"Halo, Indonesia, Ibu Pertiwi kecintaanku," ketik Lead. Ia berhenti sejenak, matanya menerawang, menatap ke arah luar jendela kelas. Ya! Kelasnya memang tepat menghadap ke arah lapangan. Matanya bisa leluasa memerhatikan siswa-siswi yang tengah berada di sana.
Tak lama, jemarinya kembali menari, "terima kasih untuk empat bulan terakhir yang penuh suka dan duka. Untuk setiap teman baru dan pengalaman menarik lainnya, secara khusus bersama OSIS. Aku berharap bisa sedikit lebih lama di sini. Hanya penasaran, apa lagi selanjutnya?"
Lead berhenti mengetik. Ia mengangkat mukanya, terpaku menyaksikan kelasnya yang sedang jam kosong. Astaga! Untuk kalian yang mungkin tak pernah bersekolah di Indonesia, maka sekedar informasi, bahwa jam kosong di sekolah Indonesia adalah waktu terbaik untuk menyalurkan semua inspirasi.
Lihatlah sekarang! Saat Yasfa sibuk mencoba rumus Matematika, Anida justru sibuk ber-selfie ria, dan Lead malah mengeluarkan laptopnya.
"Unik 'kan?"
Lead menoleh, terkekeh sejenak.
"Kamu tahu, setiap hal unik di sini, Ben," sahutnya.
Mozes -- tapi mulai sekarang, Lead memanggilnya Eben -- ikut tertawa.
Akhir-akhir ini, Lead dan Mozes memang bertambah akrab. Mozes bahkan tak menolak kala Lead mulai iseng memanggilnya dengan nama Eben. Katanya, nama itu jauh lebih mudah diingat.
Ah...
Sungguh! Tak ada dan tak pernah ada lagi jantung yang serasa berhenti berdegup atau nafas yang tersumbat.
Mungkinkah rasa suka itu telah padam?
Rasanya, bukan itu jawabannya.
Atau mungkinkah suka itu telah berubah menjadi cinta?
Ah... Entahlah kalau soal itu.
Lead memalingkan pandangan, kembali memerhatikan lapangan, kala matanya menangkap sesuatu yang membuatnya tak enak.
Seorang gadis berbaju olah raga dengan postur tubuh yang amat Lead kenal, berjalan gontai sembari membawa bola basket.
Lead berlari dari tempat duduknya.
"Lead, kamu ke mana?!" seru Mozes.
Bukannya menoleh, alih-alih Lead malah keluar dari kelas, berlari panik.
Tidak!
Jangan bilang...
"Anggy!"
Tap!
Hampir saja terlambat. Untunglah Lead sempat menahan tubuh Anggy yang limbung.
"Lead..." Gadis itu berbisik lirih. Meski lirih, intonasinya terdengar lega. Tapi, wajahnya... Astaga! Wajahnya lebih pucat daripada biasanya. Dan hidungnya...
Entah bagaimana harusnya reaksi Lead, tapi hidung gadis itu berdarah amat hebat.
"Dudukkan, dudukkan! Hentikan pendarahannya!" seru Pak Eko, guru olah raga kelas Anggy.
Lead yang sempat terbengong akhirnya membantu Anggy duduk dengan tegak. Pak Eko memencet cuping hidung Anggy selama lebih kurang sepuluh menit. Seorang teman sekelas Anggy tergopoh-gopoh datang membawakan sebongkah es batu yang dibalut handuk lembut -- entah dapat dari mana. Pak Eko lantas mengompres hidung Anggy dengan benda itu.
Tapi, tidak ada gunanya!
Pendarahan itu justru semakin bertambah hebat.
"Kita harus bawa dia ke rumah sakit," ucap Mozes panik. Rupanya pria itu mengikuti Lead ke luar. "Kalau dibiarin, akibatnya bisa fatal. Aku panggil Ibu Cantika bentar, ya, Lead."
KAMU SEDANG MEMBACA
OSIS? [Completed]
Teen Fiction"Waktu kecil, aku sering melihat beberapa ikan sardin berekor panjang, berwarna keemasan, berenang di angkasa malam, lalu secara tiba-tiba satu per satu mereka melesat jatuh dengan cahaya menyembur dari mulut mereka" *** Ini hanya sebuah kisah, tent...