Lead melangkah ragu. Ia meraih gagang pintu di hadapannya.
Untuk kesekian kalinya ia menoleh, memandang wajah Mozes. Pria itu tersenyum mantap. Di sisinya, Ratna dan kedua kakak Suci tersenyum penuh harap ke arahnya -- seperti senyum yang sudah-sudah.
Lead menarik nafas, lantas,
Ceklek!
Ini adalah kesekan kalinya Lead melakukan kunjungan yang sama dan ia siap untuk apapun yang mungkin terjadi. Ya! Apapun!
***
Hari itu, Lead pulang dengan kecewa. Ia menyerah. Benar-benar menyerah.
Ratna meminta maaf pada Lead atas apa yang dilakukan putrinya. Lead hanya tersenyum terpaksa kala itu sembari menggeleng, berusaha menutupi kekecewaannya, tapi ia tak bisa melakukannya. Ia benar-benar kecewa. Bukan pada sikap Suci, tapi lebih pada dirinya sendiri. Semua ini -- ia tahu -- terjadi karena dirinya. Perubahan pada diri Suci, itu semua karena dirinya, karena ide gilanya. Kecelakaan itu yang mengubah hidupnya.
Mimpi itu benar, ia yang salah.
***
Di rumah, Cantika hanya tersenyum teduh kala melihat wajah sembab Lead dan gelengan Mozes. Ia lantas merentangkan tangannya.
"Tante Ika..." Bibir Lead bergetar menyaksikan rentangan tangan itu. Ia menghambur ke pelukan Cantika, menangis sepuasnya di bahu wanita itu.
Cantika tetap tersenyum, ia mengelus lembut bahu Lead yang terus meratap.
"Aku minta maaf, Tante. Aku nggak bisa... Aku nggak bisa. Aku nyerah, Tante. Dia berubah... Dia berubah dan aku yang mengubahnya. Aku mengambil semua yang dia miliki. Juga kebahagiaannya... kebahagiaannya... Aku yang mengambilnya, Tante. Mimpi itu benar, aku yang salah..." Lead terus terisak.
Cantika melepas pelukannya, menatap mata Lead teduh. Ia kemudian menghapus air mata gadis itu, memegang pipinya, lantas menggeleng pelan.
"Datanglah lagi. Jangan menyerah. Kamu pernah jatuh dan kamu sudah bangkit. Sekarang, hal yang sama sedang terjadi pada Suci. Dia jatuh, sama seperti kamu. Perbedaannya hanyalah dia jatuh lebih dalam, terpuruk lebih parah daripada kamu. Karena itu, kamu harus bantu dia, Queen, bantu dia untuk kembali bangkit. Pohon kebencian kamu sudah ditebang, sekarang, kapak itu ada di tangan kamu, Nak. Dengan kapak itu, tebang pohon kebencian Suci. Tebang sampai ke akarnya dan buatlah dia bangkit kembali." Cantika berhenti, mengepalkan tangan lantas tersenyum, "semangat!" ucapnya sekali lagi.
***
Sejak hari itu, hampir setiap hari Lead mengunjungi Suci, namun sikap Suci selalu sama, seringkali ia hanya diam, tak mengatakan apapun, membiarkan Lead mengoceh sendiri.
Lead hampir menyerah. Ya. Hampir.
Cantikalah yang selalu menghidupkan semangatnya terus. Lagi dan lagi hingga Lead tak pernah berhenti datang. Bahkan termasuk hari ini, saat semangatnya bagai di ujung tanduk.
Lead membuka pintu di hadapannya. Di ruangan itu, Lead melihat seorang gadis dengan rambut sebahu duduk membelakanginya. Lead menarik nafas. Ia tahu hari ini berbeda. Hari ini, ia berunding dengan bayangannya di cermin. Bayangan itu memberikan sebuah tawaran kecil, kesempatan terakhir untuk Lead. Jika hari ini Lead tak jua berhasil meluluhkan hati Suci, maka ia tidak akan pernah menemui gadis itu. Tidak akan pernah lagi.
Lead melangkahkan kakinya memasuki kamar, duduk di hadapan gadis itu. Lead yakin, Suci pasti menyadari kehadirannya. Suara kakinya, hembusan nafasnya, gadis itu pasti merasakan semuanya. Hanya ketulusan hatinya yang tidak pernah dirasakan olehnya.
Lama keduanya diam.
Lead menatap dalam ke mata Suci -- yang tak lagi berfungsi. Dan dari tatapan itu, yang ia temukan hanyalah satu hal. Kekosongan.
Lead menggesekkan tangan di celananya, menimbulkan suara gemerisik, sebelum akhirnya mulutnya terbuka, "hai, Suci," sapanya.
Suci hanya diam, tak bergeming sama sekali.
"Apa kabar? Aku harap kamu baik."
Suci tetap diam.
"Aku tahu kamu masih belum pengen bicara hari ini, Suci. It's okay. Kamu berhak untuk itu. Aku cuma pengen berbagi sedikit cerita." Lead meraih tangan Suci, menggenggamnya, berharap ketulusannya bisa menjalar lewat genggaman itu, berharap ketulusannya bisa menghangatkan hati gadis itu lagi, berharap bahwa ia akan berubah sedikit saja.
Tapi Suci tetap diam.
"Ini cerita tentang dua orang sahabat dekat," Lead memulai dengan suara bergetar, "mereka adalah dua sosok yang berbeda. Amat berbeda dalam banyak hal. Bagi yang satu, ia tidak pernah berubah, hanya sahabatnya yang tak pernah bisa sama. Demikian juga bagi yang lain. Tuhan seolah sengaja mempertemukan mereka berdua bersama perbedaan mereka. Dan itu benar! Tuhan tidak pernah sembarangan. Apa yang Ia lakukan selalu mempunyai maksudnya sendiri.
"Tapi mereka saling menerima. Mereka adalah sahabat dan sahabat memang harus saling menerima. Yang satu hidup untuk melindungi yang lain, dan yang lain hidup untuk menjaga yang satu. Hidup mereka indah. Dengan warna yang mereka pilih sendiri, mereka melukis kanvas hidup mereka. Hingga suatu ketika... Suatu ketika, semuanya rusak... hancur begitu saja..." Lead tak mampu membendung isaknya, air mata hangatnya jatuh di atas tangan Suci.
"Kehidupan seorang di antara mereka hancur karena yang lainnya. Dia... yang berusaha untuk selalu melindungi sahabatnya, justru menghancurkan hidup sahabatnya itu sendiri. Dia yang selalu berusaha untuk menumbuhkan cinta di hati sahabatnya, rupanya justru menanam kebencian di sana. Dan yang bodohnya, dia bahkan tidak tahu bagaimana cara menebang pohon itu. Ia memegang kapak, tapi kapak itu bahkan tidak berguna. Ia berusaha merubuhkan, tapi justru pohon itu yang merubuhkannya.
"Dan kamu tahu siapa orang itu, Suci? Dia... Dia nggak jauh dari kamu. Dia... ada di hadapan kamu saat ini. Dan dialah yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada kamu," Lead terus terisak. Ia mengangkat tangan Suci, menggenggamnya lebih erat, "I'm so sorry, Suci. For all I've done, I'm so sorry. Semua yang terjadi sama kamu... itu adalah kesalahanku. Aku yang salah. Semua ide bodohku... itu yang membuat kamu terluka. Gara-gara aku, kamu jadi kayak gini. Maaf, Suci. Aku emang nggak pantes buat jadi sahabat kamu. But I think, you need to know it. I love you like my own sister, like my sibling and once again, I say sorry." Lead melepas genggamannya. Berusaha tegar, ia menghapus air matanya lantas bangkit berdiri.
Kakinya melangkah meninggalkan Suci. Namun baru beberapa langkah ia berjalan, ia kembali berhenti, berucap pelan, "ini akan menjadi terakhir kalinya kita bertemu, Suci. Kamu nggak akan pernah denger suaraku lagi, atau ngerasain kehadiranku lagi. Ini yang terakhir. Aku tahu kamu udah bosen dan untuk itu, I'll never come again." Lead kembali melanjutkan langkahnya.
"And you'll leave me alone. Is that what you want, Lead?" tanya Suci. Lead berbalik, menatap Suci. Mata kosongnya berkaca-kaca. Ia bangkit berdiri lantas sambil meraba-raba ia maju ke depan.
Kakinya nyaris tersandung. Lead meraih kedua tangannya, mencegahnya jatuh, lantas mendekapnya erat. "I know you never change. Kamu masih Suci yang dulu, Suci yang aku kenal," tangisan Lead meledak.
Suci membalas pelukan Lead. Keduanya menangis bersama dan tanpa mereka sadari, pada saat yang sama, satu per satu daun kebencian di hati mereka mulai layu lantas berguguran bersama air mata mereka masing-masing.
NB: Hai, hai, hai! Berapa lama nungguin up cerita ini? Hehehe. Maaf, ya, lama nggak up. Aku kemarin ikut kegiatan Porseni. Semoga kalian suka sama yang satu ini. Don't forget to vote and comment too, okay?! Dadah!
KAMU SEDANG MEMBACA
OSIS? [Completed]
Teen Fiction"Waktu kecil, aku sering melihat beberapa ikan sardin berekor panjang, berwarna keemasan, berenang di angkasa malam, lalu secara tiba-tiba satu per satu mereka melesat jatuh dengan cahaya menyembur dari mulut mereka" *** Ini hanya sebuah kisah, tent...