Aku menatap setumpukan buku di jok sampingku, lantas mengembus nafas berat. Bukan tentang buku-buku itu aku mengeluh. Buku-buku itu adalah referensi untuk tugas klipingku. Aku tidak mengeluh untuk tugas pribadi itu. Aku justru pusing mendengar laporan yang baru saja kuterima tentang hubungan Oktav, teman sekelasku, dengan Putri, si bendahara OSIS.
"Kemarin, gue ngeliat Oktav sama Putri lakuin ciuman di bibir." Ucapan Dinu kembali terngiang di telingaku.
"Seriusan?" Disusul kemudian oleh suara tanya Anida. Dinu mengangguk. "Gila banget tuh dua bocah!"
"Emangnya mereka lakuin itu dimana?" Pertanyaan penuh penasaran Eben melanjutkan pembicaraan itu.
"Di sekolah, pas semua siswa rata-rata udah pada pulang. Gue dan anak-anak tim basket lainnya baru aja selesai latihan. Dan, waktu kami sampai di parkiran, kami diam-diam ngeliat mereka lagi ciuman di bibir. Gila 'kan?" Kalimat penutup itu sungguh jelas terulang.
Entah benar atau tidak ucapan Dinu itu karena kadang-kadang, dia suka sekali melebih-lebihkan cerita. Lagipula, kalau itu benar, apa pula urusanku? Kenapa aku harus pusing-pusing memikirkan Putri dan Oktav?
Aku membelokkan setirku ke kiri. Hampir pukul sepuluh malam, jalanan yang tak terlalu besar ini sudah sepi. Itulah sebabnya aku memilih jalan ini untuk pulang. Di tepi jalan itu, aku melihat segerombolan muda-mudi dengan motor-motor mahal mereka -- yang bisa dibilang tengah parkir sembarangan di bahu jalan. Aku menggelengkan kepala. Dasar anak-anak kurang kerjaan. Apa guru mereka tidak memberi tugas seperti guruku sekarang?
Aku melewati anak-anak geng motor itu, mengambil jalan ke kanan, menghindari motor-motor mereka yang menyeruak, tapi tiba-tiba, mataku menangkap dua wajah yang tak asing untukku. Itu Putri dan Oktav! Sejak kapan mereka ikut geng motor?!
Aku menepi, lantas turun dari mobil. "Putri!" Panggilanku bukan hanya membuat Putri menoleh, tapi juga seluruh anggota geng motor itu, termasuk Oktav.
"Kak Lead? Kakak ngapain ke sini?" tanya Putri.
"Harusnya aku yang tanya. Kamu ngapain di sini? Ini udah malem. Pulang atau aku bakal aduin kamu ke wali kelas kamu sekarang juga," ancamku.
"Wait, wait! Urusan lu apa ngelarang Putri?" Oktav menyela.
"Aku seniornya--"
"Lu seniornya. Gue cowoknya. Hubungan senior dan junior itu cuma ada di sekolah. Lu nggak punya hak sama sekali. Mendingan sekarang, lu balik, deh! Urusin tuh tante lu yang lumpuh itu!" Oktav berucap sarkas, membuat rahangku mengeras. Aku melayangkan tinju.
TAP!
Oktav menangkap tinjuku dengan santai. "Lu pikir lu bisa nampar gue segampang lu nampar Dimas, huh?!"
KRAK!
"AAARGHHH!!!" Aku berteriak ketika Oktav memelintir tanganku, rasanya seperti patah.
"Jangan mimpi lu, bangsat!" ucapnya. Ia melepas cengkeraman pada tanganku, lantas tanpa diduga menampar wajahku keras, membuatku terduduk. Pria itu menunduk, menyejajarkan wajahnya dengan wajahku. "Lu harusnya bersyukur cuma gue tampar. Seandainya lu cowok, udah gue abisin lu dari tadi." Ia memukul wajahku sekali lagi, sebelum berdiri, berbalik, "yuk, cabut!" ucapnya pada teman-temannya sembari menggandeng Putri.
"Jangan pergi, Put!" Aku berdiri mencegat Putri, menarik tangannya. Putri menoleh. Tatapan itu tidak menerima, tapi tidak pula menolak.
"Apaan, sih?!" Oktav melepaskan cengkeramanku pada tangan Putri, lantas kembali memelintir tanganku. Aku hanya meringis sekali ini, menahan teriakanku. Satu, dua, tiga, empat. Lima kali pria itu menghajarku. Aku terbatuk kencang, memegang perutku yang sesaknya naik sampai ke dada. "Itu bukan balesan yang setimpal buat orang yang suka ikut campur urusan orang lain kayak lu. Lu harusnya bersyukur!" ucapnya sebelum berbalik.
KAMU SEDANG MEMBACA
OSIS? [Completed]
Teen Fiction"Waktu kecil, aku sering melihat beberapa ikan sardin berekor panjang, berwarna keemasan, berenang di angkasa malam, lalu secara tiba-tiba satu per satu mereka melesat jatuh dengan cahaya menyembur dari mulut mereka" *** Ini hanya sebuah kisah, tent...