Bab 22

33 7 4
                                    

Mozes menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah sederhana.

"Kita turun?" tanyanya sembari memandang Lead.

Gadis itu tak menjawab, ia hanya bolak-balik menatap ragu wajah Mozes dan rumah sederhana itu. Ia bimbang... juga takut. Untuk banyak hal, ia masih belum siap.

Mozes tiba-tiba menggenggam tangan Lead, tersenyum teduh, "just try it, Priscil. Believe in yourself. I'm always next to you. Trust me." ucapnya.

Lead menarik nafas, mengangguk. Keduanya lantas turun dari mobil dan melangkah menuju rumah dengan halaman luas itu.

Di depan rumah, "permisi!" seru Mozes.

"Iya! Tunggu sebentar!" sahut seseorang dari dalam rumah. 

Pintu bercat putih itu dibuka. Seorang gadis berusia kira-kira dua puluh tahunan menampakkan wajahnya. Gadis itu mengenakan jilbab hitam panjang. Dahinya mengernyit melihat wajah Mozes dan Lead.

"Kalian ini siapa, ya? Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya gadis itu.

"Kami teman-teman Suci, Mbak. Mbak ini Mbak Arini 'kan? Kakaknya Suci? Saya Lead, yang sering nganter Suci ke rumah," jawab Lead.

"Lead..." Gadis itu mengernyitkan dahi, mencoba mengingat-ingat, lantas kemudian senyumnya merekah, "oh! Kamu yang waktu itu?! Iya, iya! Saya ingat! Kamu pasti pengen jenguk Suci 'kan? Ayo, mari masuk!" Gadis itu mempersilakan Lead dan Mozes masuk.

"Siapa, Rin?" tanya seorang wanita paruh baya.

"Ini, Bu. Temennya Suci," jawab Arini.

"Oh! Kalian... yang di rumah sakit itu 'kan?" wanita paruh baya itu bertanya pada Lead dan Mozes.

Lead tersenyum manis, lantas mengangguk.

"Kalian pengen jenguk Suci lagi, ya?" tanyanya.

"Iya, Tante Ratna. Boleh 'kan?"

"Boleh, sih. Tapi, Tante nggak janji Suci mau. Soalnya, udah beberapa hari ini, Suci ngurung diri terus di kamar. Dia nggak mau ngomong, makan pun cuma sedikit, paling satu atau dua sendok. Tante sendiri sampai bingung harus gimana lagi. Nggak ada yang bisa bujuk dia," Ratna menghela nafas putus asa.

"Iya, Lead. Bahkan, Mas Arif yang deket banget sama Suci juga gagal ngebujuk dia. Kami bener-bener nggak tahu lagi harus gimana," Arini ikut berucap sedih.

Ratna mengelus bahu Arini lantas beralih menatap Lead dan Mozes, tersenyum, "tapi cobalah kamu datangi dia, Lead. Mungkin kamu bisa meluluhkan hatinya."

Lead mengangguk. Ia lantas melangkah ke kamar Suci, memegang gagang pintunya. Gadis itu menarik nafas panjang, lantas kemudian membuka pintu di hadapannya.

***

Apa itu gelap?

Apa itu terang?

Mereka tak ada bedanya bagi Suci.

Ia bahkan tak tahu hari keberapa ini setelah semua kejadian gila itu. Delapan? Sembilan? Hah! Masa bodoh tentang itu! Apa pedulinya? Bukankah hari keberapa pun tak ada bedanya untuknya? Hari sial itu telah mengubah sejuta hal dalam hidupnya. Ia bahkan melepas hijab yang selama ini selalu dipertahankannya, membenci setiap hal berkaitan dengan Dia yang merancang semua ini. Ya! Suci membenci-Nya!

Suci mendengar suara pintu kamarku dibuka, membuatnya berdecak kesal. Sial! Apa tidak ada satupun yang bisa mengerti dirinya!?

"Mbak Arini kenapa, sih?! Suci 'kan udah bilang, Suci nggak pengen diganggu! Pergi sekarang juga!" bentaknya kasar.

OSIS? [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang