Aku berdiri memegang ransel dan koperku, ransel dan koper yang sama dengan yang kubawa ke sini setahun lalu. Tante Ika, Om Jemmy, Tante Audrey, dan ketiga temanku ikut mengantar ke bandara, demikian juga orang tua Eben.
Tante Ika tanpa dialog apa-apa lama memegang kedua tanganku. Hingga akhirnya, mulut itu membuka. Aku berjongkok di hadapan wanita di atas kursi roda itu. Ia mengelus rambutku pelan. "Selamat jalan, sayang. Selamat berjuang. Chase your dreams, Queen! Tante akan selalu mendukung kamu," Tante Ika mengecup keningku.
"I will chase my dreams, Tante Ika. Aku janji, aku akan banggakan Tante." Aku bangkit berdiri, berganti mencium tangan Om Jemmy.
"Sering-sering kasih kabar, ya, Lead. Tante dan calon adik kamu pasti bakal kangen banget sama kamu," Om Jemmy berpesan separuh bergurau.
"Pasti, Om," aku mengangguk, bergeser memeluk Tante Audrey. Wanita itu memelukku erat-erat.
"Jangan pernah lupain kami, ya, Lead. Aku pasti bakal kangen banget sama kamu," ucapnya.
"I will miss you too, Tante Audrey," aku melepas pelukanku. "Aku titip Anggy, ya, Tante. Tolong lakukan yang terbaik untuk penyembuhannya."
"Pasti. Aku pasti bakal cari cara supaya Anggy bisa cepat sembuh. Aku juga bakal cari pendonor mata untuk Suci. Kamu nggak usah pikirin itu. Fokus belajar, ya." Aku mengangguk mendengar wejangan itu, beralih menatap Dinu, Yasfa, dan Anida.
"Aku pamit, ya. Jangan lupa suratnya dikasih. Titip salam juga ke temen-temen sekelas, ya."
"Jaga diri di sana, ya, Lead. Kelas pasti bakal sepi banget nggak ada kalian berdua," ucap Yasfa. Aku memeluk kedua teman pertamaku itu sejenak, kemudian melepas pelukanku. Aku kemudian menatap Dinu.
"Titip Anggy, ya, Din. Jaga dia terus. Jangan sampai kamu macam-macam sama dia," aku menyelipkan nada ancaman dalam ucapanku.
"Lu percaya aja sama gue, Lead. Gue pasti jagain Anggy," Dinu berucap meyakinkan.
"Titip Mozes, ya, Bu." Aku bisa mendengar mama Eben berucap pada Mama.
"Pasti, Bu," Mama menyahut meyakinkan.
"Kalau begitu, kami pamit dulu, ya," ujar Papa. Mama memeluk Tante Ika sejenak lantas menyalami Om Jemmy dan Tante Audrey. Aku menggandeng tangan Eben, berdua mengikuti Mama dan Papa masuk ke dalam bandara.
***
Aku masih ingat semuanya. Hari pertama tiba di Jakarta, bertemu kembali dengan sosok tante yang kurindukan selama belasan tahun. Hari ini, setelah tiga ratus enam puluh lima hari penuh bersama, aku akhirnya harus kembali pulang ke London. Mengejar mimpi, kata mereka. Aku bertanya, bagaimana bisa aku berani, sedang mengucapkan selamat tinggal secara langsung saja aku tak berani?
Aku meraba duplikat surat yang kutulis untuk Anggy, Suci, dan Putri. Aku memang sengaja menyelaraskan bunyinya agar satu itu yang selalu kuingat seumur hidupku.
Eben memegang tanganku, mengelusnya. Aku menatap matanya yang teduh menenangkanku. Ia meletakkan dua jarinya di bibirnya, lantas mengarahkannya ke bibirku. Lama.
***
"Yang akan selalu kurindukan,
teman-temanku, Anggy, Suci, dan Putri.Saat kalian membaca surat ini, kemungkinan besar aku tengah berada di pesawat yang langsung menuju London. Iya, London. Kalian tidak salah tebak. Orang tuaku kemarin lusa baru saja datang ke Jakarta, mereka menyampaikan bahwa aku harus segera kembali ke London. Aku sempat menolak, tapi kemudian, mau tidak mau aku harus tetap menurut.
Maaf karena tidak bisa menyampaikan ucapan selamat tinggal secara langsung, memeluk kalian, kemudian menyanyikan satu-dua lagu perpisahan. Aku rasa, aku tidak akan pernah sanggup untuk itu, jadi aku menitipkan surat ini pada Dinu, Yasfa, dan Anida.
Terima kasih untuk semuanya, Anggy, Suci, Putri. Kalian adalah teman yang baik. Pertemanan kita memang terlalu singkat untuk diubah jadi persahabatan, tapi dengan kalian, aku belajar banyak hal. Maaf untuk semua kesalahanku. Aku tahu, aku sering sekali tanpa sengaja menyakiti kalian, dan mungkin termasuk di antaranya dengan surat ini.
Mungkin kalian berpikir, semua cerita, semua harap yang sama-sama kita ukir tidak ada maknanya lagi untukku. Tapi, pada kenyataannya, justru semua itu yang mendorongku untuk kembali ke London, agar aku bisa mewujudkan semua cerita, semua mimpi, dan semua harap yang telah bersama kita bagi.
Dan, untuk menepati janjiku padamu, Suci, aku menuliskan sebuah puisi untuk kalian bertiga atau mungkin lebih bisa disebut untuk kita berempat.
Aku duduk menatap senja,
temanku bertitip rindu.
Aku sujud memesan doa,
entah apa yang dipesanmu.Kita duduk menunggu ombak,
saling berbagi tentang harap.
Tubuh kita yang bertunas,
berbunga memekar disiram hujan.Akar yang saling berjalin,
erat terikat satu menyatu,
raga kita bersinggungan,
jiwa kita bertautan.Tak usah sore ini menanti,
biar senja berlalu tanpa diiring.
Tak usah rumah pohon dipanjat,
biar ukirannya menua membosan.Kita yang dulu bersamaan,
kini saatnya berlepas tangan,
terpisah benua dan lautan,
terpisah ombak liar samudera.Tapi, kala fajar merekah di pagi purnama,
saat itulah jiwa membawa jasad pulang,
menagih janji pada tanah,
juga pada sahabat.Dari : Si Penyair"
KAMU SEDANG MEMBACA
OSIS? [Completed]
Fiksi Remaja"Waktu kecil, aku sering melihat beberapa ikan sardin berekor panjang, berwarna keemasan, berenang di angkasa malam, lalu secara tiba-tiba satu per satu mereka melesat jatuh dengan cahaya menyembur dari mulut mereka" *** Ini hanya sebuah kisah, tent...