Bab 36

28 4 0
                                    


"AAARGHHH!!!"

DOR!

Pria di balik kedok itu berteriak penuh amarah, menembakkan peluru di pistolnya sembarangan. "Dasar bego!" makinya. Ia berbalik, mengarahkan mulut pistol tepat di pelipis rekannya. Pria malang itu hanya bisa tertunduk jeri. "Sekarang, bajingan, lu mau gue habisin dengan cara apa? Mau gue tembak atau lu mau gue siksa pelan-pelan? Hah?!"

"Udahlah, bro!" Suara itu memecah laut hening di ruang itu. "Kenapa, sih, lu harus segitu marahnya buat kesalahan dia?"

"'Kenapa'? Lu masih nanya 'kenapa'?!" Pria dalam topeng itu mengulang kalimat tanya barusan. "Si bangsat satu ini udah ngelakuin hal yang keterlaluan. Kalau sampai cewek murahan dan keluarganya itu bisa ngebuktiin semuanya, habis! Kelar semua rencana yang udah kita susun!"

"Tapi, itu kalau dia bisa ngebuktiin semuanya 'kan? Gimana kalau dia nggak bisa?" Gadis itu berucap licik. "Gue punya rencana..."

***

Itu kenangan seminggu lalu. Ketika aku harus bolak-balik ke rumah sakit, duduk di dekat Anggy, membantunya menyalin catatan pelajaran yang kudapat dari rekan sekelasnya, dilanjutkan dengan bercerita banyak kisah. Sebelum itu, aku harus diam-diam singgah sebentar ke rumah Putri. Duduk di sana sebentar, memegang tangannya, mendongeng satu kisah atau menyanyikan satu lagu. Baru usai dari sana aku menuju rumah Suci, menjemputnya, untuk ikut duduk bersamaku di samping ranjang rumah sakit. Tidak ada yang tahu tentang agenda rahasiaku ke rumah Putri, tapi di hari kelima, Anggy dan Suci berhasil menebak semuanya. Aku tak menjawab, hanya bilang, aku tak bisa meninggalkan Putri begitu saja.

Tapi, itu seminggu lalu. Anggy boleh keluar dari rumah sakit kemarin. Dan, hari ini, berempat kami duduk di bawah pohon.

"Aku nggak punya dongeng lagi kali ini," ucapku sembari membelai kepala Anggy, menatap Putri yang masih sibuk memutik dandelion kecil, meniupnya.

"Kalau gitu, Kakak nyanyi aja," ucapnya.

"Nyanyi?" Aku mengangkat alis, berpikir sebentar. Tepat saat angin melintas, meniup belasan biji bunga dandelion, aku teringat akan satu lagu. Tanganku meraih gitar. Anggy menegakkan tubuhnya dari pangkuan, membiarkan aku memetik gitar, pelan bernyanyi.

"Selama ini,
kunanti
yang kuberikan datang berbalik.
Tak kunjung pulang
apa pun yang terbilang
di daftar pamrihku seorang.

Telah kusadar hidup bukanlah
perihal mengambil yang kau tebar.
Sedikit air yang kupunya
milikmu juga bersama.

Bisakah kita tetap memberi
walau tak suci?
Bisakah terus mengobati
walau membiru?
Cukup besar 'tuk mengampuni,
'tuk mengasihi
tanpa memperhitungkan masa yang lalu.
Walau kering
bisakah kita tetap membasuh?

Kita bergerak dan bersuara
berjalan jauh, tumbuh bersama.
Sempatkan pulang ke beranda
'tuk mencatat hidup dan harganya

Bisakah kita tetap memberi
walau tak suci?
Bisakah terus mengobati
walau membiru?
Cukup besar 'tuk mengampuni,
'tuk mengasihi
tanpa memperhitungkan masa yang lalu.
Walau kering
bisakah kita tetap membasuh?

Mengering sumurku,
terisi kembali.
Kutemukan
makna hidupku di sini

Mengering sumurku
terisi kembali.
Kutemukan
makna hidupku di sini

Bisakah kita tetap memberi
walau tak suci?
Bisakah terus mengobati
walau membiru?
Cukup besar 'tuk mengampuni,
'tuk mengasihi
tanpa memperhitungkan masa yang lalu.
Walau kering
bisakah kita tetap membasuh?
Membasuh.

Mengering sumurku
terisi kembali.
Kutemukan
makna hidupku di sini.

Mengering sumurku
terisi kembali.
Kutemukan
makna hidupku di sini.

Mengering sumurku
terisi kembali.
Kutemukan
makna hidupku di sini.

Mengering sumurku
terisi kembali.
Kutemukan
makna hidupku di sini."

OSIS? [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang