"Kamu sudah bangun, sayang?" sapa Cantika.
Lead tak menjawab, ia buru-buru menutup mata, berharap tantenya itu tak menyadari bahwa ia sudah bangun, tapi wanita itu tidak pernah bisa ditipu.
"Tak apa, sayang. Tidurlah lagi. Tante tahu, kamu pasti capek untuk kejadian seharian ini. Tak apa. Tidurlah," Cantika kembali berucap dan ucapannya kali ini kembali membuat Lead tersedu.
Lead ingin berucap banyak, tapi membuka mulutnya saja ia tak bisa.
Lead terisak, menarik ingusnya.
Ia mengangkat wajahnya, tapi bukan memandang Cantika. Dengan bergetar, tangannya bergerak menyentuh kaki Cantika, membuat tetes-tetes hangat semakin deras jatuh dari pelupuk matanya.
Cantika mengelus puncak kepala Lead.
"Queen..." panggilnya lirih.
Lead tiba-tiba melonjak, menghambur ke pelukan Cantika yang duduk di ranjang rumah sakit. Bahunya naik-turun, sedu-sedannya tak berhenti, ia justru meraung. Cantika mengelus rambut Lead, elusan yang paling Lead sukai sepanjang hidupnya, tapi hari ini, elusan itu hanya semakin mencabik-cabik hatinya.
"Maaf, Tante Ika. Aku nggak bermaksud... Aku nggak bermaksud... Aku nggak bermaksud buat hancurin semuanya... Maaf, Tante Ika... Maafin Queen," Lead berucap tak jelas di antara tangis dan ingus yang menyumbat pernafasannya.
Cantika memegang kedua pipi Lead, melepas pelukannya, meletakkan wajah Lead dekat dengan wajahnya. Ia menatap tajam mata Lead, tajamnya tatapan itu bahkan sampai menyentuh bagian terdalam hatinya.
"It's not your mistake, dear. Not. Don't believe if other people say it's your mistake. Jangan pernah percaya pada mereka. Jangan hancurkan diri kamu sendiri dengan bayangan rasa bersalah karena itu memang tidak pantas untuk kamu rasakan. You're not wrong. Just believe in me. I love you, we love you, God loves you, and always will be," Cantika mengecup dahi Lead yang hanya termangu mendengar ucapannya.
Suara Cantika begitu pelan, bahkan hampir terdengar seperti berbisik, tapi di telinga Lead, ucapan itu terdengar seperti teriakan paling nyaring, menggema beratus-ratus, bahkan beribu-ribu kali. Ucapan itu seperti ksatria pemberani yang tiba-tiba saja datang dan menyelamatkannya dari 'bayangan-bayangan' mengerikan dalam mimpinya.
Pintu tiba-tiba dibuka, "oh! Kamu sudah bangun rupanya, Lead?" tegur seseorang. Lead terkesiap, menoleh, menemukan seorang gadis bermata lingkar di depan pintu sana. Dokter Audrey. Tentu saja.
Lead hanya tersenyum.
"Syukurlah kalau begitu," Audrey berucap sembari menutup pintu ruangan.
Lead tiba-tiba teringat sesuatu, "Tante Ika, Dokter Audrey, M-M-Mozes dimana?" ucapnya. Lead baru ingat, terakhir yang dia tahu, ia menangis di bahu Mozes di taman bunga Jemmy. Mungkin di sanalah ia tertidur.
Audrey terkekeh kecil, "dia ada di ruangan lain. Baru saja selesai ditangani."
"Ditangani?" Lead mengernyit.
"Ya," angguk Audrey, "kamu pasti nggak tahu 'kan cemasnya kami semua, terutama Jemmy, saat sadar bahwa kamu tidak muncul sama sekali setelah kecelakaan itu? Jemmy mencari kamu di rumah, sekolah, semua tempat yang mungkin. Dia benar-benar panik."
Lead tertunduk, "I'm sorry. I make you all worried."
"Never mind! Aku jadi merasa bersalah kalau melihat kamu begini," kekeh Audrey sambil mengacak rambut Lead.
Pintu tiba-tiba dibuka, dua orang pria memasuki ruangan. Kalian pasti bisa menebaknya. Jemmy dan Mozes.
"Kamu sudah bangun, Lead? Syukurlah," Jemmy berucap lega.
KAMU SEDANG MEMBACA
OSIS? [Completed]
Teen Fiction"Waktu kecil, aku sering melihat beberapa ikan sardin berekor panjang, berwarna keemasan, berenang di angkasa malam, lalu secara tiba-tiba satu per satu mereka melesat jatuh dengan cahaya menyembur dari mulut mereka" *** Ini hanya sebuah kisah, tent...