Bab 38

31 4 0
                                    

Aku menyusuri koridor remang-remang tersebut, mengikuti seorang sipir penjara. Aku tak mengerti, tapi nampaknya penerangan di tempat ini memang sengaja dibuat gelap seperti ini. Sipir itu kemudian berhenti, mempersilakanku duduk menunggu sementara ia memanggilkan orang yang ingin kutemui. Aku mengangguk sopan, menunggu. Tak sampai lima menit kemudian sipir itu kembali kali ini dengan menggelandang seorang lelaki seusiaku yang tertatih berjalan.

"Lima menit," ucap sipir berusia sekitar tiga puluh tahun itu tegas.

Aku mengangguk. Lima menit itu lebih dari cukup. Sipir itu kemudian melangkah meninggalkan kami berdua berhadap-hadapan dibatasi sebuah meja kayu dengan kopi hitam di pinggir. Sebenarnya, ia tidak benar-benar meninggalkan kami. Ia berdiri kira-kira dua meter jauhnya dari kami, berjaga-jaga jika terjadi sesuatu.

"Halo, Dimas," aku memberanikan diri membuka percakapan.

"Bagaimana dengan klub OSIS?" Pria di hadapanku justru mengarahkan pembicaraan ke hal lain. Ia nampaknya tak ingin berbasa-basi.

"Keadaan OSIS? Hancur. Itu 'kan yang kamu mau, Dimas?"

Dimas terkekeh. "Lu emang pinter, Lead. Lu pasti udah bisa nebak semuanya 'kan? Tapi, sayangnya, itu nggak seratus persen bener. Target utama gue bukan OSIS. Target gue justru adalah tante lu, Yang Mulia Ibu Cantika Theonara," Dimas menyebut nama Tante Ika dengan nada melecehkan.

Aku mengepalkan tangan, menahan amarah.

Dimas tersenyum sinis melihat ekspresiku. "Sabar dulu, Lead. Lu nggak boleh meledak sekarang atau bapak di sana itu akan mengusirmu sebelum waktu lima menitmu berakhir."

Aku menarik nafas, menenangkan diri. Dia benar. Aku harus mengendalikan emosiku.

"Dari awal, gue emang udah nggak suka sama tante lu. Dia cerewet dan terlalu banyak bicara. Dan rasa nggak suka gue semakin bertambah setiap kali gue bermasalah sama lu. Tante lu selalu ngebela lu ditambah lagi dengan sikap munafiknya. Dia selalu bilang, dia bukan ngebela lu sebagai keponakan. Hubungan kalian berbeda saat di sekolah, tapi bukan itu yang gue lihat.

"Jadi, saat diadakan perjalanan wisata hari itu, gue sengaja ngerusak rem salah satu bus wisata. Tujuan gue bukan supaya tante lu mati karena gue nggak tahu dia bakal masuk ke bus itu. Seandainya gue tahu, mungkin gue bakal ngebikin kerusakan yang lebih lagi di bus itu. Satu-satunya tujuan gue adalah supaya tante lu dipecat karena dianggap lalai dalam pekerjaannya. Tapi, yang terjadi ternyata lebih baik dari itu. Tante lu lumpuh dan dipecat dari sekolah."

Aku mengepalkan tanganku semakin kencang. Bajingan! Tega-teganya ia melakukan hal sejahat itu dan dia menceritakan semuanya dengan santai di hadapanku.

"Lu kayaknya lagi emosian, Lead," Dimas lagi-lagi tertawa santai, melambaikan tangan di depan wajahnya.

Aku menarik nafas, kembali menenangkan diri. "Kalau emang itu tujuan kamu, kenapa kamu masih menghabisi Arvin dan menculik Putri?"

Dimas tertawa pelan. "Cowok brengsek itu? Itu lain lagi ceritanya. Sebenernya, dendam gue bukan ke Arvin. Dendam gue justru ke Joice. Dia yang pengen gue habisin dari awal. Tapi, karena hari itu, secara kebetulan Arvin juga ada di sana, yah... Gue pikir, apa salahnya ngehabisin mereka berdua? Tapi, sekali lagi gue mikir, kalau gue habisin mereka sama-sama, cinta mereka bakal abadi, dong. Mereka bakal bahagia, sekalipun di neraka. Jadi, gue mutusin buat ngehabisin Arvin dan ngebiarin Joice tetap hidup supaya mereka sama-sama tersiksa.

"Dan, Putri? Lu harusnya nyalahin Ester untuk kasus ini. Dia yang punya ide untuk menculik dan ngehabisin Putri di hutan. Tapi, gue nggak nyesel sama sekali, meskipun karena ide itu gue harus ditahan polisi."

Aku menggeleng pelan. "Kalian berlima emang gila!"

Dimas lagi-lagi hanya tertawa, melambaikan tangan di depan wajahnya, menyandarkan diri pada bangku.

OSIS? [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang