Bab 19

42 8 2
                                    

Aku menatap sekitarku.

Apa kubilang? Menatap sekitar?

Ah! Bodohnya kalian jika percaya kata-kataku tadi! Aku memang menatap sekitarku, lebih tepatnya berusaha menatapnya karena sekarang satu-satunya yang kulihat hanyalah gelap.

Apakah aku berbohong? Bercanda?

Tidak! Tentu saja tidak!

Dulu, semua berwarna bagiku. Indah. Tapi, baru saja kemarin, semuanya berubah. Berubah begitu saja. Tanpa alarm peringatan sama sekali. Sekarang, bahkan putih pun tidak bisa kulihat. Yang kulihat hanyalah hitam, lebih tepatnya gelap.

***

Hari ini, baru hari kedua dari penderitaanku (Aku tahu itu lewat rasa hangat dari cahaya matahari yang tembus, juga dari Ibu yang menyapaku pagi-pagi benar), tapi bagiku, itu terasa seperti seribu tahun.

Kalian pasti tidak pernah membayangkan dua hari hanya melihat gelap. Aku juga tidak pernah membayangkannya dulu, tapi yang luar biasanya, sekarang, aku justru merasakannya.

Cih! Permainan takdir yang menjengkelkan!

"Kalian teman-temannya Suci, ya?" Aku bisa mendengar suara Ibu di luar sana. Pada siapa Ibu bicara?

"Iya, Tante. Kami teman satu sekolah Suci."

Tunggu! Hei, apa?! Suara itu... Aku bisa merasakan mataku mulai berair mendengar suara itu. (Sebelumnya, kupikir orang buta tidak bisa menangis)

"Oh. Kalau begitu, silakan masuk. Suci baru saja bangun," Ibu mempersilakan.

Aku bisa mendengar langkah kaki memasuki ruangan. Dua -- bukan! Tiga orang!

Ketiganya mengelilingku -- dari yang bisa kutebak, satu orang duduk di ranjang, di hadapanku, dan dua lagi, sepertinya masih berdiri.

Aku tetap diam bergeming.

"Hai, Suci. Gimana kabar kamu?" tanya orang itu. Jelas siapa dia. Aku tak perlu menjelaskan lagi.

"Ibu, aku lagi nggak pengen diganggu," aku tidak menjawab pertanyaan Lead, alih-alih justru berucap pada Ibu.

"Tapi, mereka teman-teman kamu, sayang. Mereka ke sini buat jenguk kamu," sahut Ibu lembut.

"Aku nggak punya teman, Ibu. Suruh mereka pergi!"

"Tapi, Suci --"

"Aku bilang pergi!" bentakanku memotong ucapan Anggy. Tanganku -- yang secara kasar menebak -- berusaha mendorong orang yang duduk di hadapanku, mungkin Lead. Sebelah tangan lolos, dan sebelahnya lagi sempat mengenai, meski hanya tepisan tak berarti.

"Suci!" Ibu membentakku marah.

Aku tak peduli. Aku benar-benar tidak butuh mereka!

"Nggak papa, Tante." Aku bisa mendengar suara Lead yang bergetar, "kami cuma mau tahu kondisi kamu sekarang, Suci. Cepat sembuh," sambungnya lagi.

"Lead," Anggy berucap pelan, nyaris berbisik, tapi Lead tak mengucapkan apapun. Yang aku tahu dia pasti menangis.

"Kami pamit duluan, Tante," Lead berucap pada Ibu. (Mungkin dia juga mencium tangan Ibu)

Aku bisa merasakan ketika ketiganya pergi, termasuk ketika suara tenor seorang pria terdengar menabahkan Lead.

"Aku tidak akan pernah sembuh lagi, Lead. Tidak akan pernah," gumamku pelan kala ketiganya pergi.

***

Hari ini terasa begitu berat bagiku.

Ah! Tidak! Bukan hari ini saja! Lebih tepatnya sejak tiga hari yang lalu. Semuanya terjadi begitu saja, tanpa ada alarm peringatan atau semacamnya. Aku hanya berharap, semoga saja ini hanya mimpi atau setidaknya, jika ini nyata, bisakah dijadikan mimpi saja?

OSIS? [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang