Bab 24

37 6 2
                                    

"Selesai!" seru Lead senang.

"Apa yang selesai?" tanya Suci.

"Puisiku," sahut Lead.

"Kamu bikin puisi baru lagi?" 

"Iya."

"Sayang banget aku nggak bisa baca puisi kamu," Suci berucap sedih.

"Siapa bilang?" Lead meraih tangan Suci lantas membawanya meraba kertas di tangannya.

"Huruf braille?!" seru Suci.

"Iya. Nanti, kalau kamu udah bisa baca huruf braille, kamu bakal bisa ngebaca puisi ini. Makanya, kamu harus tetap semangat buat sekolah supaya apapun kondisi kamu, kamu tetap bisa melihat dunia dan menggapai mimpi kamu," Lead memegang tangan Suci, "and I'll always support you. Aku nggak bakal pernah tinggalin kamu, Suci. Until one day, you'll find your own prince," Lead tersenyum tulus.

"Thank you, Lead," sahut Suci.

Lead tersenyum, memeluk Suci.

***

Ini hari pertama masuk sekolah setelah liburan dua minggu -- liburan paling naas yang pernah Lead dan mungkin semua teman-temannya alami.

Lead tidak tahu tatapan seperti apa yang akan ia terima dari semua siswa. Mereka mungkin akan berpikir bahwa ia adalah pembuat masalah di sekolah. Mungkin semua akan menjauh darinya.

Tapi, rupanya ia salah. Semua orang justru menatap Cantika iba. Beberapa orang murid datang dan menabahkannya.

Cantika hanya tersenyum dan berkata, "ini tidak seburuk yang kalian pikirkan, anak-anak. Setiap hal selalu punya dua sisi. Ini hanya tentang perspektif, anak-anak. Semua akan baik-baik saja."

Usai berucap demikian, wanita itu tersenyum ke arah Lead, memintanya untuk mendorong kursi rodanya lagi.

Kepala Sekolah tiba-tiba mendekati keduanya, "selamat siang, Bu Cantika. Bisa Anda ikut ke ruangan saya sebentar? Ada yang ingin saya bicarakan."

Cantika memandang Lead sejenak lantas mengangguk ke arah Kepala Sekolah.

"Baik. Saya tunggu Anda." Wanita paruh baya dengan gurat wajah tegas itu berucap lantas berbalik, melangkah meninggalkan Lead dan Cantika.

"Tante Ika..." Lead bergumam ragu, memegang bahu Cantika.

Cantika tersenyum, mengelus tangan Lead lembut. "It's okay. Tolong antarkan Tante ke ruang Kepala Sekolah, ya."

Lead ragu-ragu mengangguk. Ia mendorong kursi roda tantenya itu menuju ruang Kepala Sekolah.

***

"Saya turut prihatin atas kondisi yang Anda alami saat ini, Ibu Cantika. Tapi, saya tetap tidak bisa menyangkal bahwa mungkin saja, Anda tidak bisa mengajar dengan baik dengan kondisi seperti ini." Kepala Sekolah menghela nafas sejenak, sebelum melanjutkan, "saya juga amat menyesal karena berdasarkan kabar yang saya dengar, Anda tidak bisa lagi disembuhkan secara medis. Karena itu, dengan sangat terpaksa, saya memutuskan untuk memecat Anda dan mulai hari ini, Anda bukan lagi guru di sekolah ini."

"Maksud Anda, saya..."

"Iya, Ibu Cantika. Saya mohon maaf, tapi saya benar-benar harus melakukan ini. Saya harap, Anda bisa menerima keputusan saya ini."

Cantika menarik nafas, menggeleng pelan, lantas berusaha tersenyum getir, "saya mengerti, Bu. Saya akan menerima keputusan Ibu apapun itu. Terima kasih atas kesempatan yang telah Anda berikan untuk saya bekerja dan menambah pengalaman di sekolah ini."

OSIS? [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang