tante. Tante tenang aja soal aku. Have fun, ya, Tan," ucap Lead lagi.
"Tapi, Queen..."
Telepon terputus.
Cantika menatap kesal layar ponselnya.
"Jangan kesel gitu, Can. Lead benar! Dia sudah besar, sudah waktunya untuk mandiri. Dia akan baik-baik saja. Trust me!" ucap Jemmy. Pria itu menatap istrinya lewat cermin besar di hadapan mereka. Keduanya saling pandang, saling senyum lewat cermin itu.
Cantika tak bisa berkata apa-apa. Ini satu hal yang khas. Ia selalu terhipnotis oleh pandangan dan senyuman mesra Jemmy. Dan, malam ini, dengan hanya mereka berdua, Cantika ingin lekas memulainya tanpa mau mengakhirinya.
"Kamu mau mulai sekarang atau nanti?" bisik Jemmy.
"Pengennya, sih... Sekarang," sahut Cantika malu-malu.
"Berarti pemikiran kita berdua sama," Jemmy tersenyum.
Secara tiba-tiba, Jemmy mengangkat tubuh Cantika, menggendongnya, membuat teriakan Cantika refleks berteriak.
Jemmy hanya tertawa.
Sedetik kemudian, hanya ada saling tatap, saling senyum di antara mereka, sampai di atas ranjang putih pun, tatapan itu tak lepas.
***
Sementara itu, "diminum dulu tehnya," Lead meletakkan teh hangat di atas meja, di hadapan Putri.
"Makasih, Kak. Ngomong-ngomong, nggak mau ngasih tahu Ibu Cantika soal... ?" Putri menunjuk keningnya sendiri.
"Nggak usahlah! Nantinya malah ganggu. Lagian cuma luka kecil, kok," ucap Lead sambil sesekali menyentuh luka di pojok keningnya.
"Kecil apanya? Gede gitu, lho, Kak. Dalem lagi."
Lead tertawa.
Ah! Mungkin Putri benar. Ia seringkali menyepelekan banyak hal tentang dirinya.
"Nggak papalah. Kasihan kalau Tante Ika sama Om Jemmy keganggu. Aku nggak enak. Lagian, kamu kayak nggak tahu Tante Ika aja. Bisa histeris beliau kalau tahu keningku luka. Udah! Tenang aja! Oh, ya! Tehnya minum dulu, gih!" Lead kembali mengingatkan.
Putri tersenyum, mengangguk, lantas menyeruput teh manis yang baru saja dibuatkan oleh Lead.
"Emangnya, Ibu Cantika ngapain, Kak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
OSIS? [Completed]
Teen Fiction"Waktu kecil, aku sering melihat beberapa ikan sardin berekor panjang, berwarna keemasan, berenang di angkasa malam, lalu secara tiba-tiba satu per satu mereka melesat jatuh dengan cahaya menyembur dari mulut mereka" *** Ini hanya sebuah kisah, tent...